“Terima kasih sudah mau datang. Maaf… aku tidak sempat menjemputmu.” Rein telah berdiri tepat di sampingnya.
“Tidak apa-apa. Aku bahagia bisa hadir di tempat ini.” Wanita itu mengembangkan senyum.
Sambil memegang jemari wanita itu, Rein meminta sebuah doa, “Ir… doakan aku, ya!”
“Pasti. Kamu bisa memberikan yang terbaik.” Wanita itu meyakinkan. Senyuman masih lekat di wajahnya.
Angin berkesiuh pelan. Langit bersih, tak tersaput awan. Bintang membentuk formasi yang menakjubkan. Indah. Bangunan-bangunan tua di benteng itu tidak begitu nampak. Lampu-lampu dipusatkan di sekitar panggung pentas, di taman utama. Di depan panggung, ada banyak kursi yang disusun berderet. Dan di sana, orang-orang telah ramai menunggu pentas seni itu dimulai.
Wanita itu duduk di salah satu kursi dan tak berhenti merapalkan doa. Tuhan… semoga Rein bisa memberikan yang terbaik malam ini. Amin. Doa yang benar-benar tulus.
Beberapa waktu berjeda, tibalah waktu itu. Rein berdiri di atas panggung. Dengan baju batik berlengan pendek dan celana panjang hitam, dia nampak gagah. Wanita itu menenangkan hatinya yang makin berdebar. Tatapannya tak lepas dari atas panggung. Beberapa detik kemudian, mata Rein dan matanya bertemu. Mereka tersenyum dan menyimpan doa di hati masing-masing.
Lampu dimatikan. Hanya ada satu lampu yang menyorot tubuh Rein. Wajah putihnya jelas terlihat. Dia menunduk, memberi hormat. Mulai membaca sebuah puisi karya seorang penyair Makassar. Di atas kursinya, wanita itu menggenggam jemarinya erat-erat. Menahan haru. Berulang kali, dia mengatakan kalimat yang sama, Rein… aku mencintaimu.
**
Tanjung Bayang, Agustus 2011
“Maaf… aku sibuk. Tidak bisa menemanimu.” Rein menjawab datar.
“Kalau begitu, aku akan pergi sendiri. Maaf… sudah mengganggu kesibukanmu.”
“Ir... kamu harusnya…”