Mohon tunggu...
Abdul Rahmat
Abdul Rahmat Mohon Tunggu... Guru - Guru

Suka dengan puisi dan novel. Menulis karena sudah jatuh cinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gaun Merah

12 Februari 2023   19:45 Diperbarui: 12 Februari 2023   20:50 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Waktu menunjukkan pukul sebelas malam ketika Agna keluar dari kantor redaksi surat kabar. Gadis berkacamata itu tampak lelah. Pekerjaannya sebagai redaktur sebuah penerbitan berita membuatnya sering lembur. Tugas seorang redaktur memang cukup banyak. Agna harus melakukan editing atau penyuntingan, yaitu menyeleksi dan memperbaiki naskah berita dari wartawan sebelum dimuat atau disiarkan. Terlebih ia adalah redaktur yang menangani rubrik kriminal di salah satu kantor koran ternama di kota tempatnya tinggal. 

Tiga bulan ini, sering terjadi peristiwa pembunuhan misterius yang sangat meresahkan masyarakat. Dalam dua minggu kemarin saja, ada tiga kasus pembunuhan. Total sudah ada delapan kasus yang sama. Dan korbannya selalu perempuan. Kondisi jasad korban pun sangat mengerikan. Ada yang ditemukan dengan luka sayat menganga di wajah, leher yang digorok, perut yang terbelah, bahkan pisau yang masih tertancap di alat kelamin korban. Begitu sadis tak punya rasa iba si pelaku menyiksa dan membunuh korban-korbannya.

Dan Agna baru saja mendapat kabar seorang wanita dilaporkan menghilang. Pihak kepolisian masih mencari dan menyelidiki keberadaan wanita itu. Terakhir ia berpamitan dengan ayahnya untuk keluar rumah dengan gaun merah selutut yang dipakainya. Mungkin saja wanita itu sudah menjadi korban ke sembilan pelaku pembunuhan yang masih jadi misteri itu.

  “Kamu udah mau pulang?” suara seorang lelaki dari arah belakang mengejutkan Agna. Aufa –teman kerja Agna yang juga sebagai wartawan– dengan senyum di wajah, duduk di jok sepeda motornya yang menyala.

“Iya, Fa. Lagi nunggu angkot,” ucap Agna membalas senyum.

“Pulang sama aku aja. Lagian jam segini udah jarang ada angkot. Apalagi kamu perempuan. Sendirian. Bahaya.” 

“Enggak apa-apa Fa. Aku naik angkot aja. Makasih ya.” 

“Beneran nih enggak mau bareng aku?”

Agna tersenyum lebih manis memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja.

“Yaudah. Hati-hati ya, Na. Aku duluan.” Aufa mengerlingkan mata dan memacu gas motornya.

Sebenarnya Agna merasa tidak enak menolak ajakan Aufa. Tak bisa dipungkiri, yang diucapkan Aufa ada benarnya. Dengan keadaan kota seperti sekarang, cukup berbahaya bagi Agna untuk pulang malam sendiri. Ia tidak tahu ada bahaya apa yang akan mengancam selama perjalanan pulang. Tapi, kejadian siang tadi membuat Agna merasa tidak enak dengan Aufa.

Aufa mengajak Agna makan di salah satu restoran masakan padang. Aufa sering mengajak Agna ke tempat itu, karena ia tahu kalau wanita yang disukainya sangat tergila-gila dengan masakan padang. Apalagi nasi padang dengan lauk daging rendang dan dendeng paru. Mata Agna selalu berbinar ketika melihat menu kesukaannya itu sudah tersaji di atas meja.

“Makasih banyak ya Fa aku ditraktir makan lagi.”

“Santai aja Na. Apa sih yang enggak buat kamu?” Aufa merayu.

“Dasar gombal.” Agna kembali menyuap makanan ke mulutnya.

“Na, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” Nada suara Aufa mulai serius.

“Mau ngomong apa?” Agna masih menikmati makanan.

“Kita udah lama saling kenal. Kamu satu-satunya wanita yang sangat dekat denganku. Jujur, karena kedekatan kita ini membuat aku menyimpan perasaan ke kamu. Aku suka sama kamu, Agna.”

 Agna tiba-tiba tersedak. Ia sangat terkejut mendengar ucapan Aufa. Ia tak menyangka kalau Aufa mengungkapkan perasaan kepadanya. Lelaki itu dengan sigap mengarahkan gelas berisi air mineral ke mulut Agna.

“Kamu enggak apa-apa, Na? Maaf kalau ucapanku membuatmu kaget.”

“Aku baik-baik aja kok. Aku cuma kaget kamu ngomong seperti itu.”

“Jadi gimana, Na? Kamu mau jadi pacarku? Aku rasa kamu wanita yang sangat cocok untukku. Kamu udah mengerti bagaimana aku, dan aku juga seperti itu ke kamu. Aku pikir, kita bisa saling melengkapi.”

Agna masih diam. Bingung apa yang harus diucapkan. Agna dan Aufa memang sudah sangat dekat. Mereka sudah saling mengerti satu sama lain. Tetapi masih ada sesuatu yang mengganjal di hati Agna, sampai sekarang ia juga tak tahu apa itu.

“Aku akui kalau kamu memang laki-laki yang sangat baik, Aufa. Kamu sangat perhatian denganku. Kamu selalu membantuku. Tapi…”

“Tapi apa, Agna?”

“Aku belum bisa menjawabnya sekarang. Masih ada beberapa hal yang harus kupikirkan lagi. Aku janji, kalau aku sudah dapat jawabannya, aku akan memberitahumu.”

Wajah Aufa tampak kecewa. Bagaimana tidak? Wanita di depannya itu belum memberikan jawaban atas penyataan cintanya. Ia mencoba memaklumi ucapan Agna.

“Oke, Na. Silakan kalau kamu butuh waktu menjawabnya. Aku akan menunggu.” Aufa mencoba tersenyum semampunya. Agna membalas senyum itu. Seketika, suasana makan siang mereka jadi canggung.

Sudah hampir empat puluh menit Agna berdiri di pinggir jalan. Tak ada satupun mobil angkutan kota yang lewat. Malam semakin larut. Dia menyesal menolak tawaran Aufa tadi. Biasa, wanita memang punya rasa gengsi yang cukup besar. Dan rasa menyesal karena menolak bantuan selalu datang belakangan.

Agna menarik napas panjang. Ia putuskan berjalan kaki menuju rumah kos tempat tinggalnya. Walaupun dia sangat ragu. Jarak antara kantor dan tempat kos sekitar dua setengah kilometer jika melewati pinggir jalan raya. Tetapi akan memangkas jarak kurang lebih satu kilometer jika Agna melewati gang-gang kecil. Ia putuskan untuk melewati gang agar lebih cepat sampai.

Di sepanjang gang tampak sepi. Tidak telihat ada orang atau kendaraan yang melintas. Suasana itu makin memacu adrenalin Agna. Ia berjalan cepat tak memperhatikan apapun yang ada di sekitarnya.

Cahaya lampu yang sebagian besar berdaya lima watt di depan rumah-rumah warga sedikit menerangi jalan. Walaupun masih remang-remang. Untung saja rembulan malam ini bentuknya bulat sempurna. Bintang-bintang juga terlihat jelas di langit, cukup membuat Agna merasa tenang. 

Ketika memasuki gang lain, tiba-tiba Agna merasa tidak nyaman. Benar saja. Dia mendengar suara gemerisik dari sebelah kanan jalan. Spontan ia menengok ke arah suara, tak telihat apa-apa. Embus angin malam yang membelai pori-pori kulit membuat bulu kuduknya berdiri.

Agna mencoba berpikir rasional. Mungkin saja itu kucing atau hewan lain. Tetapi tak bisa dipungkiri kalau sekarang ia sangat takut dan was-was. Ia masih diam memperhatikan. Sekelebat bayangan di antara rumput yang agak tinggi terlihat oleh kedua matanya. Apakah itu hantu? Atau justru si pembunuh yang sedang ramai dibicarakan itu? Ia lanjut berjalan. Terlintas di pikiran tentang berita-berita pembunuhan yang sering dibaca. Agna mencoba menghilangkan pikiran negatif di otaknya.

Srek…

Suara seperti benda yang bergesek kembali terdengar. Langkah Agna terhenti. Ia tercekat. Tanpa dikomando, kepalanya menoleh ke belakang. Matanya terbelalak melihat sosok bayangan seperti manusia berdiri di samping pohon besar. Agna membalikkan badan dengan perasaan sangat tercekam.

Bulu kuduk Agna makin berdiri. Hatinya sangat cemas sekarang. Agna mempercepat langkah. Kini dia sangat takut. Kondisi jalan yang sangat sepi, adalah kesempatan emas bagi penjahat melakukan aksinya. Jantung Agna berdetak cepat bak habis lari maraton. Ia sangat takut jika bayangan tadi adalah benar si pembunuh. Ditambah, Agna adalah seorang perempuan yang bisa saja akan jadi korban berikutnya. 

Air mata Agna mulai tumpah. Ia menangis sambil terus berjalan. Badannya gemetar. Ia menahan suaranya agar tidak terdengar. Agna terus berdoa agar tidak terjadi apa-apa dengannya. Ia masih punya banyak mimpi yang ingin diwujudkan.

Suara klakson motor mengejutkan Agna. Seketika tubuhnya lemas. Ia tersungkur. Badannya seperti tak kuat lagi untuk bergerak. Samar-samar ia melihat sosok di atas motor itu.

“Agna kamu kenapa? Ngapain kamu di sini?” suara Aufa terdengar khawatir. 

Agna merasa lega. Ternyata sosok di motor adalah Aufa. Lelaki yang mencintainya itu membuat hati Agna tenang. Berangsur ketakutan Agna mulai berkurang.

“Aku antar ke rumahku ya, biar kamu bisa tenangin diri dulu.” Suara Aufa lembut membantu Agna berdiri. Gadis itu mengangguk pelan.

Aufa membonceng Agna. Beberapa menit, mereka sampai di rumah. Aufa membantu Agna melangkah dan duduk di atas sebuah sofa. Aufa bergegas ke dapur, mengambilkan segelas air. Lelaki itu duduk di samping Agna dan menyerahkan segelas air di tangannya. Agna meneguk habis air itu.

“Untung aku tadi kembali ke kantor mengambil jaketku yang tertinggal. Kalau nggak, gimana jadinya? Bahaya banget kamu jalan sendirian seperti tadi, Agna.”

“Aku nunggu angkot tapi nggak ada yang lewat. Jadi terpaksa aku pulang jalan kaki,” suara Agna lirih masih dengan rasa takut.

“Kalau tadi kamu mau aku antar, pasti kejadian ini nggak akan terjadi.”

“Maaf Aufa aku menolak bantuanmu.”

“Yaudah nggak apa-apa. Yang penting kamu sekarang sudah aman. Kalau kamu udah ngerasa enakan, aku antar pulang.”

Agna mengangguk. Ia rasakan sikap perhatian Aufa kepadanya. Ia menatap Aufa lekat-lekat. Yang ditatap juga terpaku melihat wajah manis Agna. Seketika Agna mencium pipi Aufa. 

“Makasih banyak Fa udah nyelamatin aku malam ini,” ucap Agna lembut.

“Sama-sama, Na.” Aufa salah tingkah. Wajahnya memerah.

“Aku boleh ke kamar mandi, Fa?”

“Boleh, Na.” 

Aufa menunjukkan arah ke kamar mandi. Agna melangkah pelan. Ia masuk ke kamar mandi untuk buang air kecil. Setelah itu, ia basuh wajahnya di wastafel, sembari melihat ke cermin. Sosok bayangan itu masih terngiang di ingatannya. Agna masih berusaha menenangkan diri. 

Agna keluar dari kamar mandi. Ia berjalan kembali. Tiba-tiba ia mendengar suara dari dalam sebuah pintu di lorong dekat dengan kamar mandi. Agna menarik langkah mendekati pintu itu.

Agna mencoba memutar ke bawah knop pintu kayu itu dan mendorong pelan. Tidak terkunci. Ia menuruni tangga kayu ke ruang bawah yang sepertinya berfungsi sebagai gudang. Suara lirih mulai terdengar di telinga Agna. Ia mendekati sumber suara itu, walau masih dengan rasa takut yang tersisa. Menyalakan lampu senter di telepon genggamnya untuk membantu penerangan.

Mata Agna membelalak ketika melihat sesuatu di depan matanya. Seorang perempuan bergaun merah meringkuk di sudut ruangan dengan kondisi yang mengerikan. Kedua tangan dan kaki yang terikat. Sekujur tubuhnya dihiasi darah berwarna merah yang lebih pekat dari warna gaun itu. 

“Tolong…” suara lirih wanita itu membuat Agna merinding.

Agna segera membalikkan badan untuk kembali ke atas. Ternyata Aufa sudah berdiri di hadapan Agna. Tatapan lelaki itu menakutkan. Melihat tatapan itu menggidikkan bulu roma Agna.

“Aufa, ini apa?” tanya Agna heran. 

“Kenapa harus kamu?” Aufa malah balik bertanya. 

“Jadi kamu adalah…” ucap Agna terbata-bata.

“Yang ke sepuluh.” Aufa tersenyum lebar.

Dua hari berikutnya…

Judul sebuah berita di halaman depan surat kabar…

Terjadi Lagi! Mayat Gadis Bergaun Merah Ditemukan di Pinggir Sungai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun