“Aku nunggu angkot tapi nggak ada yang lewat. Jadi terpaksa aku pulang jalan kaki,” suara Agna lirih masih dengan rasa takut.
“Kalau tadi kamu mau aku antar, pasti kejadian ini nggak akan terjadi.”
“Maaf Aufa aku menolak bantuanmu.”
“Yaudah nggak apa-apa. Yang penting kamu sekarang sudah aman. Kalau kamu udah ngerasa enakan, aku antar pulang.”
Agna mengangguk. Ia rasakan sikap perhatian Aufa kepadanya. Ia menatap Aufa lekat-lekat. Yang ditatap juga terpaku melihat wajah manis Agna. Seketika Agna mencium pipi Aufa.
“Makasih banyak Fa udah nyelamatin aku malam ini,” ucap Agna lembut.
“Sama-sama, Na.” Aufa salah tingkah. Wajahnya memerah.
“Aku boleh ke kamar mandi, Fa?”
“Boleh, Na.”
Aufa menunjukkan arah ke kamar mandi. Agna melangkah pelan. Ia masuk ke kamar mandi untuk buang air kecil. Setelah itu, ia basuh wajahnya di wastafel, sembari melihat ke cermin. Sosok bayangan itu masih terngiang di ingatannya. Agna masih berusaha menenangkan diri.
Agna keluar dari kamar mandi. Ia berjalan kembali. Tiba-tiba ia mendengar suara dari dalam sebuah pintu di lorong dekat dengan kamar mandi. Agna menarik langkah mendekati pintu itu.