Barusan telepon dari Ardian, manajer divisinya. Baru dua minggu ini menjabat setelah sebelumnya bertugas di cabang perusahaan mereka di Denpasar. Rosa lebih tua dua tahun darinya. Kalau Rosa diminta mendeskripsikan sosok bos-nya itu dalam satu kata, maka dia akan memilih kata KEREN.
Bagaimana tidak? Ardian itu figur impian wanita modern. Mapan, gagah, cerdas, pekerja keras tapi juga sangat humble dan baik hati. Ada bonusnya, dia masih lajang.
---
Peristiwa pagi itu ternyata membuka lembaran baru dalam hidup Rosa. Ardian paling tidak seminggu sekali dipanggil menginap di rumah pakdenya yang memang sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Setiap kali nginap, Ardian menyempatkan diri untuk menjemput Rosa dan bareng-bareng ke kantor. Belakangan ini malah hampir setiap hari, Ardian berbaik hati mengantar Rosa pulang.
Rosa awalnya merasa tidak enak hati, tapi lama-lama dia seperti menikmati kebersamaan itu. Ardian juga mulai sering mengajaknya makan malam di luar. Alasannya sih, biar lebih mengenal tempat-tempat hangout di Surabaya.
Mereka juga mulai memanggil nama satu sama lain, tidak ada lagi sapaan ibu bapak saat di luar kantor. Ah, pokoknya mereka semakin dekat. Tapi Rosa belum berani, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk berharap lebih dari hubungan mereka selama ini. Dia ingin segala sesuatunya berjalan dengan wajar.
Rosa pun dengan gigih menangkal cecaran dari kawan-kawan dan orang tuanya perihal hubungannya dengan Ardian. Mereka yakin kalau kedua pria dan wanita ini sedang menjalin hubungan serius, tapi Rosa juga keukeuh kalau mereka hanya bersahabat saja.
---
“Ciee….!! Kamu kok lain ya, Ros? Lebih… feminim dan cantik,” goda Priska. Rosa saat ini sedang berada di antara dua kawannya, Priska dan Frey di dalam sebuah kafe bernuansa etnik.
“Ah, kamu bisa aja, Pris. Masa sih?” sahut Rosa.
“Iya, kan, Frey?”