"Apa anda bisa membuat lukisan wajah saya sekarang?"
"Sekarang? Selarut ini?"
Lauren mengangkat bahunya. "Jika anda bersedia. Saya tidak yakin bisa bertemu anda di waktu lain lagi, Tuan."
"Tadi sepertinya anda terburu-buru ..."
"Oh," Lauren tersenyum lagi. "Urusan pribadi saya masih bisa ditunda di lain hari."
Paolo agak gugup tapi tetap berusaha tersenyum. "Baik. Kalau begitu tidak ada masalah. Studio sekaligus apartemen saya tidak jauh dari sini, Nona."
Tidak sampai setengah jam kemudian, keduanya sudah berada di studio milik Paolo.. Jangan bayangkan studio yang lapang dan mewah milik pelukis-pelukis ternama. Studio itu sebenarnya ruang tamu apartemennya yang sederhana, dilengkapi dengan penerangan tambahan dan tembikar-tembikar dari timur sebagai aksesorisnya. Beberapa kanvas berisi lukisan setengah jadi masih terpampang di atas easel, sebagian lagi tergulung di lantai kayu.
Lauren melihat-lihat sejenak sebelum Paolo memintanya untuk duduk di atas sofa coklat gelap. Dia dipersilakan memulas kembali wajahnya. Paolo mengatur pose sebelum mengambil posisi kira-kira tiga langkah di depan Lauren, dan mulai mempersiapkan perkakasnya, cat minyak, palet, thinner, kanvas kosong. Tak lama kemudian dengan cekatan dia menyapu kanvas dengan beraneka warna cat untuk memindahkan wajah Lauren yang menawan itu ke dalam lukisan.
Sesekali Lauren mengajak Paolo bercakap-cakap untuk mengusir jenuh. Tapi Paolo nampak lebih tertarik menyelesaikan lukisannya dibanding meladeni ucapan Lauren.
"Anda sudah menikah, Tuan?" tanya Lauren.
Paolo menggeleng dari balik kanvasnya."Saya hanya mau menikahi lukisan-lukisanku, jika pastor memberi izin," sahutnya lalu tertawa kecil.