Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber] Nisan, Hujan dan Kebenaran

27 November 2015   17:39 Diperbarui: 27 November 2015   17:40 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pical Gadi No. 11

 

 

Mendung hitam pekat mendandani langit siang ini. Mungkin sebentar lagi hujan lebat akan menari-nari. Tapi mungkin aku tidak peduli. Aku masih ingin menghabiskan waktu di tepi nisan Leo, sahabatku. Tiga bulan lalu aku juga menginjakkan kaki di tempat ini, dalam upacara kedukaan yang hening dan berbekas dalam. Saat itu aku bertemu isteri mendiang yang kemudian membuka lembaran baru prahara kehidupanku.

Leo adalah seorang novelis, tidak sepopuler Andrea Hirata atau bahkan J.K. Rowling. Tapi dia memiliki penggemar sendiri. Sebagian besar tulisannya bertema elegi dan tragedi. Sayang, sepertinya hidup yang dia jalani mengikuti kelamnya aksara demi aksara yang dia tuliskan.

Leo telah beristri setahun yang lalu. Perkawinan mereka bukannya gagal, namun juga tidak bisa disebut bahagia. Mereka belum dikarunai buah hati sampai Leo meninggal. Menurut Leo isterinya adalah wanita yang sangat melankolis, juga moody. Leo selalu berusaha menyenangkan hati istrinya. Bahkan sebuah apartemen dihadiahkan khusus untuk istrinya. Menurutnya pada waktu-waktu tertentu istrinya perlu sangat ingin menikmati kesendiriannya. Leo pun terus menyibukkan diri dengan karya demi karya untuk memuaskan passion dan sekaligus pelarian dari temaramnya hidup.

Terakhir aku tahu, dia membuat satu novel khusus untuk isterinya. Dia ingin agar isterinya belajar sesuatu dari bulan mati. Bulan mati menurutnya merupakan awal dari sebuah kehidupan baru.

Aku pun dengan sukacita bercerita tentang Rhein-ku. Jika isteri Leo adalah wanita melankolis, sebaliknya Rhein-ku seperti matahari bagi semestaku. Dia selalu punya alasan untuk membuatku tersenyum, tertawa dan merindukan kehadirannya. Leo ikut senang, malah beberapa kali mendesakku untuk menyusulnya memasuki bahtera rumah tangga.

Pada suatu senja yang sepi, di ujung telepon Leo berkata,

“Sobat, kita telah menceritakan wanita kita masing-masing. Mengapa sampai hari ini kita belum dipertemukan waktu untuk berbagi tawa satu sama lain?”

Terdengar kesedihan dalam gema suaranya. Tapi aku tertawa membenarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun