Mohon tunggu...
Dikpa Sativa Padandi
Dikpa Sativa Padandi Mohon Tunggu... -

Dikpa, gadis kelahiran tanah Luwu yang sedang mengumpulkan serpihan-serpihan mimpinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karma Losari, oleh: Dikpa Sativa

21 Juli 2013   06:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:15 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wanita itu menatap lekat si laki-laki. Tersenyum. Memejamkan mata. Lalu turut merentangkan kedua tangannya. Berteriak.

“Aaaaaaaaaaaaaa…!!!”

Mereka tersenyum. Mata mereka beradu. Bertemu. Lalu perlahan… tertunduk. Wajah mereka bersemu malu.

“Kamu sudah lega, kan? Aku mengajakmu ke sini karena aku tahu kamu sangat menyukai pantai. Debur ombak, awan, langit biru, juga hamparan pasir.” Laki-laki itu tersenyum, menatap lurus ke depan, ke arah laut.

“Rein… aku mau jadi pacarmu.” Wanita itu berucap pelan.

“Dan, mulai sekarang nama kita adalah hujan dan air. Aku suka hujan dan kamu suka gemericik air. Tapi… namaku kan, hujan, Rain.” Rein berseloroh.

Wanita itu hanya menatap lekat mata Rein. Tersenyum.
**
Benteng Rotterdam, Mei 2011

“Kamu di mana? Sudah sampai, kan? Sebentar lagi Rein tampil. Dari tadi dia menunggumu,” suara di seberang tertahan sebentar, “aku Maya, teman Rein.”

Klik. Telepon terputus. Wanita itu buru-buru melangkah ke arena pentas seni. Kekasihnya, Rein, akan membaca puisi di sana.

Pukul tujuh malam. Matahari sudah tenggelam di kaki langit. Di sepanjang jalan menuju arena pentas, dipasangi obor. Berkelap-kelip. Meliuk-liuk tertiup angin. Indah sekali. Ini adalah festival seni Makassar yang diadakan tiap tahun, dan kekasih wanita itu salah satu pengisi acaranya.

Lagi-lagi wanita itu merasakan jantungnya berdebar sangat kencang. Ada haru yang mengisi dadanya. Seni, puisi, sastra, adalah dunia yang dulu amat dicintainya. Mantannya tak suka itu, dan, dalam waktu cukup lama dia melupakannya. Tapi hari ini semuanya kembali. Dia menghela napas, mengembuskannya perlahan, lalu mengembangkan senyum selebar-lebarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun