Agna mencoba memutar ke bawah knop pintu kayu itu dan mendorong pelan. Tidak terkunci. Ia menuruni tangga kayu ke ruang bawah yang sepertinya berfungsi sebagai gudang. Suara lirih mulai terdengar di telinga Agna. Ia mendekati sumber suara itu, walau masih dengan rasa takut yang tersisa. Menyalakan lampu senter di telepon genggamnya untuk membantu penerangan.
Mata Agna membelalak ketika melihat sesuatu di depan matanya. Seorang perempuan bergaun merah meringkuk di sudut ruangan dengan kondisi yang mengerikan. Kedua tangan dan kaki yang terikat. Sekujur tubuhnya dihiasi darah berwarna merah yang lebih pekat dari warna gaun itu.
“Tolong…” suara lirih wanita itu membuat Agna merinding.
Agna segera membalikkan badan untuk kembali ke atas. Ternyata Aufa sudah berdiri di hadapan Agna. Tatapan lelaki itu menakutkan. Melihat tatapan itu menggidikkan bulu roma Agna.
“Aufa, ini apa?” tanya Agna heran.
“Kenapa harus kamu?” Aufa malah balik bertanya.
“Jadi kamu adalah…” ucap Agna terbata-bata.
“Yang ke sepuluh.” Aufa tersenyum lebar.
Dua hari berikutnya…
Judul sebuah berita di halaman depan surat kabar…
“Terjadi Lagi! Mayat Gadis Bergaun Merah Ditemukan di Pinggir Sungai”