Pical Gadi No. 11
Mendung hitam pekat mendandani langit siang ini. Mungkin sebentar lagi hujan lebat akan menari-nari. Tapi mungkin aku tidak peduli. Aku masih ingin menghabiskan waktu di tepi nisan Leo, sahabatku. Tiga bulan lalu aku juga menginjakkan kaki di tempat ini, dalam upacara kedukaan yang hening dan berbekas dalam. Saat itu aku bertemu isteri mendiang yang kemudian membuka lembaran baru prahara kehidupanku.
Leo adalah seorang novelis, tidak sepopuler Andrea Hirata atau bahkan J.K. Rowling. Tapi dia memiliki penggemar sendiri. Sebagian besar tulisannya bertema elegi dan tragedi. Sayang, sepertinya hidup yang dia jalani mengikuti kelamnya aksara demi aksara yang dia tuliskan.
Leo telah beristri setahun yang lalu. Perkawinan mereka bukannya gagal, namun juga tidak bisa disebut bahagia. Mereka belum dikarunai buah hati sampai Leo meninggal. Menurut Leo isterinya adalah wanita yang sangat melankolis, juga moody. Leo selalu berusaha menyenangkan hati istrinya. Bahkan sebuah apartemen dihadiahkan khusus untuk istrinya. Menurutnya pada waktu-waktu tertentu istrinya perlu sangat ingin menikmati kesendiriannya. Leo pun terus menyibukkan diri dengan karya demi karya untuk memuaskan passion dan sekaligus pelarian dari temaramnya hidup.
Terakhir aku tahu, dia membuat satu novel khusus untuk isterinya. Dia ingin agar isterinya belajar sesuatu dari bulan mati. Bulan mati menurutnya merupakan awal dari sebuah kehidupan baru.
Aku pun dengan sukacita bercerita tentang Rhein-ku. Jika isteri Leo adalah wanita melankolis, sebaliknya Rhein-ku seperti matahari bagi semestaku. Dia selalu punya alasan untuk membuatku tersenyum, tertawa dan merindukan kehadirannya. Leo ikut senang, malah beberapa kali mendesakku untuk menyusulnya memasuki bahtera rumah tangga.
Pada suatu senja yang sepi, di ujung telepon Leo berkata,
“Sobat, kita telah menceritakan wanita kita masing-masing. Mengapa sampai hari ini kita belum dipertemukan waktu untuk berbagi tawa satu sama lain?”
Terdengar kesedihan dalam gema suaranya. Tapi aku tertawa membenarkan.
“Benar. Aku terlalu sibuk dengan perusahaan, aku harap kamu maklum, sobat…”
“Tinggalkan kesibukan sejenak, lalu kita bersenang-senang… Perusahaanmu tidak langsung bangkrut jika kamu tinggalkan beberapa hari…”
Aku tertawa lagi.
“Baiklah, aku akan mencari waktu untuk cuti panjang, lalu kita keluar Jakarta. Bagaimana? ”
Tak pernah kubayangkan, itu akan jadi rencana kami yang terakhir. Beberapa hari kemudian, aku mendengar kabar serangan jantung menghantarnya meninggalkan dunia ini dan semua permasalahannya.
****
Di tempat ini empat bulan yang lalu, aku memberikan penghormatan terakhir kepadamu, sobat. Sendiri. Rhein seharian itu tidak bisa kuhubungi.
Sejak lama aku ingin lebih dekat dengan keluargamu, tapi mengapa momentumnya harus seperti ini?
Saat beberapa kawan mengenalkanku pada isteri yang kamu tinggalkan, aku terkejut. Sungguh terkejut. Dari balik cadar hitam, aku melihat sorot mata yang sangat aku kenal. Memang kali ini wajah dan sorot mata itu diselimuti duka mendalam.
Rhein…..
Dari kehampaan pada matanya, terlihat dia tidak mengenaliku sedikitpun. Pandangan itu adalah pandangan yang ditujukan kepada orang asing.
Aku Gie, Rhein,…. Gi? Ingatkah kamu dengan diriku? Kenny G dan cangkir-cangkir White Frappe yang selalu membuat kita beradu nada?
“Anna….,” ucapmu lirih.
Aku benar-benar kehabisan kata.
Apa Rhein memiliki kembaran?
Aku segera menjauh dari kerumunan orang dan menelepon nomor Rhein kembali. Sial! Nomornya masih tidak aktif…..
Apa dia Rhein? Atau siapa tadi…. Anna?!
“Sepertinya kita belum pernah bertemu….”
Seorang lelaki muda gagah menghampirku. Aku memandanginya lekat-lekat, ada garis-garis wajah Leo disitu.
“Aku James,… adik almarhum.”
“Oh,…” Aku segera menyambut tangannya… “Aku Nugie,..”
James mengangguk dan memaksa diri untuk tersenyum. “Wah, anda sahabat jauh kakak saya. Dia sering menyebut nama anda….,”
Aku mencoba menetralkan diri dari suasana kikuk ini.
“Ehm.. eng... Sebenarnya…. Aku punya kawan yang… wajahnya benar-benar mirip dengan wajah istri Leo, Anna.”
James terhenyak.
“Kita harus bicara panjang, Nugie. Aku…. aku seorang psikiater. Aku khawatir memang Anna-lah yang anda maksud.”
Aku tercengang….
Pembicaraan itu kami lanjutkan di sebuah café mungil keesokan malamnya. James menjelaskan sesuatu yang membuatku merinding. Leo belakangan ini sedang tertekan karena merasa istrinya sedang menyembunyikan sesuatu. Mungkin sedang memiliki hubungan spesial dengan pria lainnya. Beberapa bukti mulai mengarah kesitu. Leo pun meminta bantuan James menyelidiki Anna diam-diam. James mengadakan investigasi kecil dan menemukan kemungkinan Anna memiliki kepribadian ganda. James baru akan menyelidiki lebih lanjut saat Leo keburu meninggal.
Peristiwa ini membuat James benar-benar terpukul. Penyesalan terbesarnya adalah tidak sempat memberitahukan kepada Leo mengenai “keadaan khusus” Anna tersebut.
“Dua hari terakhir ini handphone Rhein tidak aktif….,” kataku.
“Jika Rhein itu benar Anna. Bisa saja saat ini karakter Anna yang muncul ke permukaan…”
Aku meninggalkan café dengan gundah. Aku belum percaya sepenuhnya pada ucapan James. Aku lalu memuntir setir mobil ke arah apartemen Rhein. Aku memiliki kunci duplikat apartemennya.
Ternyata malam ini Rhein memang sedang tidak berada dalam apartemennya.
Benarkah?
Benarkah Rhein adalah Anna?
Berarti saat aku bercerita tentang Rhein-ku dan Leo membicarakan tentang Anna-nya, kami sebenarnya sedang membicarakan wanita yang sama?
Aku merasa jantungku seperti berusaha keras berdegup, agar aliran darah tetap sampai ke otak dan sum-sumku. Menjaga agar aku tetap waras saat ini. Rasa lelah dan bingung menderaku bertubi-tubi hari ini. Aku pun memutuskan menghabiskan malam di apartemen Rhein.
****
Suara Rhein dan matahari pagi muncul bersamaan. Aku berusaha membuka pelupuk mataku untuk membuktikan pendengaranku. Itu memang benar Rhein. Sorot matanya, sorot mata Rhein.
“Mau aku buatin apa, Gie?” pertanyaan spontan yang sama setiap aku mampir agak pagi ke apartemen ini.
“Kamu dari mana Rhein….,” tanyaku hati-hati.
Dia tertawa kecil.
“Aku dari luar kota, Gie. Maaf ya gak bilang-bilang sama kamu…”
“Luar kota?”
“Iya, entah kenapa aku lagi pengen meninggalkan hiruk pikuk Jakarta. Mungkin lagi butuh refreshing aja…,”
Saat itu Rhein menatapku lekat-lekat.
“Kenapa Gie? Sepertinya kamu lagi kurang sehat. Ada masalah ya?”
“Ah, enggak kok. Aku kangen sama roti isi buatan kamu, Rhein…,”
Rheing tersenyum. “Siap, cintaku…,” lalu buru-buru menghilang ke arah dapur.
Aku harus menelepon seseorang. James. Tapi keburu smartphone-ku berbunyi nyaring. Ah, James yang memanggil. Jantungku berdetak kencang lagi.
“Nugie, Anna tidak ada di rumah pagi ini. Kamu dimana Nugie? Apa sudah tersambung dengan Rhein?”
“Ya, aku bersama Rhein saat ini,” jawabku datar tapi sejatinya dadaku sedang bergejolak kencang.
Aku mencoba saran James untuk memeriksa tas Rhein. Sesuatu yang aku anggap tabu untuk kulakukan selama ini, kendati kami sudah berbulan-bulan menjadi sepasang kekasih. Kebetulan saat itu Rhein sedang sibuk di dapur.
Sisir, power bank, kuas, bedak, kabel data, beberapa lembar rupiah, syal. Tidak ada yang mencurigakan. Upss..!! aku tidak meletakkan kembali tas Rhein dengan seksama sehingga tasnya jatuh ke atas karpet. Untunglah tidak menimbulkan suara gaduh. Aku pun memunguti satu per satu perkakas Rhein hati-hati.
Saat itu aku melihat ujung sebuah buku tebal tersingkap dari salah satu laci tas. Perlahan aku mengeluarkan buku itu. Sebuah novel bercover hitam pekat, pemandangan tentang bulan mati dan kerlap-kerlip lampu kota yang diambil dari sisi sebuah balkon.
Ini novel Leo.
Aku membuka halaman pertama dan menemukan tulisan serta tanda tangan asli Leo disitu. Kata-katanya begitu menohok jantungku,
“to my beloved one,… Anna.”
Tidak mungkin! Jadi Rhein benar-benar Anna?!
Tanpa menunggu roti isi disajikan lagi, aku meninggalkan apartemen Rhein alias Anna. Sejak hari itu aku selalu dihantui perasaan bersalah yang besar. Apa aku mengkhianati Leo? Atau Anna yang sedang mengkhianati kami?
Saat direksi perusahaan memutuskan akan mengirim orang ke London untuk belajar inovasi produk dan pengembangan usaha, aku secepatnya mengajukan diri. Aku harus pergi. Siapa tahu keputusan ini bisa membantuku melupakan Rhein. Rhein alias Anna juga harus bisa melupakanku. Aku pun memutuskan semua contact, mengganti nomor telepon dan membekukan akun sosial mediaku. Aku harus benar-benar terputus dengan masa lalu.
Sebelum meninggalkan Jakarta, aku meminta James mengusahakan yang terbaik untuk Anna dengan skill yang dimilikinya. Kendati saat ini dia pun sedang terpukul dengan kematian saudaranya.
*****
Grandi Navi Veloci.
Karyawan baru yang gemilang itu bisa dibilang menjadi satu-satunya orang yang menghubungkan aku dengan suasana kantor yang aku rindukan. Karyawan yang berkejaran dengan waktu sebelum menempelkan jempol di fingerprint, bos HRD yang di-bully diam-diam, para nominee employee of the month yang suka absurd dan suasana kantor lainnya. Kami menjadi akrab beberapa waktu sebelum aku beranjak ke London. Ran juga tahu perihal kekasihku Rhein, dan entah bagaimana mereka bertemu, Ran juga menjadi akrab dengan Rhein. Kadang-kadang dia melaporkan bagaimana keadaan Rhein setelah aku tinggalkan. Diam-diam rasa rindu terbersit setiap kali Ran bercerita tentang Rhein. Aku rasa dia juga sebenarnya suka pada gadis itu. Cepat atau lambat aku harus memberitahukan kebenaran tentang Rhein padanya.
Tapi rupanya kabar yang aku khawatirkan lebih dulu datangnya. Ran mengatakan Rhein menjadi aneh. Dia tiba-tiba suka histeris, serta menyebut nama orang-orang yang tidak dikenalnya sebelumnya. Ran memutuskan membawa Rhein ke rumah sakit jiwa. Dia pun didiagnosa mengidap MPD, dan segera mendapat penanganan.
Aku sedikit lega. James pasti akan mencari cara untuk mengupayakan yang terbaik bagi Rhein. Tapi seiring waktu Ran mulai curiga pada dokter yang menangani Rhein itu. Mengapa semakin hari dokter itu semakin membuat Rhein percaya kalau pribadi otentiknya adalah Anna plus sebuah nama Rusia dibelakangnya. Kemudian ada sesuatu yang janggal dari tatapan mata dokter itu pada Rhein, juga pada Ran…. . Aku segera meminta Ran mencari dokter James yang juga seorang psikiater. Dokter James bisa menjelaskan semuanya.
Tapi sampai komunikasi kami terakhir, Ran mengatakan dia belum berhasil menemukan dokter James. Nama dokter Rhein adalah Jalal. Beberapa hari terakhir ini, dokter itu juga mulai membatasi frekuensi Ran berkunjung.
Aku ikut khawatir dibuatnya. Ran pun memintaku pulang segera.
******
Dan siang ini disinilah aku. Aku harus segera menceritakan kebenaran kepada Ran, juga mungkin kepada Anna, istrimu serta segera menelusuri keberadaan James, adikmu. Mestinya dia orang yang bisa menguraikan segala kekusutan cerita ini.
Angin mulai menghempas. Hawa dinginnya menyelusup di sela-sela jaketku, berupaya mencari celah untuk menusuk kulit. Kembang-kembang ilalang mulai beterbangan ditiup angin. Satu-satu rintik hujan mulai mengusap wajahku. Aku buru-buru melebarkan tudung payung hitam yang sejak tadi tersandar di kakiku. Aku tidak boleh terpapar hujan karena masih ada satu tujuanku kembali ke Jakarta. Rumah sakit jiwa Sentosa.
Selamat tinggal Leo, aku akan kembali kapan-kapan.
Seorang wanita, berlari menembus barisan nisan dan hujan. Apa yang dicarinya?
*******
Buku bercover hitam pekat itu seperti menghempaskan kesadaranku kembali pada tempatnya. Selama ini dokter Jalal, James atau siapapun namanya, membuatku kesadaranku semakin jauh. Mengapa selalu ada sosok laki-laki yang singgah dalam pikiranku. Padahal sejatinya aku adalah seorang istri. Istri yang ditinggal mati, istri yang mestinya masih berada pada masa berkabung karena kematian suaminya.
Maka setelah lolos dari perangkap maut dokter Jalal, aku berlari sekuatnya, membuang semua logika dan ketakutanku di belakang, menyambar tas seorang suster yang sedang lengah dan secepatnya meninggalkan rumah sakit itu. Aku membiarkan insting menuntunku menuju sebuah tempat yang jauh di ujung kota. Tempat mereka membaringkan suamiku.
Hujan menderas, membuat aku sedikit kesulitan mencari nisan mas Leo. Seorang pria berpayung hitam, berjalan ke arah luar, ah aku ingat sekarang makam mas Leo searah pria itu.
Aku berlari lagi tanpa memperdulikan tatapan mata pria itu, sepertinya tidak asing. Tapi aku tidak peduli. Aku harus melepaskan semua beban ini pada makam mas Leo.
Pada akhirnya aku menemukannya. Aku pun bersimpuh, menggapai nisannya dan menangis sejadi-jadinya.
“Apa yang terjadi padaku, mas??”
****
Anna. Saat ini dia adalah Anna, wanita di tengah rinai hujan yang memanjatkan tangisan pada langit pekuburan. Aku ikut menitikkan air mata, membayangkan begitu berat kehidupan yang harus dia jalani. Sebagai Anna dia sedang kehilangan suaminya. Kalaupun dia hidup sebagai Rhein, dia adalah kekasih paling malang yang ditinggal pergi begitu saja oleh kekasihnya.
Aku berniat menembus hujan untuk memeluk tubuh yang sangat aku rindukan itu. Tapi aku mengurungkannya. Sebagai Anna dia mungkin tidak akan mengenaliku, dia juga seperti tidak butuh siapapun saat ini kecuali kebersamaan dengan makam suaminya.
Ah, Leo bisa menjadi alasan yang tepat untuk membuat aku bertemu sejenak dengan Anna.
Tapi sebelum aku melangkah, sekali lagi dari balik tirai hujan aku melihat sosok lain berlari di antara nisan. Seorang pria. Tatapannya jelas mengarah ke sosok Anna. Tapi itu bukan tatapan bersahabat. Aku pun tak bergeming ketika pria itu akan melewatiku.
“Nugie?”
Aku terkejut bukan kepalang. Permainan apalagi yang disodorkan semesta padaku?
“Seperti Dejavu, ya. Bertemu kembali denganmu di areal pekuburan ini,” ujarnya lagi.
Mendengar suaranya, pikiranku pun terhanyut pada satu nama.
“James???”
“Benar. Kemana saja kamu? Banyak peristiwa aneh terjadi akhir-akhir ini.”
Aku menarik James ke tepi sebuah makan yang cukup luas dan mencoba memayungi wajahnya dari rintik hujan.
“Aku yang seharusnya bertanya. Apa yang terjadi padamu? Juga pada Anna?”
Lalu James pun menuturkan segala sesuatunya. Aku harus mendinginkan kepalaku, agar bisa menyortir informasi demi informasi yang diberikan James dengan tepat.
****
Anna yang malang ternyata adalah korban kekerasan pada masa kecilnya. Kuat dugaan dia mengalaminya saat diadopsi dan dibesarkan di Moskow oleh kawan dekat ibunya, seorang pria Rusia. Inilah yang kemungkinan besar membuat kepribadiannya terbagi. Seiring waktu, kedua kepribadian juga bertumbuh sama kuatnya. Leo mempersunting Anna namun tidak mengira ada karakter Rhein dalam diri Anna yang kemudian menjadi kekasihku.
Momentum berikutnya dimulai saat Leo berpulang.
James, satu-satunya keluarga dekat yang dimiliki Leo tidak tahan dengan gossip dan pertanyaan awak media mengenai kedekatannya dengan Anna. James pun mengubah indentitas dan wajahnya. Sebagai saudara dia juga masih punya tanggungjawab terhadap kehidupan Anna, sehingga dia tetap menyelidiki dan mencari cara untuk menyembuhkan Anna diam-diam.
Namun tiba-tiba suatu siang, Anna yang kondisinya terganggu di bawa ke rumah sakit oleh lelaki lain. Ran. James pun berpura-pura tidak mengenal sama sekali Anna atau Rhein seperti yang dipanggil lelaki itu. Kabar gembiranya, selama proses pengobatan, karakter Anna semakin menguat.
Namun anehnya Anna tetap mengingat sosok Ran sebagaimana sahabatnya. Padahal Ran adalah sahabat pada pribadi Rhein. James pun menyimpulkan, Ran-lah yang selama ini menyebabkan Anna menyeleweng dari Leo. Dilematis memang.
Dan tragedi tidak bisa dihindari lagi. Beberapa jam yang lalu nyawa Ran tidak bisa diselamatkan lagi. Mereka berkonfrontasi karena Ran ingin secepatnya membawa Anna keluar dari rumah sakit. James juga sempat kalap dan hampir membunuh Anna, jika saja Anna tidak segera melarikan diri.
Ini memang masih ada hubungannya dengan duka mendalam dan rasa penyesalan besar dalam diri James akibat kematian Leo.
“Sudahlah James,” ujarku. “Kamu bukan penyebab kepergian Leo. Begitu pula Anna. Lihatlah dia sekarang sedang berduka sedalam-dalamnya di atas nisan suaminya.”
James menatapku dan mengangguk lesu.
*****
Cuaca belum pernah secerah hari ini, paling tidak selama beberapa bulan terakhir, saat musim penghujan menunjukkan kuasanya. Namun masih ada yang sama, angin pekuburan masih berhembus kencang, menerbangkan kembang-kembang ilalang di sana-sini.
Kami bertiga, aku, Anna dan James kembali berkumpul di samping nisan Leo untuk memberikan penghormatan. Hari ini genap setahun Leo meninggalkan kami semua. Anna mewakili kami meletakkan rampai bunga kemboja di atas nisan lalu kami memanjatkan doa singkat.
Entah apa yang dipanjatkan Anna? Aku sendiri mohon izin dari Leo agar berkenan merestui kedekatanku dengan Anna. Hari-hari belakangan ini aku merasa seperti memulai kembali hubunganku dari awal dengan Rhein. Anna yang melankolis itu telah berubah, semakin mirip Rhein. James berperan besar dalam hal ini.
Ah, James. Entah apa yang dia panjatkan di ujung sana. Mungkin dia menyatakan kegembiraannya karena dalam persidangan dia berhasil membuktikan kalau tindakannya menembak Ran adalah perbuatan membela diri.
Aku pun merangkul pinggang Anna sebagai isyarat kita harus segera beranjak dari tempat itu.
“Huss…. Aku ini masih janda mas Leo, lohh…,” Anna menggodaku.
James dan aku tersenyum.
“…dan aku masih kawan Leo,…” sahutku.
Cuaca belum pernah secerah hari ini. Bagaimana menurut kalian?
---oOo---
ilustrasi gambar dari: creepypasta.wikia.com
Fiksi bersambung lainnya di sini | Mari bergabung dengan Grup Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H