Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Wajah Malaikat Maut

13 Desember 2019   20:02 Diperbarui: 13 Desember 2019   19:58 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari scaryforkids.com

Tahukah kamu pada malam-malam tertentu malaikat maut berbaik hati menunjukkan wajah aslinya pada manusia? Sayangnya hanya penguasa akhirat yang tahu pasti waktunya.

Tapi manusia yang beruntung dapat melihat dengan jelas bagaimana raut dan rupa mereka. Entah sama persis dengan gambar pada kisah fiksi dan film horor atau malah tidak sama sekali. Hanya manusia-manusia beruntung itu yang tahu.

Well, sebenarnya tidak tepat juga julukan "beruntung" itu, karena jika mereka dapat melihat wajah sang malaikat maut, bisa dipastikan mereka akan segera pergi selama-lamanya dari dunia ini. Tragis, bukan?

Hanya mungkin saja ada beberapa pengecualian.

Seperti yang terjadi pada Paolo misalnya. Seniman tua yang tinggal di pinggiran kota Roma itu berjalan lesu meninggalkan sebuah coffee shop, menyusuri trotoar yang lusuh dan suram. Di atas kepalanya menempel topi baret yang sama tua dengan dirinya dan di atas topi baret bulan setengah purnama bersinar pucat.

Dia murung karena hampir kehabisan uang. Sudah lama tidak ada lagi yang memesan lukisan-lukisannya. Bahkan secangkir cappuccino saja didapatnya karena belas kasihan pemilik coffee shop yang memang sudah berteman lama dengannya.

Gubraakk!

Tanpa sengaja, Paolo menabrak seorang wanita yang berjalan tergopoh-gopoh. Tas tangan wanita itu terjerembab ke permukaan trotoar. Paolo pun meminta maaf lalu mengambil milik wanita itu.

Setelah tersapu cahaya lampu jalanan, rupa wanita itu lebih jelas. Dia mengenakan mantel tebal berwarna biru gelap. Wajahnya tirus tapi memesona, bibirnya disapu gincu tipis berwarna merah muda, matanya biru dan teduh, rambutnya berwarna kuning kecoklatan, seperti emas yang baru disepuh.

Paolo terperangah memandang kecantikan luar biasa yang dihadirkan malam di hadapannya.

"Sekali lagi, maaf, Nona. Maafkan kelancangan saya, tapi anda ... anda cantik sekali."

Wanita itu tersenyum tipis, "Terima kasih, Tuan. Tapi anda masih memegang tas saya."

Paolo terkejut, lalu buru-buru menjulurkan tas tangan ke dalam genggaman wanita itu.

"Terima kasih, Tuan."

"Tidak, saya harus minta maaf, Nona. Tapi ... saya berkata sungguh-sungguh. Mata saya sangat terlatih, Nona, dan rasanya baru kali saya ini bertemu wanita yang punya wajah sesempurna anda."

Wanita itu memicingkan mata. "Anda ... seorang seniman?"

Cahaya di wajah Paolo muncul kembali. "Ya, tebakan yang beruntung, Nona. Ah," dia lalu mengeluarkan selembar kartu nama dari saku kemeja lusuhnya dan menyerahkannya kepada wanita itu. "Cukup panggil Paolo saja. Anda bisa memesan lukisan apapun, Nona. Senja dan pantai, perjamuan terakhir, atau bahkan wajah anda sendiri. Saya mahir memindahkan apa pun yang bisa ditangkap retina saya ke atas kanvas."

Wanita itu mengangguk-angguk dengan tatapan penuh misteri. "Menarik. Well, nama saya Lauren, Tuan Paolo."

Paolo menjabat tangan wanita bernama Lauren itu dengan antusias.

"Jam berapa studio anda tutup?" tanya Lauren.

"Wah, saya bisa bekerja 20 jam per hari jika perlu," sahut Paolo cepat.

"Apa anda bisa membuat lukisan wajah saya sekarang?"

"Sekarang? Selarut ini?"

Lauren mengangkat bahunya. "Jika anda bersedia. Saya tidak yakin bisa bertemu anda di waktu lain lagi, Tuan."

"Tadi sepertinya anda terburu-buru ..."

"Oh," Lauren tersenyum lagi. "Urusan pribadi saya masih bisa ditunda di lain hari."

Paolo agak gugup tapi tetap berusaha tersenyum. "Baik. Kalau begitu tidak ada masalah. Studio sekaligus apartemen saya tidak jauh dari sini, Nona."

Tidak sampai setengah jam kemudian, keduanya sudah berada di studio milik Paolo.. Jangan bayangkan studio yang lapang dan mewah milik pelukis-pelukis ternama. Studio itu sebenarnya ruang tamu apartemennya yang sederhana, dilengkapi dengan penerangan tambahan dan tembikar-tembikar dari timur sebagai aksesorisnya. Beberapa kanvas berisi lukisan setengah jadi masih terpampang di atas easel, sebagian lagi tergulung di lantai kayu.

Lauren melihat-lihat sejenak sebelum Paolo memintanya untuk duduk di atas sofa coklat gelap. Dia dipersilakan memulas kembali wajahnya. Paolo mengatur pose sebelum mengambil posisi kira-kira tiga langkah di depan Lauren, dan mulai mempersiapkan perkakasnya, cat minyak, palet, thinner, kanvas kosong. Tak lama kemudian dengan cekatan dia menyapu kanvas dengan beraneka warna cat untuk memindahkan wajah Lauren yang menawan itu ke dalam lukisan.

Sesekali Lauren mengajak Paolo bercakap-cakap untuk mengusir jenuh. Tapi Paolo nampak lebih tertarik menyelesaikan lukisannya dibanding meladeni ucapan Lauren.

"Anda sudah menikah, Tuan?" tanya Lauren.

Paolo menggeleng dari balik kanvasnya."Saya hanya mau menikahi lukisan-lukisanku, jika pastor memberi izin," sahutnya lalu tertawa kecil.

Lauren sedikit terkejut. "Anda tidak pernah jatuh cinta?"

Paolo mendongakkan kepalanya. "Wow, mata anda makin bercahaya saat mengatakan jatuh cinta," lalu kembali larut dalam lukisannya. "Tentu saya pernah jatuh cinta, mencintai wanita."

"dan ...?"

"...selalu berakhir buruk. Tapi, jangan salah sangka, Nona. Saya yang biasanya memutuskan hubungan."

"...kenapa?"

"Entahlah. Mungkin karena wanita tidak ada yang benar-benar memahami jiwa seni yang meledak-ledak dari dalam sini," Paolo menunjuk dadanya. "... lalu suatu hari saya memutuskan tidak akan pernah jatuh cinta lagi."

Lauren mengembuskan napas panjang.

"Anda tidak merasa kesepian, Tuan?"

Paolo mengangkat bahunya. "Tidak. Dengan semua karya ini, saya sudah cukup bahagia. Jika yang anda maksud itu kesenangan dan seks, saya bisa mendapatkannya tanpa harus jatuh cinta, bukan?"

Lauren mengangguk-angguk kecil.

Lalu keduanya kembali hanyut dalam keheningan malam bersama detik-detik jam yang terus menanjak.

Menjelang subuh, Paolo memandang lukisannya dengan puas. Dia nampak letih tapi matanya bersinar-sinar.

"Luar biasa," gumamnya.

Sementara itu Lauren yang juga masih tetap segar mendekat dan memandang kreasi Paolo dengan takjub.

"Anda memang berbakat, Tuan. Tadi anda bilang harga lukisan anda 170, bukan?"

"Benar. Itu harga terbaik untuk anda, Nona."

Lauren mengeluarkan beberapa lembaran euro dari tas tangannya. Paolo terperangah saat menerima uang itu. "Ini terlalu banyak, Nona Lauren!"

"Tidak apa. Anda pantas mendapatkannya, Tuan. Uang bukan masalah bagiku..."

"Lagipula anda tidak harus membayarnya sekaligus. Saya akan menyempurnakan detail lukisannya dan mengantarkan ke alamat anda paling lama dua hari ke depan. Oh ya, bisakah anda meninggalkan alamat dan nomor telepon?"

"Ambil saja semua uangnya, Tuan. Anda bisa dipercaya, bukan?"

Kemudian Lauren menuliskan alamat lengkap dan nomor teleponnya di balik kartu nama Paolo. "Ini alamat dan nomor telepon saya. Sebaiknya anda menelepon dahulu sebelum berkunjung."

"Tentu saja."

"Sepertinya saya harus pamit, Tuan. Sergio sudah menunggu sejak tadi."

"Sergio?"

"Ah, saya lupa bilang ya. Sopir keluarga kami."

Paolo mengangguk.

Keduanya kini sudah tak canggung lagi satu sama lain. Setelah berpamitan mereka saling mengecup pipi seperti sahabat lama yang akan berpisah.

Setelah menutup pintu, Paolo memandang sekali lagi lukisan wajah Lauren lalu melihat sekilas alamat yang ditulis di balik kartu namanya. Cukup jauh dari sini, batinnya. Dia menguap lebar. Rasa kantuk yang sangat baru terasa setelah berjam-jam menguras konsentrasi dan emosinya. Paolo pun meletakkan kartu nama itu di atas meja tamu dan menindisnya dengan vas bunga keramik.

Lampu-lampu dipadamkan dan dia segera masuk ke kamar tidurnya.

Dalam kegelapan, tiba-tiba muncul cahaya yang menyilaukan dari salah satu sudut ruang tamu. Cahaya itu lalu berubah menjadi api kecil, membakar habis kartu nama di atas meja menjadi serpihan-serpihan debu. Setelah api padam, ruangan menjadi gelap seperti semula.

Hampir jam sepuluh pagi, Paolo terbangun. Wajahnya sekusut piyamanya. Dia membuka lemari es, mengambil kotak susu segar dan menuang seluruh isinya ke dalam gelas kaca.

Sambil meneguk isi gelas dia berjalan ke studionya.

Gelas kaca tiba-tiba terlepas dari tangan Paolo. Tangannya bergetar. Matanya melotot memandang lukisan Lauren yang masih terpampang di atas easel. Tidak ada lagi wajah cantik rupawan di situ, berganti dengan wajah kejam dari dunia antah berantah. Bibir bergincu merah muda berganti bibir hitam berlumur darah beku, mata biru teduh berganti mata merah yang nyalang membuat rontok jantung siapapun yang memandangnya. Rambut kuning berganti dengan sepasang tanduk yang tinggi menjulang.

Didera rasa terkejut yang luar biasa, Paolo tidak bisa berkata-kata. Dada kanannya tiba-tiba seperti dihantam godam, sakit luar biasa. Dia hendak menjerit kesakitan, tapi tidak ada suara yang keluar dari kerongkongannya. Dia pun jatuh terjerembab dengan deras ke lantai.

Sepertinya tidak ada pengecualian dari malaikat maut untuk Paolo.

Dua hari kemudian, tetangga yang curiga karena bau menyengat dari apartemennya menelepon kepolisian. Jenazahnya ditemukan masih dalam posisi yang sama. Tidak ada petunjuk penyebab kematian di TKP. Polisi hanya menemukan dua hal yang aneh, kartu nama yang terbakar di atas meja dan lukisan mengerikan di dekat jenazah.

----

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun