Mohon tunggu...
Dikpa Sativa Padandi
Dikpa Sativa Padandi Mohon Tunggu... -

Dikpa, gadis kelahiran tanah Luwu yang sedang mengumpulkan serpihan-serpihan mimpinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karma Losari, oleh: Dikpa Sativa

21 Juli 2013   06:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:15 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Hanya terlambat limabelas menit, nona cantik. Maafkanlah hamba…!” aku mencoba merayunya.

“Terlambat… ya terlambat. Mau lima menit, sep…”

“Ah… sudahlah! Mari kita nikmati sunset yang indah itu!” aku tak lagi peduli dengan ocehannya. Segera kutarik lengannya dan mengambil posisi paling nyaman untuk menyaksikan sunset.

Aku takzim menyaksikan mentari yang perlahan ditelan lautan. Menyisakan semburat kemerahan di sekujur tubuh langit. Sayang, wanita di sampingku sepertinya kurang menikmati momen ini. Matanya malah mengitar, menyaksikan berpuluh-puluh orang lalu-lalang.

“Aku bosan, Rein. Dari tadi kamu hanya diam. Lebih baik kita foto-foto. Bagaimana?” wanita itu mengeluarkan kamera digital dari dalam tasnya.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Wanita itu memekik bahagia. Tertawa senang. Membuatnya semakin memesona. Sore yang lama, yang kuhabiskan dengan mengambil gambar entah berapa banyak.
Wanita itu sangat cantik. Lebih dari memesona. Senyumnya. Matanya. Hidungnya. Dua lesung pipi. Juga rambut pendeknya. Tapi….
**

Pantai Losari, Februari 2012

Ini bukan Sabtu sore, pantai Losari tidak begitu ramai. Hampir pukul enam, sunset dimulai dengan warna kemerahan yang menyebar di kaki langit. Terpantul dan membuat air laut berkilat-kilat. Selalu saja indah.

“Mencintailah seperti matahari. Tak pernah lelah menyinari. Tak pernah lelah berbagi keindahan, walau banyak orang lupa bersyukur atas hadirnya. Mencintai dengan sebenar-benar ketulusan, bukan karena terpaksa.” Wanita itu memecah senyap. Pandangannya lurus ke arah sunset.

“Dan, kita akan saling mencintai dengan sebenar-benar ketulusan itu.” Aku berusaha menimpali. Ada getar aneh menyusup dalam darahku.

“Aku tidak pernah memaksamu, Rein. Tidak pernah.” Wanita itu menekankan suaranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun