"Sepertinya saya harus pamit, Tuan. Sergio sudah menunggu sejak tadi."
"Sergio?"
"Ah, saya lupa bilang ya. Sopir keluarga kami."
Paolo mengangguk.
Keduanya kini sudah tak canggung lagi satu sama lain. Setelah berpamitan mereka saling mengecup pipi seperti sahabat lama yang akan berpisah.
Setelah menutup pintu, Paolo memandang sekali lagi lukisan wajah Lauren lalu melihat sekilas alamat yang ditulis di balik kartu namanya. Cukup jauh dari sini, batinnya. Dia menguap lebar. Rasa kantuk yang sangat baru terasa setelah berjam-jam menguras konsentrasi dan emosinya. Paolo pun meletakkan kartu nama itu di atas meja tamu dan menindisnya dengan vas bunga keramik.
Lampu-lampu dipadamkan dan dia segera masuk ke kamar tidurnya.
Dalam kegelapan, tiba-tiba muncul cahaya yang menyilaukan dari salah satu sudut ruang tamu. Cahaya itu lalu berubah menjadi api kecil, membakar habis kartu nama di atas meja menjadi serpihan-serpihan debu. Setelah api padam, ruangan menjadi gelap seperti semula.
Hampir jam sepuluh pagi, Paolo terbangun. Wajahnya sekusut piyamanya. Dia membuka lemari es, mengambil kotak susu segar dan menuang seluruh isinya ke dalam gelas kaca.
Sambil meneguk isi gelas dia berjalan ke studionya.
Gelas kaca tiba-tiba terlepas dari tangan Paolo. Tangannya bergetar. Matanya melotot memandang lukisan Lauren yang masih terpampang di atas easel. Tidak ada lagi wajah cantik rupawan di situ, berganti dengan wajah kejam dari dunia antah berantah. Bibir bergincu merah muda berganti bibir hitam berlumur darah beku, mata biru teduh berganti mata merah yang nyalang membuat rontok jantung siapapun yang memandangnya. Rambut kuning berganti dengan sepasang tanduk yang tinggi menjulang.