Kehidupan memang suka aneh. Demikian komplain tentang hidup di benak Rosa.
Saat ini usia wanita karir bertubuh semampai itu menjelang 36 tahun. Di usia sematang itu, belum kunjung mendapatkan pendamping hidup. Jangan ditanya alasannya. Dia sendiri suka bingung menjawabnya. Jangan ditanyakan ke orang tuanya, mereka jauh lebih bingung lagi.
Tapi setelah berpikir dalam, panjang dan luas Rosa berpikir jawabannya hanya satu. Dia belum menemukan jodoh alias the one alias truelove-nya. Hanya itu jawabannya. Memang sebelumnya dia sudah beberapa kali menjalin hubungan kekasih namun percintaannya selalu kandas.
Bohong jika dikatakan dia cukup menikmati status single-nya itu. Seringkali dia juga merasa membutuhkan seorang kawan hidup yang bisa diajak berbagi, lebih dari sekedar sahabat. Kawan hidup yang akan mengarungi usia bersama-sama. Kawan hidup sampai maut memisahkan.
Tapi mengapa menganggap hidup ini aneh?
Rupanya ini penyebabnya. Saat wanita yang lain belum kebagian jodoh, wanita lainnya yang sudah berstatus istri justru mengkhianati status mereka. Seperti terjadi dengan beberapa kawannya. Mereka dengan mudah mengabaikan cinta suami mereka dan mengadu kasih dengan lelaki lain.
Rosa hanya bisa geleng-geleng kepala tiap kali mendengar cerita petualangan ranjang kawannya. Tidak jarang dia memberi nasihat agar kawan-kawannya kembali kepada suami-suami mereka. Tapi statementbalik kawan-kawannya suka bikin speechless.
“Lah, kita juga tidak bisa menjamin di luar sana mereka setia 100% kan? Bisa saja mereka juga main serong.”
“Yang penting kewajiban kita sebagai istri tidak dilalaikan. Kewajiban lahir batin. Betul tidak?” sambung yang lain.
Nah, kalau pembicaraan sudah mengalir seperti itu, pasti selanjutnya Rosa-lah yang menjadi bulan-bulanan. Mereka ingin agar Rosa juga cepat-cepat menemukan pendamping hidup. Walaupun rumah tangga kawan-kawannya cukup rapuh, mereka tetap berharap Rosa mendapat yang terbaik.
---
Hari masih pagi benar. Rosa yang sedang meracik sandwich terkejut karena handphone-nya berbunyi sepagi ini. Keterkejutannya bertambah melihat nama si pemanggil.
“Selamat pagi, Pak.”
“Pagi, bu Rosa. Maaf menelepon sepagi ini…”
“Oh, tidak masalah. Bagaimana, ada yang bisa dibantu, Pak?”
“Ehm, bagaimana ya ngomongnya? Begini, Bu. Saya kan semalam nginap di rumah Pakde di Kebonsari. Dari sini langsung ke kantor. Nah, arah kantor kan searah dengan rumah ibu. Kalau mau saya jemput sekalian…”
“Oh, begitu,” Rosa mengangguk paham.
“Bagaimana?”
“Ya, boleh deh, Pak, kalau nggak merepotkan.”
“Tidak, kok. Malah senang ada teman seperjalanan. Baik kalau begitu, sejam-an lagi saya jemput ya.”
“OK pak.”
Percakapan terputus. Hati Rosa berdesir. Wajahnya pun menghangat.
Barusan telepon dari Ardian, manajer divisinya. Baru dua minggu ini menjabat setelah sebelumnya bertugas di cabang perusahaan mereka di Denpasar. Rosa lebih tua dua tahun darinya. Kalau Rosa diminta mendeskripsikan sosok bos-nya itu dalam satu kata, maka dia akan memilih kata KEREN.
Bagaimana tidak? Ardian itu figur impian wanita modern. Mapan, gagah, cerdas, pekerja keras tapi juga sangat humble dan baik hati. Ada bonusnya, dia masih lajang.
---
Peristiwa pagi itu ternyata membuka lembaran baru dalam hidup Rosa. Ardian paling tidak seminggu sekali dipanggil menginap di rumah pakdenya yang memang sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Setiap kali nginap, Ardian menyempatkan diri untuk menjemput Rosa dan bareng-bareng ke kantor. Belakangan ini malah hampir setiap hari, Ardian berbaik hati mengantar Rosa pulang.
Rosa awalnya merasa tidak enak hati, tapi lama-lama dia seperti menikmati kebersamaan itu. Ardian juga mulai sering mengajaknya makan malam di luar. Alasannya sih, biar lebih mengenal tempat-tempat hangout di Surabaya.
Mereka juga mulai memanggil nama satu sama lain, tidak ada lagi sapaan ibu bapak saat di luar kantor. Ah, pokoknya mereka semakin dekat. Tapi Rosa belum berani, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk berharap lebih dari hubungan mereka selama ini. Dia ingin segala sesuatunya berjalan dengan wajar.
Rosa pun dengan gigih menangkal cecaran dari kawan-kawan dan orang tuanya perihal hubungannya dengan Ardian. Mereka yakin kalau kedua pria dan wanita ini sedang menjalin hubungan serius, tapi Rosa juga keukeuh kalau mereka hanya bersahabat saja.
---
“Ciee….!! Kamu kok lain ya, Ros? Lebih… feminim dan cantik,” goda Priska. Rosa saat ini sedang berada di antara dua kawannya, Priska dan Frey di dalam sebuah kafe bernuansa etnik.
“Ah, kamu bisa aja, Pris. Masa sih?” sahut Rosa.
“Iya, kan, Frey?”
Wanita yang disapa Frey mengangguk membenarkan. “Make up-nya juga sudah lebih berani. Ada pacar baru, ya?” timpalnya lagi.
Rosa pura-pura terkejut.
“Fitnah darimana tuh?”
Frey dan Priska terkekeh.
“Gak usah pura-pura. Kita kan walaupun jarang-jarang ngumpul seperti ini, selalu saling memantau kabar satu sama lain,” ucap Frey.
“Tapi aku belum punya pacar baru kok. Suer…”
Sanggahan Rosa sepertinya tidak berhasil.
“Saran aku, ya Ros, jangan lama-lama. Siapapun cowok itu, buruan digaet, jangan sampai diembat si Frey tuh,” sambung Priska lagi lalu tertawa.
Rosa yang sedang menyeruput jus-nya terkejut lalu menimpali.
“Kamu masih suka embat suami orang, Frey?”
“Eh, si Priska jangan didengerin. Dia tuh yang kemarin hampir ketangkap basah lagi pacaran sama suami orang.”
Priska mendelik. Tapi sebelum mulutnya terbuka untuk menyahut, Rosa mengangkat kedua telapak tangannya sebagai isyarat agar kedua kawannya berhenti berbicara.
“Jangan mulai deh. Kita ketemu disini mau melepas rindu satu sama lain kan? Jangan berantem lagi dong. Suasana kafe sudah mendukung, jangan dirusak dengan cerita petualangan-petualangan liar kalian.”
Priska dan Frey terdiam membenarkan.
“Priska tuh yang mulai…”
“Iya, iya. Sori…”
“Tahu gak, sebenarnya cerita-cerita kalian tuh ikut membuat aku rada parno menjalin hubungan serius dengan laki-laki.”
“Ya, jangan sampai gitu juga dong, Ros. Percaya deh, itu hampir jadi masa lalu kami,” sahut Priska.
“Hampir?”
Frey menatap lucu ke arah Priska.
“Priska hampir. Kalau aku sih sudah benar-benar masa lalu, Ros. Kelihatan kan sekarang siapa yang naughty sebenarnya.”
Suasana menghangat lagi. Tapi handphone Rosa yang diletakkan di atas meja berbunyi nyaring. Wajah Ardian memanggil muncul di layar handphone-nya.
“Bentar yah, bos aku nelpon…”
Freya memasang mimik menggoda lagi. Sedangkan Priska seperti sedang mencari sesuatu dalam pikirannya. Rosa berdiri dan menjauh sambil menjawab panggilan Ardian.
“Gak… lagi sama temen-temen… mau gabung?” Rosa kemudian tertawa kecil. “Gak perlu lah, ini acara ladies… nanti deh saya kenalin sama mereka… OK, sipp…. Bye…”
Setelah menutup teleponnya, Rosa kembali ke tengah dua kawannya.
“Dari bos atau bos?” goda Frey. “Kalau urusan kantor doang gak perlu terima telepon jauh-jauh kan?”
Wajah Rosa bersemu.
“Itu Ardian, kan?”
Rosa terkejut dan menatap ke arah Priska. Frey juga.
“Kamu kenal?”
“Itu beneran Ardian? Ya ampuunn. Beneran bos kamu?”
Rosa mengangguk keheranan.
“Kenal dimana, Pris?” tanya Frey.
Sambil berusaha menyambung kembali potongan-potongan memori di otaknya, Priska menyahut tergopoh-gopoh.
“Setelah lulus kuliah, aku kan ke Bali. Kami ketemu di sana, Ros. Anak ini… anak ini, wah terserah deh kamu mau percaya atau tidak. Tapi dia itu dulu berondong pesanan tante-tante kaya, Ros. Anaknya cakep sih. Ardian tuh hobi banget hura-hura dan judi game online. Makanya buat dapat duit mudah dia menjajakan diri sama tante-tante. Kami sempat bersahabat lama, Ros. Setahu aku kuliahnya berantakan gara-gara pergaulannya itu. Jadi nggak nyangka kalau sekarang dia bisa jadi orang kantoran gitu.”
“Serius?” tanya Frey.
“Serius! Coba deh pertemukan kami, Ros, terus kita lihat reaksinya.”
Rosa termangu. Tadinya sih memang dia niat mau mengenalkan mereka berdua pada Ardian. Tapi sekarang dia jadi bingung, benar-benar bingung.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H