---
Yah, kesimpulannya menghadiri acara nikahan seperti itu akhir-akhir ini benar-benar membuat tidak nyaman lahir batin. Aku terpaksa harus membajak Inel, sekretaris imut-imut yang kebetulan lagi jomblo juga, atau Santi, tetangga rumah yang bersedia diajak kemana saja yang penting ada acara makan-makannya biar tidak terlihat datang seorang diri. Bisa kena sindir lagi nanti. (NB: Santi ini janda kembang loh. Tapi sumpah tidak ada apa-apa diantara kami.)
Tapi yang namanya nasib memang susah diprediksi. Malam ini aku terpaksa harus bertandang ke acara resepsi pernikahan seorang kolega di perusahaan kami. Pakai kata terpaksa, karena tidak ada cewek satu pun yang bisa dibajak kali ini. Tapi mau mangkir juga tidak enak, karena yang nikah itu cukup akrab denganku. Saat penerimaan karyawan dulu, kami satu angkatan. Walaupun dia akhirnya bertugas pada divisi logistik, sedangkan aku pada divisi pemasaran.
Makanya selama acara, aku sengaja mengambil tempat agak ke pojok, di tempat yang pencahayaannya paling minim biar bisa menghindar dari keramaian dan sewaktu-waktu bisa kabur tanpa ada yang merasa kehilangan.
Saat MC sedang memandu kedua pengantin mengadakan selebrasi dengan memotong kue pengantin raksasa di atas panggung, sebuah suara asing mampir di telingaku.
“Raka…??”
Aku menoleh ke asal suara itu. Wajah cantik, rambut lurus sebahu, dengan gaun merah maroon yang selaras dengan warna lipstiknya segera terpampang beberapa meter di depan wajahku. Sorot mata itu, aku seperti pernah mengenalnya.
Astaga!
“Clarisa?”
Cewek itu tertawa renyah, lalu menghampiri mejaku dan menduduki kursi di sampingku.
“Syukurlah kamu masih ingat aku…”