Agna masih diam. Bingung apa yang harus diucapkan. Agna dan Aufa memang sudah sangat dekat. Mereka sudah saling mengerti satu sama lain. Tetapi masih ada sesuatu yang mengganjal di hati Agna, sampai sekarang ia juga tak tahu apa itu.
“Aku akui kalau kamu memang laki-laki yang sangat baik, Aufa. Kamu sangat perhatian denganku. Kamu selalu membantuku. Tapi…”
“Tapi apa, Agna?”
“Aku belum bisa menjawabnya sekarang. Masih ada beberapa hal yang harus kupikirkan lagi. Aku janji, kalau aku sudah dapat jawabannya, aku akan memberitahumu.”
Wajah Aufa tampak kecewa. Bagaimana tidak? Wanita di depannya itu belum memberikan jawaban atas penyataan cintanya. Ia mencoba memaklumi ucapan Agna.
“Oke, Na. Silakan kalau kamu butuh waktu menjawabnya. Aku akan menunggu.” Aufa mencoba tersenyum semampunya. Agna membalas senyum itu. Seketika, suasana makan siang mereka jadi canggung.
Sudah hampir empat puluh menit Agna berdiri di pinggir jalan. Tak ada satupun mobil angkutan kota yang lewat. Malam semakin larut. Dia menyesal menolak tawaran Aufa tadi. Biasa, wanita memang punya rasa gengsi yang cukup besar. Dan rasa menyesal karena menolak bantuan selalu datang belakangan.
Agna menarik napas panjang. Ia putuskan berjalan kaki menuju rumah kos tempat tinggalnya. Walaupun dia sangat ragu. Jarak antara kantor dan tempat kos sekitar dua setengah kilometer jika melewati pinggir jalan raya. Tetapi akan memangkas jarak kurang lebih satu kilometer jika Agna melewati gang-gang kecil. Ia putuskan untuk melewati gang agar lebih cepat sampai.
Di sepanjang gang tampak sepi. Tidak telihat ada orang atau kendaraan yang melintas. Suasana itu makin memacu adrenalin Agna. Ia berjalan cepat tak memperhatikan apapun yang ada di sekitarnya.
Cahaya lampu yang sebagian besar berdaya lima watt di depan rumah-rumah warga sedikit menerangi jalan. Walaupun masih remang-remang. Untung saja rembulan malam ini bentuknya bulat sempurna. Bintang-bintang juga terlihat jelas di langit, cukup membuat Agna merasa tenang.
Ketika memasuki gang lain, tiba-tiba Agna merasa tidak nyaman. Benar saja. Dia mendengar suara gemerisik dari sebelah kanan jalan. Spontan ia menengok ke arah suara, tak telihat apa-apa. Embus angin malam yang membelai pori-pori kulit membuat bulu kuduknya berdiri.