Mohon tunggu...
Dikpa Sativa Padandi
Dikpa Sativa Padandi Mohon Tunggu... -

Dikpa, gadis kelahiran tanah Luwu yang sedang mengumpulkan serpihan-serpihan mimpinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karma Losari, oleh: Dikpa Sativa

21 Juli 2013   06:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:15 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alauddin, Februari 2011

“Kamu suka angka berapa?” suara di seberang sana membuat jantung wanita itu berdebar lebih kencang. Ada bahagia yang tiba-tiba menyusup dalam dadanya. Ah… apa aku jatuh cinta? Apa ini tidak terlalu cepat? Dia membatin. Bertanya pada dirinya sendiri.

Bunga-bunga bermekaran di wajah wanita itu. Matanya menunggu. Hatinya menunggu. Berulang kali dilihatnya jam di pergelangan tangannya. Menanti pukul satu, angka paling disukainya. Menanti kebenaran kalimat seorang laki-laki dari masa lalu. Dipegangnya dadanya. Jantungnya makin berdebar. Ada macam-macam perasaan bercampur dalam hatinya. Bahagia. Bingung. Juga cemas.

Lima menit sekali dipandangnya cermin. Tersenyum, tertawa, lalu bicara sendiri. Mengoceh tentang perasaannya yang bersuka cita. Laki-laki itu datang ketika jarum pendek di angka satu, dan jarum panjang di angka tiga. Terlambat limabelas menit. Wanita itu tetap tersenyum. Menyambut. Memaklumi.

“Baru kali ini aku naik angkot. Ternyata asyik juga…!” ucap laki-laki itu kemudian. Dia tertawa kecil.

“Maaf kalau syaratnya…”

“Ah, tidak apa-apa. Aku suka sesuatu yang menantang.” Potong laki-laki itu cepat, lalu membenarkan posisi duduknya.

Wanita itu berusaha menahan getaran di dadanya. Bahagia dan bingung. Nyatanya, saat laki-laki itu di hadapannya, bayangan mantan kekasihnya masih saja berkelebat memenuhi ingatannya. Cinta tak direstui. Cinta yang terpaksa melukai. Aku harus memulai hidup baru. Batinnya.

“Setelah lulus SMA, ini pertemuan pertama kita, bukan? Wah… sudah dua tahun lebih.” Laki-laki itu bicara dengan semangat. Nampaknya hatinya juga sedang berbunga.

Wanita itu tersenyum. Wajahnya memerah. Dulu, dalam lomba baca puisi mewakili SMA-nya, dia selalu dipasangkan dengan laki-laki itu. Laki-laki paling romantis di sekolahnya. Laki-laki yang pintar menghangatkan suasana. Laki-laki yang kemudian menghilang kabarnya. Laki-laki yang hari ini menyatakan cinta padanya.

“Aku…”

Wanita itu menjawab dengan ragu. Jemarinya basah. Ruang tamu kosan yang tidak terlalu besar itu seperti menguapkan resah.

“Ah… sudahlah. Kau tak harus menjawabnya sekarang.”
**

Pulau Samalona, Maret 2011

Langit cerah, biru, dengan saputan awan yang seperti kapas. Burung-burung melenguh di atas pohon. Beberapa kapal dan perahu kecil lewat, silih berganti, di kejauhan. Di sekeliling, ada sisa air yang belum tercemar, masih jernih. Sejauh mata mengitar, ada hamparan pasir putih yang berkilauan tertimpa cahaya matahari.  Dari sini, kota Makassar terlihat sangat indah. Di sini, hanya ada beberapa rumah. Pulau yang sepi.

“Kamu tahu kenapa aku mengajakmu ke sini?” laki-laki itu bertanya.

Wanita itu tidak menjawab. Matanya menghangat, ada tangis haru yang ingin pecah.

Laki-laki itu tak menunggu jawaban lebih lama. Dia menarik lengan si wanita, “Ke sini…!”

Di bawah sebuah pohon yang menghadap tepat ke laut, laki-laki itu berdiri layaknya di atas podium. Dia mengeluarkan secarik kertas. Mulai membacanya.

Pada mula yang tidak kita sangka, kita jatuh dalam satu pelukan
Sayangku…
Aku tak butuh perumpamaan-perumpamaan yang rumit
Karena… bukankah “kita” sederhana? Aku, kamu, cukup.

Wanita itu terduduk di atas hamparan pasir. Kali ini dia tak mampu menahan haru yang membuncah di dadanya. Air matanya menitik. Laki-laki itu mengembangkan senyum, lalu menuntun si wanita untuk berdiri. Di samping si wanita, laki-laki itu merentangkan kedua tangannya, lalu berteriak kencang-kencang.

“Aaaaaaaaaaaaaaa…!!!”

Wanita itu menatap lekat si laki-laki. Tersenyum. Memejamkan mata. Lalu turut merentangkan kedua tangannya. Berteriak.

“Aaaaaaaaaaaaaa…!!!”

Mereka tersenyum. Mata mereka beradu. Bertemu. Lalu perlahan… tertunduk. Wajah mereka bersemu malu.

“Kamu sudah lega, kan? Aku mengajakmu ke sini karena aku tahu kamu sangat menyukai pantai. Debur ombak, awan, langit biru, juga hamparan pasir.” Laki-laki itu tersenyum, menatap lurus ke depan, ke arah laut.

“Rein… aku mau jadi pacarmu.” Wanita itu berucap pelan.

“Dan, mulai sekarang nama kita adalah hujan dan air. Aku suka hujan dan kamu suka gemericik air. Tapi… namaku kan, hujan, Rain.” Rein berseloroh.

Wanita itu hanya menatap lekat mata Rein. Tersenyum.
**
Benteng Rotterdam, Mei 2011

“Kamu di mana? Sudah sampai, kan? Sebentar lagi Rein tampil. Dari tadi dia menunggumu,” suara di seberang tertahan sebentar, “aku Maya, teman Rein.”

Klik. Telepon terputus. Wanita itu buru-buru melangkah ke arena pentas seni. Kekasihnya, Rein, akan membaca puisi di sana.

Pukul tujuh malam. Matahari sudah tenggelam di kaki langit. Di sepanjang jalan menuju arena pentas, dipasangi obor. Berkelap-kelip. Meliuk-liuk tertiup angin. Indah sekali. Ini adalah festival seni Makassar yang diadakan tiap tahun, dan kekasih wanita itu salah satu pengisi acaranya.

Lagi-lagi wanita itu merasakan jantungnya berdebar sangat kencang. Ada haru yang mengisi dadanya. Seni, puisi, sastra, adalah dunia yang dulu amat dicintainya. Mantannya tak suka itu, dan, dalam waktu cukup lama dia melupakannya. Tapi hari ini semuanya kembali. Dia menghela napas, mengembuskannya perlahan, lalu mengembangkan senyum selebar-lebarnya.

“Terima kasih sudah mau datang. Maaf… aku tidak sempat menjemputmu.” Rein telah berdiri tepat di sampingnya.

“Tidak apa-apa. Aku bahagia bisa hadir di tempat ini.” Wanita itu mengembangkan senyum.

Sambil memegang jemari wanita itu, Rein meminta sebuah doa, “Ir… doakan aku, ya!”

“Pasti. Kamu bisa memberikan yang terbaik.” Wanita itu meyakinkan. Senyuman masih lekat di wajahnya.

Angin berkesiuh pelan. Langit bersih, tak tersaput awan. Bintang membentuk formasi yang menakjubkan. Indah. Bangunan-bangunan tua di benteng itu tidak begitu nampak. Lampu-lampu dipusatkan di sekitar panggung pentas, di taman utama. Di depan panggung, ada banyak kursi yang disusun berderet. Dan di sana, orang-orang telah ramai menunggu pentas seni itu dimulai.

Wanita itu duduk di salah satu kursi dan tak berhenti merapalkan doa. Tuhan… semoga Rein bisa memberikan yang terbaik malam ini. Amin. Doa yang benar-benar tulus.

Beberapa waktu berjeda, tibalah waktu itu. Rein berdiri di atas panggung. Dengan baju batik berlengan pendek dan celana panjang hitam, dia nampak gagah. Wanita itu menenangkan hatinya yang makin berdebar. Tatapannya tak lepas dari atas panggung. Beberapa detik kemudian, mata Rein dan matanya bertemu. Mereka tersenyum dan menyimpan doa di hati masing-masing.

Lampu dimatikan. Hanya ada satu lampu yang menyorot tubuh Rein. Wajah putihnya jelas terlihat. Dia menunduk, memberi hormat. Mulai membaca sebuah puisi karya seorang penyair Makassar. Di atas kursinya, wanita itu menggenggam jemarinya erat-erat. Menahan haru. Berulang kali, dia mengatakan kalimat yang sama, Rein… aku mencintaimu.
**
Tanjung Bayang, Agustus 2011

“Maaf… aku sibuk. Tidak bisa menemanimu.” Rein menjawab datar.

“Kalau begitu, aku akan pergi sendiri. Maaf… sudah mengganggu kesibukanmu.”

“Ir... kamu harusnya…”

“Tidak apa-apa. Di sana ada banyak teman, kok.”

“Tunggu aku limabelas menit. Aku akan menjemputmu.”

“Tapi…”

Tut…tut…tut.

Wanita itu merasa sangat bersalah. Lagi-lagi dia harus menyusahkan Rein, kekasihnya. Harus mengganggu
kesibukannya. Dia menghela napas.

Rein datang tepat limabelas menit kemudian. Rasa bersalah di hati wanita itu segera menguap ketika Rein berhasil menghangatkan suasana. Mereka berangkat dengan sepeda motor berkecepatan sedang. Membelah jalanan kota Makassar yang mulai padat. Sebelum tiba di pantai Losari, motor berbelok, menuju pantai Tanjung Bayang.

“Kita belum pernah ke pantai Losari, Rein.” Suara wanita itu samar ditelan angin.

“Kapan-kapan kita ke sana…! Dan, kamu akan menjadi wanita pertama yang kuajak mengelilingi pantai itu…!”
Rein berseru. Menyaingi suara angin.

Pantai yang airnya tidak jernih itu sudah ramai dikunjungi orang. Balai-balai tempat istirahat berjejer di sekitar pantai. Disewakan untuk mereka yang ingin berada di pantai dalam waktu lama. Misalnya keluarga atau remaja yang ingin menghabiskan waktu di pantai itu seharian penuh. Juga ada penginapan bagi mereka yang sedang ada kegiatan atau sekadar ingin menikmati pantai di waktu malam.
Dari sebuah tempat, beberapa orang melambaikan tangan, memanggil wanita itu. Mereka adalah teman-teman kelasnya.

“Di sini…!!!”

Wanita itu dan kekasihnya, Rein, menghampiri mereka. Hari ini mereka akan mengadakan penggalangan dana dengan menjual beberapa jenis kue. Penggalangan dana untuk menyukseskan kegiatan seminar mereka yang tinggal menghitung hari.

Rein dan wanita itu mengambil satu kotak kue. Mulai menjajakannya.

“Donat… donat… donatnya, Bu, Pak…!!!”

Sesekali pandangan mereka bertemu. Lantas mereka menderai tawa. Ada bahagia menyusup di hati mereka.
Matahari tepat di ubun-ubun. Panas begitu menyengat. Wanita itu memutuskan untuk istirahat di bawah sebuah pohon.

“Aku tidak menyangka kalau kita akan berjualan seperti ini. Pekerjaan macam apa ini…?!” Tiba-tiba saja Rein berkata ketus.

Wanita itu menoleh, terheran-heran, “Rein… bukankah ini menyenangkan?”

“Menyenangkan katamu…? Panas bagai dipanggang seperti ini, kamu bilang menyenangkan? Aku menyesal menemanimu hari ini. Aku lelah. Di rumah aku punya banyak tugas yang harus diselesaikan…!!!” suara Rein meninggi.

“Maafkan aku Rein… aku memang tak seharusnya mengajakmu. Sungguh, maafkan aku.” Wanita itu menunduk.
Bersuara sangat pelan.

“Hei… aku hanya bercanda, sayang…! Harusnya kamu marah, dong. Bukankah tadi aku yang memaksa untuk
menemanimu?” Rein menatap wanita itu, mengerlingkan matanya, “satu hal yang tidak aku suka, kamu selalu saja mengalah!”

Wanita itu mengangkat kepalanya. Tersenyum.

“Sejauh ini, aku belum menemukan alasan untuk marah padamu.”

Wanita itu berdiri, diikuti Rein, lantas kembali menjajakan kue dalam kotak plastik di tangannya.
**

Alauddin, September 2011

Ada banyak pikiran berkecamuk dalam kepalaku. Perasaan aneh juga kerap masuk diam-diam dalam hatiku. Wanita itu… aku bahagia di sampingnya. Dia adalah bayangan wanita idaman yang dulu pernah kuangankan. Mata bulat bening, hidung mancung kecil dan lesung pipi yang membuatnya terlihat makin cantik.
Kami berjanji untuk bertemu di gerbang kampusnya dan menghabiskan sore bersama. Setengah jam menunggu, akhirnya wanita itu datang, berlari-lari kecil, lalu mengembangkan senyum selebar-lebarnya. Rambut pendeknya bergerak-gerak tertiup angin.

“Eh… maaf, sudah membuatmu menunggu lama. Tidak apa-apa, kan?” ucapnya riang.

Aku hanya mengangkat bahu. Lepas beberapa jeda, kami sudah melesat membelah keramaian kota Makassar. Wanita itu tak henti-hentinya bicara. Bercerita tentang pengalamannya seharian di kampus, tentang tugas-tugas yang menumpuk, dosen yang killer, juga tentang teman-temannya yang kadang menyebalkan. Aku hanya tertawa. Sesekali menimpalinya dengan gurauan. Ah, ya Tuhan… aku sangat bahagia bisa bersamanya.
**

Terminal Daya, Oktober 2011

“Harusnya kamu tidak melakukan ini, Rein.” Ucap wanita itu pelan. Matanya lekat memandang wajah kekasihnya.

“Kamu sakit…. Jadi, aku harus mengantarmu sampai rumah.”

Wanita itu terdiam. Ada rasa tak enak menggelayut dalam hatinya. Dia merasa berat atas kemauan Rein untuk mengantarnya pulang kampung. Delapan jam perjalanan dengan ongkos yang cukup mahal. Ah… Rein, kamu begitu baik. Gumamnya dalam hati.

“Kamu belum makan, kan? Tadi aku membeli ini untuk kita.” Rein tersenyum. Menyodorkan satu bungkus makanan pada wanita itu.

Mata wanita itu lekat memandangi wajah Rein. Berkaca-kaca. Tapi, dia kemudian menyimpan tangis itu. Menahan air matanya agar tak jatuh. Di ruang tunggu keberangkatan bus, mereka menghabiskan dua bungkus makanan. Bicara dan bercerita panjang lebar. Sesekali mereka tertawa. Kebahagiaan memenuhi hati mereka.

“Bus Alam Indah tujuan Palopo kok belum datang dari tadi?” tanya Rein pada temannya, Aldi, yang juga bekerja paruh waktu di salah satu loket pembelian tiket.

“Alam Indah tujuan Palopo sudah berangkat sejak setengah jam yang lalu.” Aldi menjawab datar.

“Serius? Lalu, kenapa tidak mengonfirmasi pada kami? Memanggil nama kami, misalnya…!” Rein terperanjat mendengar kabar itu. Mana mungkin bus itu meninggalkannya begitu saja sementara tiket sudah dia bayar sejak kemarin.

“Tadi ada dua penumpang yang dicari-cari. Namanya Hujan dan Air, tapi…”

“Nah itu… itu nama yang aku pakai!” Rein memekik.

Baga*… mana aku tahu kalau itu kamu. Nama kok iseng! Rasakan akibatnya. He... he… he.” Aldi terkekeh melihat wajah panik temannya.

Malam makin pekat. Polusi kendaraan beradu di udara. Membuat sesak. Pukul sembilan. Terminal mulai lengang. Bus dan penumpang yang memenuhi ruang tunggu makin habis. Rein dan Aldi keliling mencari tumpangan. Barangkali ada yang kosong. Tak ada lagi tiket yang bisa mereka beli. Sudah habis.

Wanita itu hanya melihat dari kejauhan. Di ruang tunggu. Rein melarangnya ikut. Dan di sana, air matanya menitik satu-satu. Terharu. Tuhan… Rein begitu baik padaku. Aku mencintainya. Sungguh. Ucapnya lirih.
Tepat pukul sepuluh, mereka menumpang bus Alam Indah tujuan Sorowako. Satu arah dengan Palopo. Rein yang kelelahan, terlelap sepanjang perjalanan. Sedang wanita itu menghabiskan malamnya dengan menatap formasi bintang di langit. Juga sesekali menatap wajah Rein, kekasihnya.
**

Pantai Losari, Januari 2012

Cahaya kemerahan menyebar di kaki langit. Air laut berkilat, bergoyang pelan. Awan-awan berwarna jingga, mengarak matahari untuk kembali sembunyi. Sunset yang indah.

Sabtu sore. Orang-orang tumpah di pantai ini. Bagian-bagian strategis di tempat ini benar-benar penuh. Mesjid terapung “Amirul Mukminin”, tulisan besar maskot pantai (PANTAI LOSARI dan MAKASSAR BUGIS), juga beberapa patung raksasa pahlawan Sulawesi. Dan, sore ini aku bergabung dalam ratusan manusia itu. Tentu, juga bersama wanita itu.

“Aku tidak suka kalau kamu terlambat, Rein!” wanita itu menggerutu kesal.

“Hanya terlambat limabelas menit, nona cantik. Maafkanlah hamba…!” aku mencoba merayunya.

“Terlambat… ya terlambat. Mau lima menit, sep…”

“Ah… sudahlah! Mari kita nikmati sunset yang indah itu!” aku tak lagi peduli dengan ocehannya. Segera kutarik lengannya dan mengambil posisi paling nyaman untuk menyaksikan sunset.

Aku takzim menyaksikan mentari yang perlahan ditelan lautan. Menyisakan semburat kemerahan di sekujur tubuh langit. Sayang, wanita di sampingku sepertinya kurang menikmati momen ini. Matanya malah mengitar, menyaksikan berpuluh-puluh orang lalu-lalang.

“Aku bosan, Rein. Dari tadi kamu hanya diam. Lebih baik kita foto-foto. Bagaimana?” wanita itu mengeluarkan kamera digital dari dalam tasnya.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Wanita itu memekik bahagia. Tertawa senang. Membuatnya semakin memesona. Sore yang lama, yang kuhabiskan dengan mengambil gambar entah berapa banyak.
Wanita itu sangat cantik. Lebih dari memesona. Senyumnya. Matanya. Hidungnya. Dua lesung pipi. Juga rambut pendeknya. Tapi….
**

Pantai Losari, Februari 2012

Ini bukan Sabtu sore, pantai Losari tidak begitu ramai. Hampir pukul enam, sunset dimulai dengan warna kemerahan yang menyebar di kaki langit. Terpantul dan membuat air laut berkilat-kilat. Selalu saja indah.

“Mencintailah seperti matahari. Tak pernah lelah menyinari. Tak pernah lelah berbagi keindahan, walau banyak orang lupa bersyukur atas hadirnya. Mencintai dengan sebenar-benar ketulusan, bukan karena terpaksa.” Wanita itu memecah senyap. Pandangannya lurus ke arah sunset.

“Dan, kita akan saling mencintai dengan sebenar-benar ketulusan itu.” Aku berusaha menimpali. Ada getar aneh menyusup dalam darahku.

“Aku tidak pernah memaksamu, Rein. Tidak pernah.” Wanita itu menekankan suaranya.

Aku menoleh, menatap wajahnya lekat. Aku tidak cukup mengerti dengan apa yang baru saja dikatakannya. Aku menghela napas, berusaha mengatur suara, “apa maksudmu, Ir?”

“Berhentilah memanggilku Air, Rein.” Ucap wanita itu sedikit ketus.

Aku terperanjat mendengar jawabannya. Dia ingin berhenti kupanggil Air? Bukankah nama itu nama yang sangat berarti untuknya? Tanda cinta kami. Aku berusaha tak tersulut emosi. Berupaya menenangkan.

“Sunset di Losari terlalu indah untuk sebuah pertengkaran, Ir.”

“Ya. Sayangnya aku bukan wanita pertama yang kau ajak ke sini seperti janjimu…!”

“Ir… ini momen satu tahun kebersamaan kita. Harusnya kit…”

“Aku yakin kamu masih punya telinga. Berhentilah menyebutku Air.” suara itu tertekan, memotong kalimatku. Wanita itu menghela napas. Matanya berkaca-kaca, “Aku tidak pernah memaksamu untuk terus mencintaiku. Kamu tahu, kadang, kita memang tidak bisa menerka kapan cinta datang dan pergi. Bagiku, cinta adalah kemutlakan keikhlasan untuk yang dicintai. Bukan semacam paksaan. Kalau kamu mau pergi, pergilah…! Aku tidak akan menahan.”

“Aletha…” suaraku tertahan, sangat berat mengucapkan nama itu, “apa yang kamu bicarakan?” suaraku benar-benar memelan sekarang.

Plaaaaakkkkkk….

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Membentuk cap tangan kemerahan. Aku mendongakkan kepala. Sosok itu sempurna berdiri di hadapanku. Matanya beringas penuh kemarahan. Rambut pendeknya bergoyang tertiup angin. Lesung pipinya tidak lagi sempurna tergambar. Dia terus berdiri dan menatapku tajam. Jira.

“Ji... ra…?” putus-putus aku menyebut nama itu.

“Makan omong kosongmu, Rein. Dasar buaya…!!!” Jira berteriak kalap. Mendorong tubuhku. Aku hampir saja jatuh terjengkang. Dia lantas pergi dengan langkah-langkah lebar dan marah.

Aku tidak mengejar Jira. Bagiku, Aletha lebih penting. Aku menatap lekat wajahnya yang kuning langsat, memegang jemarinya, berusaha meyakinkan. Wajah itu kemudian tertunduk, hidung mancungnya kembang kempis seiring matanya yang basah. Sesekali dia menyibakkan rambut panjangnya yang menutupi muka karena tertiup angin.

Semua terlambat. Aletha melepaskan genggamanku. Lantas berdiri dan bergegas pergi. Barangkali dia tidak semarah Jira, tapi hatinya benar-benar luka. Aku berusaha mengejarnya. Terus mencoba meyakinkannya dengan sisa kata-kata yang kupunya. Aletha bergeming dan terus mempercepat langkahnya. Menampik tanganku berkali-kali. Dan, dalam waktu yang singkat, dia telah naik ke dalam angkot. Meninggalkanku dengan perasaan bersalah teramat banyak.

“Aletha… Aletha… Aletha…!!!” aku terus memanggilnya itu tapi dia sama sekali tidak menggubris.

Rasa suka yang tidak seharusnya, rasa suka yang berawal dari sebuah pertemuan tak disangka di salah satu pusat perbelanjaan itu, akhirnya benar-benar menghukumku. Aku merasakan tubuhku bergetar hebat. Kakiku kurasakan melesak jauh ke dalam tanah. Ada tangis yang rasanya ingin tumpah. Penyesalan... rasa bersalah… sempurna membekapku.

Aletha… maafkan aku. Sungguh, maafkan aku.

***
Makassar, 08 Juni 2013

Catatan:
*Baga = bahasa luwu yang artinya goblok, tolol, bego.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun