Wanita itu menatap lekat si laki-laki. Tersenyum. Memejamkan mata. Lalu turut merentangkan kedua tangannya. Berteriak.
“Aaaaaaaaaaaaaa…!!!”
Mereka tersenyum. Mata mereka beradu. Bertemu. Lalu perlahan… tertunduk. Wajah mereka bersemu malu.
“Kamu sudah lega, kan? Aku mengajakmu ke sini karena aku tahu kamu sangat menyukai pantai. Debur ombak, awan, langit biru, juga hamparan pasir.” Laki-laki itu tersenyum, menatap lurus ke depan, ke arah laut.
“Rein… aku mau jadi pacarmu.” Wanita itu berucap pelan.
“Dan, mulai sekarang nama kita adalah hujan dan air. Aku suka hujan dan kamu suka gemericik air. Tapi… namaku kan, hujan, Rain.” Rein berseloroh.
Wanita itu hanya menatap lekat mata Rein. Tersenyum.
**
Benteng Rotterdam, Mei 2011
“Kamu di mana? Sudah sampai, kan? Sebentar lagi Rein tampil. Dari tadi dia menunggumu,” suara di seberang tertahan sebentar, “aku Maya, teman Rein.”
Klik. Telepon terputus. Wanita itu buru-buru melangkah ke arena pentas seni. Kekasihnya, Rein, akan membaca puisi di sana.
Pukul tujuh malam. Matahari sudah tenggelam di kaki langit. Di sepanjang jalan menuju arena pentas, dipasangi obor. Berkelap-kelip. Meliuk-liuk tertiup angin. Indah sekali. Ini adalah festival seni Makassar yang diadakan tiap tahun, dan kekasih wanita itu salah satu pengisi acaranya.
Lagi-lagi wanita itu merasakan jantungnya berdebar sangat kencang. Ada haru yang mengisi dadanya. Seni, puisi, sastra, adalah dunia yang dulu amat dicintainya. Mantannya tak suka itu, dan, dalam waktu cukup lama dia melupakannya. Tapi hari ini semuanya kembali. Dia menghela napas, mengembuskannya perlahan, lalu mengembangkan senyum selebar-lebarnya.