Kami sudah saling bertukar nomor telepon. Dari percakapan, aku mengetahui dia juga masih lajang… sepertiku. Tapi untuk meyakinkan diri aku pun stalking di akun media sosialnya.
Dia ternyata bekerja sebagai staf di kantor konsultan pajak dan aktif di komunitas penulis. Ayah dan ibunya masih hidup sampai sekarang. Dan informasi yang paling penting adalah dia memang benar-benar masih lajang, dan sepertinya tidak sedang menjalin hubungan dengan lelaki saat ini.
Mungkinkah Clarisa ini adalah calon kekasih yang baik hati yang dikirimkan Tuhan kepadaku? Kalau iya, Tuhan memang benar-benar mengetahui momentum yang pas untuk menolongku. Tapi aku tidak mau buru-buru.
Biarlah perkenalan dan perkawanan kami selanjutnya berjalan alami saja. Toh walaupun pernah berteman dekat di masa lalu, waktu bisa saja merubah diri kami. Jadi tetap butuh waktu untuk saling mengenal pribadi masing-masing kembali.
---
Lalu tahu-tahu di sinilah kami terdampar malam ini. Di sebuah café pinggir laut yang romantis dan nyaman. Waktu satu bulan telah berlalu setelah pertemuan pertama kami di acara nikahan teman kantor. Dalam kurun waktu itu, kami telah beberapa kali bertemu, menuntaskan pertemuan yang sempat terputus di masa lalu.
Di café ini kami bercerita ngalor ngidul, tentang masa lalu dan masa kini.
Di atas meja ada dua cangkir cappucino dan sisa-sisa roti bakar untuk mengganjal perut lapar. Ada juga lilin merah hati yang diletakkan di dalam gelas, benar-benar sesuai dengan suasana hati.
“Terakhir kali pacaran kapan, Sa?” tanyaku mengubah dinamika perbincangan kami. Sekarang aku akan mengarahkan pembicaraan kepada hal-hal tentang masa depan.
Clarisa sedikit terkejut lalu terdiam dan menatapku. Dia lalu berpikir
“Mm… kayaknya tiga atau empat tahun lalu, Raka. Kenapa memangnya?”