"Kau mau apa ? Mau kaya ?" tanya Dukun itu.
"Aku mau menjadi pengangguran yang bahagia. Tidak semua orang bisa mendapatkan waktu luang !"
"Permintaanmu bisa terkabul. Asal kau bisa memenuhi syaratnya !"
"Apa ? Katakan !"
"Kau harus bisa mendengarkan cerita. Setiap cerita yang kau dengarkan. Perlihatkan empatimu. Itu perlu latihan !"
Dukun itu menyarankan. Gunawan tidak mampu melupakan malam itu. Ia ke Dukun untuk mencari pencerahan, ternyata hanya mendapatkan saran untuk mendengarkan. Tak terasa, ia terbangun. Dukun yang didatanginya itu berubah menjadi seekor burung yang sakit. Gunawan memelihara burung itu.
"Aku bukan dukun ! Aku adalah hati kecilmu sendiri !"
"Kenapa kau menyarankan aku untuk mendengarkan ?"
"Kau membutuhkan. Bukankah kita tidak akan pernah tahan dengan kebencian. Hati akan lelah ketika dipakai untuk membenci. Itu berlangsung juga ketika menganggur !"
Gunawan mencoba memincingkan matanya. Cahaya di kamar pagi itu terasa silau. Waktu sudah jam delapan pagi. Ia tidak pernah terlambat untuk mengangggur.
Bahkan, meski menganggur, Gunawan tetap konsisten. Tepat pukul delapan ia mulai menganggur. Kadang merencanakan, kemana dia akan pergi. Teman yang mana akan didatangi.
"Apakah yang bisa diharapkan dari seorang pengangguran ?" tanya ketua RT tempat Gunawan tinggal.