"Ma, Alya punya sedikit rejeki..." Alya menyodorkan uang yang ada di tangannya.
"Kamu punya uang dari mana, Mbak?" Dahayu menatap Alya dengan penuh kasih.
"Jadi hampir satu minggu ini Alya jadi bibi cuci di rumah Bu Darman, Ma. Dan untungnya, Bu Darman ngijinin Alya ngajak Nada selama Alya kerja. Kemarin, Alya coba ngomong sama Bu Darman buat kasih setengah gaji Alya dimuka, Ma. Alhamdulillah Bu Daram ngasih. Nih, Ma... Kan bisa nambahin buat nebus obat Nada."
Dahayu merasa begitu gagal menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya. Dia bahkan sudah membuat anaknya menjadi buruh cuci diumur yang masih tujuh belas tahun. Umur dimana seharusnya masa remaja menjadi begitu indah.
"Ma, Alya sayang mama. Alya bangga punya mama dihidup Alya. Besok kita tebus obat Nada ya, Ma"
Nasib memang sering tak berpihak pada yang miskin. Tapi rumah mereka, selalu dilimpahi cinta. Alya menciumi tangan ibunya yang penuh luka. Dia sadar benar bahwa cinta Dahayu untuknya dan Nada melebihi apa pun yang indah di dunia ini. Baginya, Dahayu begitu sempurna untuk menjadi manusia. Dahayu adalah malaikatnya
"Mbak, setelah pandemic ini selesai, Mbak harus kuliah, ya. Mbak harus merantau ke ibu kota. Kota ini terlalu kecil, Mbak" Dahayu membelai rambut hitam Alya.
"Ma, Alya nggak akan pergi kemana pun tanpa mama dan Nada." Alya masih nyaman dipangkuan ibunya. Meletakkan tangan Dahayu di pipinya.
Suara Adzan maghrib memnggerakkan mereka ke dapur. Tapi Nada belum juga pulang.
Tepat sebelum mereka sampai di pintu dapur, Nada pulang bersama seorang lelaki paruh baya.
Tangannya penuh dengan cokelat. Suara Nada terdengar begitu bahagia.