Nina…
Aku berharap dia masih hidup, kendati aku sendiri tidak percaya pada pengharapanku. Tiga menit lalu, peluru itu menghantam telak jantungnya, menorehkan darah merah segar ke pintu mobil dan lantai basement. Aku masih sempat berteriak histeris dan mengguncang-guncang tubuhnya di pangkuanku, sebelum wajah pucat pasi muncul dari balik tiang basement, dengan sebuah pistol di genggamannya.
Lalu aku merasakan hawa maut menyengat sehingga pikiranku hanya berisi satu kata,
berlari!
Setelah bermenit-menit berlalu, aku masih terus berlari dengan tangan berlumur darah. Napas terengah. Keringat deras mengalir. Sepelemparan penglihatan, aku melihat tong sampah besi di sudut basement. Aku pun menanggalkan dan melempar sepatu high heels-ku ke dalamnya.
Setelah itu aku kembali berlari sekuatnya, menjauhi sosok kekar yang mengejarku dari belakang. Sosok yang pernah mengisi kekosongan hati ini sekarang mengejarku dengan senjata pembunuh di tangannya.
“Rheinaraa…!!!,”
Suara Ran menggelegar dari kejauhan. Jantungku hampir copot.
Sejak kapan dia mengenaliku?
Tapi pandanganku tetap tertuju pada pintu lift di ujung basement. Mudah-mudahan lift itu masih berfungsi. Aku hampir kehabisan nafas. Mungkin bisa benar-benar modar jika masih harus berlari menaiki tangga lagi.
Gema ketukan sepatu Ran yang sedang berlari juga mulai memenuhi basement, pertanda dia semakin dekat. Saat aku memencet tombol lift, dia berteriak memanggilku lagi. Kali ini seperti terdengar getar putus asa dari suaranya.