“Hanya terlambat limabelas menit, nona cantik. Maafkanlah hamba…!” aku mencoba merayunya.
“Terlambat… ya terlambat. Mau lima menit, sep…”
“Ah… sudahlah! Mari kita nikmati sunset yang indah itu!” aku tak lagi peduli dengan ocehannya. Segera kutarik lengannya dan mengambil posisi paling nyaman untuk menyaksikan sunset.
Aku takzim menyaksikan mentari yang perlahan ditelan lautan. Menyisakan semburat kemerahan di sekujur tubuh langit. Sayang, wanita di sampingku sepertinya kurang menikmati momen ini. Matanya malah mengitar, menyaksikan berpuluh-puluh orang lalu-lalang.
“Aku bosan, Rein. Dari tadi kamu hanya diam. Lebih baik kita foto-foto. Bagaimana?” wanita itu mengeluarkan kamera digital dari dalam tasnya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Wanita itu memekik bahagia. Tertawa senang. Membuatnya semakin memesona. Sore yang lama, yang kuhabiskan dengan mengambil gambar entah berapa banyak.
Wanita itu sangat cantik. Lebih dari memesona. Senyumnya. Matanya. Hidungnya. Dua lesung pipi. Juga rambut pendeknya. Tapi….
**
Pantai Losari, Februari 2012
Ini bukan Sabtu sore, pantai Losari tidak begitu ramai. Hampir pukul enam, sunset dimulai dengan warna kemerahan yang menyebar di kaki langit. Terpantul dan membuat air laut berkilat-kilat. Selalu saja indah.
“Mencintailah seperti matahari. Tak pernah lelah menyinari. Tak pernah lelah berbagi keindahan, walau banyak orang lupa bersyukur atas hadirnya. Mencintai dengan sebenar-benar ketulusan, bukan karena terpaksa.” Wanita itu memecah senyap. Pandangannya lurus ke arah sunset.
“Dan, kita akan saling mencintai dengan sebenar-benar ketulusan itu.” Aku berusaha menimpali. Ada getar aneh menyusup dalam darahku.
“Aku tidak pernah memaksamu, Rein. Tidak pernah.” Wanita itu menekankan suaranya.