“Alam Indah tujuan Palopo sudah berangkat sejak setengah jam yang lalu.” Aldi menjawab datar.
“Serius? Lalu, kenapa tidak mengonfirmasi pada kami? Memanggil nama kami, misalnya…!” Rein terperanjat mendengar kabar itu. Mana mungkin bus itu meninggalkannya begitu saja sementara tiket sudah dia bayar sejak kemarin.
“Tadi ada dua penumpang yang dicari-cari. Namanya Hujan dan Air, tapi…”
“Nah itu… itu nama yang aku pakai!” Rein memekik.
“Baga*… mana aku tahu kalau itu kamu. Nama kok iseng! Rasakan akibatnya. He... he… he.” Aldi terkekeh melihat wajah panik temannya.
Malam makin pekat. Polusi kendaraan beradu di udara. Membuat sesak. Pukul sembilan. Terminal mulai lengang. Bus dan penumpang yang memenuhi ruang tunggu makin habis. Rein dan Aldi keliling mencari tumpangan. Barangkali ada yang kosong. Tak ada lagi tiket yang bisa mereka beli. Sudah habis.
Wanita itu hanya melihat dari kejauhan. Di ruang tunggu. Rein melarangnya ikut. Dan di sana, air matanya menitik satu-satu. Terharu. Tuhan… Rein begitu baik padaku. Aku mencintainya. Sungguh. Ucapnya lirih.
Tepat pukul sepuluh, mereka menumpang bus Alam Indah tujuan Sorowako. Satu arah dengan Palopo. Rein yang kelelahan, terlelap sepanjang perjalanan. Sedang wanita itu menghabiskan malamnya dengan menatap formasi bintang di langit. Juga sesekali menatap wajah Rein, kekasihnya.
**
Pantai Losari, Januari 2012
Cahaya kemerahan menyebar di kaki langit. Air laut berkilat, bergoyang pelan. Awan-awan berwarna jingga, mengarak matahari untuk kembali sembunyi. Sunset yang indah.
Sabtu sore. Orang-orang tumpah di pantai ini. Bagian-bagian strategis di tempat ini benar-benar penuh. Mesjid terapung “Amirul Mukminin”, tulisan besar maskot pantai (PANTAI LOSARI dan MAKASSAR BUGIS), juga beberapa patung raksasa pahlawan Sulawesi. Dan, sore ini aku bergabung dalam ratusan manusia itu. Tentu, juga bersama wanita itu.
“Aku tidak suka kalau kamu terlambat, Rein!” wanita itu menggerutu kesal.