Cerpen Yudha Adi Putra
"Tidak semua orang bisa menikmati indahnya waktu luang !" jawab Gunawan.
Menganggur menjadi bahan gunjingan bagi lelaki desa. Pekerjaan ada, tapi tidak semua dapat membawa kebahagiaan. Coba kalau bisa bekerja dan mendapatkan kebahagiaan dari apa yang dikerjakan. Pasti menganggur juga menjadi pekerjaan menawan, setidaknya bagi Gunawan. Meski pengangguran, Gunawan merasakan kebahagiaan di antara banyak gunjungan. Bekerja bukan sebagai keharusan. Bekerja hanya untuk mengisi waktu luang.
Mengunjungi kawan, mungkin menjadi kebiasaan baik Gunawan. Sudah banyak bekerja, kadang lupa berkunjung. Sekedar untuk menikmati teh hangat dan jeda di antara banyak tuntutan pekerjaan. Bukan karena senang berkunjung, hanya saja Gunawan pengangguran. Pengangguran membuat Gunawan punya banyak waktu untuk bertemu banyak orang. Barangkali, teman yang didatangi Gunawan akan iri. Kenapa dia bisa punya banyak waktu luang. Dalam hal ini, Gunawan akan mengajak bersyukur. Sebenarnya, sudah banyak perjuangan dilakukan untuk mendapatkan pekerjaan. Semua yang dicoba tidak sesuai dengan harapan.
"Itu lebih baik. Aku takut mengeluh saja dalam menghadapi tuntutan pekerjaan !"
Setiap kali Gunawan mendatangi rumah seorang kawan, maka ia akan disambut dengan senyuman. Kalau mungkin, ada sedikit pertanyaan.
"Sekarang sudah sibuk apa, Gun ?"
"Aku mau menhabiskan waktu akhir pekan bersamamu !" balas Gunawan.
Tak lama, Gunawan mendengarkan cerita. Bagaimana tidak, hampir semua yang bekerja itu tidak sempat bercerita. Lebih tepatnya, tidak ada yang mau mendengarkan cerita pekerja. Hanya itu dan begitu saja. Menunggu kedatangan Gunawan itu semacam mendapatkan obat. Melegakan untuk bisa mendengarkan.
"Istriku ternyata selingkuh, Gun !" seorang kawan mulai bercerita.
Sekali ucapan itu terdengar. Gunawan mulai memperhatikan. Kawan yang bercerita seolah mendapatkan empati. Bayangan akan kisah perselingkuhan mulai diceritakan. Gunawan kadang tak menjawab. Ia asyik mendengarkan. Seolah, rasa sedih karena diselingkuhi dapat berpindah. Perasaan kecewa karena istri selingkuh dapat berpindah ke Gunawan. Tapi, Gunawan tetap tenang. Setiap cerita yang didengarkan, ia simpan sendiri.
Bagi kawannya, sebagai pengangguran, Gunawan begitu berarti. Selain mau mendengarkan cerita perselingkuhan, apa yang terkatakan tidak menggurui.
"Apa benar. Kemarin, Pak Darto bilang kalau istrinya selingkuh?"
"Tidak tahu. Aku pengangguran."
Begitu jawab Gunawan. Hingga kawan Gunawan bertambah. Jauh lebih menyenangkan berkawan dengan pengangguran dibandingkan pekerja. Bisa menjadi saingan dan malah saling menjatuhkan.
"Aku mau memulai usaha jualan mie ayam. Menurutmu bagaimana, Gun?"
"Menurutku. Benar juga kamu. Lumayan, dekat dengan pasar dan sekolah. Kemungkinan laku keras !"
Jawaban Gunawan membuat hati Pak Agung senang. Sebagai pendengar, Gunawan ditunggu untuk bisa mendengarkan keluhan. Entah soal warung mie ayam yang sepi. Bisa juga tentang harga bahan pokok naik. Ketika bercerita dan didengarkan Gunawan, banyak kawan merasa penatnya hilang. Lalu, kebosanan dan perasaan duka menjadi hilang. Itu berganti dengan harapan.
"Gunawan saja yang pengangguran bisa hidup dengan bersyukur !"
"Tapi, bersyukur tidak sama dengan membandingkan keberhasilan hidup!"
Itu percakapan di pangkalan ojek. Mereka rela menunggu lebih lama, bahkan kehilangan kesempatan untuk makan, asal bisa bertemu Gunawan. Dulu, Gunawan juga pernah mencoba menjadi tukang ojek. Tapi, karena tidak tahan menunggu. Ia memilih menjadi pengangguran.
Banyak orang yang terbantu karena Gunawan menjadi pengangguran. Dari mulai tidak ada persaingan sampai ada hidup yang bisa dibandingkan. Alasan kedua memang tampak kejam. Tapi, Gunawan tahu itu. Ia tetap menyambut dengan senang menjadi pengangguran.
"Tidak apa. Memang tidak ada yang mau menjadi miskin dan menderita. Kalau bisa, semua serba ada. Baru Tuhan dihadirkan dalam ritual saja !"
Dari banyak kisah yang sudah Gunawan dengarkan. Banyak orang merasa kagum dengannya. Banyak tawaran pekerjaan. Tapi tetap memilih menjadi pengangguran. Pekerjaan yang ditawarkan juga bukan main-main, setidaknya menurut yang menawarkan. Mulai dari ojek daring sampai menjaga toko.
"Gun, kau dapat tawaran menjaga toko di tempat Pak Kapjo. Kenapa tidak kau ambil saja, lumayan buat pekerjaan!" kata Andri, kawan seangkatan bermain Gunawan.
Gunawan tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Merasa kalau sebenarnya pekerjaan yang ditawarkan tidak sebanding dengan nikmatnya menjadi pengangguran. Dari upaya mendengarkan banyak cerita kawan, Gunawan bisa belajar. Hal itu dimanfaatkan untuk membuat cerita. Ada imanjinasi dan dia kreasikan sedemikian rupa. Jadilah cerita di media.
"Gun, aku membaca cerita di koran. Kisahnya mirip dengan kisahku, tapi yang ada di cerita lebih tragis lagi. Aku bersyukur bisa berada dalam kondisi saat ini. Ternyata, banyak yang lebih terpuruk dari aku !"
"Perbandingan tidak akan membawamu kemana pun, Kawan. Perjuangkan harapanmu sendiri. Bersyukur itu perlu !"
***
Semua orang butuh cerita, termasuk Gunawan. Meski sudah banyak cerita orang lain didengarkannya. Kadang, ia merasa suntuk. Kesal.
"Aku lelah menjadi pengangguran ! Hidup pernuh dengan perbandingan!" keluh Gunawan.
Gunawan datang pada seorang dukun. Bau kemenyan terasa. Dupa berserta asap pembakarannya memenuhi ruangan.
"Kau mau apa ? Mau kaya ?" tanya Dukun itu.
"Aku mau menjadi pengangguran yang bahagia. Tidak semua orang bisa mendapatkan waktu luang !"
"Permintaanmu bisa terkabul. Asal kau bisa memenuhi syaratnya !"
"Apa ? Katakan !"
"Kau harus bisa mendengarkan cerita. Setiap cerita yang kau dengarkan. Perlihatkan empatimu. Itu perlu latihan !"
Dukun itu menyarankan. Gunawan tidak mampu melupakan malam itu. Ia ke Dukun untuk mencari pencerahan, ternyata hanya mendapatkan saran untuk mendengarkan. Tak terasa, ia terbangun. Dukun yang didatanginya itu berubah menjadi seekor burung yang sakit. Gunawan memelihara burung itu.
"Aku bukan dukun ! Aku adalah hati kecilmu sendiri !"
"Kenapa kau menyarankan aku untuk mendengarkan ?"
"Kau membutuhkan. Bukankah kita tidak akan pernah tahan dengan kebencian. Hati akan lelah ketika dipakai untuk membenci. Itu berlangsung juga ketika menganggur !"
Gunawan mencoba memincingkan matanya. Cahaya di kamar pagi itu terasa silau. Waktu sudah jam delapan pagi. Ia tidak pernah terlambat untuk mengangggur.
Bahkan, meski menganggur, Gunawan tetap konsisten. Tepat pukul delapan ia mulai menganggur. Kadang merencanakan, kemana dia akan pergi. Teman yang mana akan didatangi.
"Apakah yang bisa diharapkan dari seorang pengangguran ?" tanya ketua RT tempat Gunawan tinggal.
Gunawan terkenal sebagai orang jujur. Kalau ada fitnah, banyak kawan akan membelanya.
"Tentu kita bisa percaya kalau dia jujur. Jujur menjadi pengangguran yang baik dan benar."
"Bagaimana menurut Pak RT tentang kebiasaan Gunawan berkunjung ke temannya?"
"Tidak apa. Pengangguran bukan penyakit yang menular !"
Dengan suara mantap, Pak RT juga senang dan bangga memiliki warga yang menganggur. Bisa kapan pun dimintai pertolongan.
"Gunawan itu ringan tangan. Ia mau mendengarkan, bahkan untuk cerita yang tak berpengaruh dalam hidupnya !" kata Pak RT dengan raut muka bersungguh-sungguh.
***
Minggu lalu, Gunawan pulang dari rumah sakit. Ia berkunjung ke poli jantung. Namun, tak seorang pun mengetahui. Kalau Gunawan pergi ke rumah sakit. Banyak kawan merasa kecewa, belum pernah Gunawan terlambat datang. Saat sampai di rumah Pak Darto, akhirnya Gunawan bercerita. Kalau ia tadi habis menolong korban kecelakaan. Tanpa rasa curiga, Pak Darto percaya. Seperti hari sebelumnya, Gunawan tetap menjadi pendengar cerita. Cerita soal bangkrutnya usaha Pak Darto menjadi awal kegelisahan Gunawan. Tapi, tidak dinampakkan. Bukan apa. Gunawan juga takut, kalau bapak dua anak itu nanti menjadi pengangguran.
"Tidak apa, Pak. Masih ada hari esok. Kalau hari ini belum berhasil. Kita bisa coba lagi lain hari. Hanya saja, Pak Darto jangan menyerah. Sedih tidak masalah. Kalau menyerah, nanti semua akan selesai. Tidak ada harapan lagi," kata Gunawan.
Tampak rokok apek dimulutnya sudah siap dinyalakan.
"Maaf, koreknya hilang. Kemarin digunakan istriku untuk membakar sampah !"
"Kita bisa membakarnya dengan amarah. Betapa hidup serumit ini, Pak !"
Mereka tertawa. Dada Gunawan terasa sesak. Ia hanya tersenyum kecut.
"Kau tak apa, Gun ?"
"Biasa. Penyakit pengangguran !"
Saati itu, tak disangka. Tangan Gunawan penuh darah. Ia kesakitan, akhirnya Pak Darso tahu. Gunawan ternyata memiliki penyakit jantung. Namun, bukannya rasa sedih yang ada, Pak Darso malah tertawa.
"Pengangguran seperti dirimu tidak boleh punya penyakit mahal-mahal. Nanti uang dari mana untuk berobat ?"
"Ini hanya mimisan saja. Tapi lewat mulut !" Gunawan menimpal. Ia tidak marah. Layaknya pendengar yang baik, sangat tidak sopan membandingkan kemalangan hidup setelah tadi bercerita soal usaha yang bangkrut.
"Besok. Aku mau menggadaikan sawah. Untuk modal memulai usaha lagi. Tapi, mungkin kecil-kecilan saja !"
Pak Darso bersemangat, tak memperhatikan Gunawan kesakitan tapi ditahan.
***
"Calon bayi ini memiliki jantung lemah. Ia tidak bisa terkena asap rokok. Kalau ada polusi sedikit saja, nantinya akan bermasalah !" ujar seorang Dokter.
"Tapi, saya mau dia menjadi anak yang berguna. Lalu, kalau penyakitan begitu. Bagaimana nanti kalau sudah dilahirkan ? Apa malah tidak menyusahkan orang lain. Belum lagi, banyak uang dibutuhkan untuk persalinanannya nanti !" keluh seorang lelaki dengan topi kumal. Penarik becak itu menatap istrinya. Seorang perempuan yang tengah hamil tua. Dalam tatapan mata mesra, perempuan tadi merapalkan doa.
"Kita kasih nama Gunawan !" kata seorang perempuan. Perempuan yang hamil di luar nikah karena menjadi pekerja seks.
"Nama kuno !" keluh bapaknya. Lebih tepat, suami dari perempuan yang tengah hamil tua itu. Ia tidak tahu, anak siapa sebenarnya yang dikandung istrinya.
"Tapi, apa benar ini anakku ?" penarik becak mulai ragu.
"Saya tinggal dulu !" ujar seorang dokter, tak mau berurusan dengan orang miskin penuh masalah.
Bersama malam, kunang-kunang datang di ruangan rumah sakit itu. Gunawan masih dalam kandungan. Adanya calon anak itu, membuat khawatir penarik becak. Uang dari mana untuk semua biaya persalinan.
"Aku punya tabungan. Dari hasil menjadi kupu-kupu malam !" ujar perempuan.
Penarik becak tadi menjadi tak bersemangat menyambut kelahiran anak itu, bukan karena istrinya menjadi pekerja seks komersiaal. Tapi, dengan apa nanti anak itu hidup. Kalau jantungnya saja lemah. Itu berarti tidak bisa bekerja keras. Menjadi supir becak seperti dirinya.
"Bagaimana kalau kita gugurkan saja !" usulan penarik becak.
"Kau gila. Anak ini menjadi pertobatanku. Setelah melahirkannya, aku tidak akan menjajakan vagina lagi. Aku mau bertobat !"
"Hidup dari mana kita ?"
"Dari cinta. Persis yang kau katakan ketika melamarku dulu !"
Tak berselang lama. Gunawan lahir. Bayangan menjadi bapak dan ibu terasa di ruangan itu. Mereka menghela napas. Ada ketakutan, seolah anak yang dilahirkan itu tidak akan membawa guna dalam kehidupan keras di kota.
"Selamat untuk kelahiran putra pertamanya. Siapa nama anak laki-laki ini?" tanya seorang suster.
"Gunawan ! Tidak ada gunanya merasakan kesedihan terus menerus. Anak ini menjadi doa. Meski dia tidak berbuat apa-apa. Aku harap dia menjadi orang yang berguna !"
"Aku juga berharap akan hal yang sama !" kata penarik becak. Ia mulai panik. Tak punya uang untuk membawa pulang bayinya.
***
Gunawan memang dikenal tanpa orang tua. Konon, bayinya dulu ditemukan di balai desa. Orangtuanya membuang karena tidak punya uang untuk menghidupi.
"Kasihan. Kalau membuat saja ramai-ramai. Kalau sudah jadi begini, dibuang saja !" kata orang yang menemukan Gunawan kecil.
Ada tulisan di tempat tidur Gunawan kecil, sebuah doa. "Tuhan, semoga anak ini ketika besar nanti menjadi pengangguran yang berguna. Ia bisa mendengarkan cerita dengan baik. Hingga, tidak semua orang bisa menghakimi kami karena sulitnya hidup !"
Cerita soal pengangguran menjadi menarik ketika teringat Gunawan. Orang yang oleh orangtuanya didoakan menjadi pengangguran. Banyak menganggap, Gunawan membawa berkat meski dia mengangguran. Hingga, suatu malam, Gunawan ditemukan tak bernyawa di dekat rumah Pak Darso.
"Ia terkena serangan jantung !" kata Pak Darso.
                                                        Sleman, Januari 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI