Agna mencoba berpikir rasional. Mungkin saja itu kucing atau hewan lain. Tetapi tak bisa dipungkiri kalau sekarang ia sangat takut dan was-was. Ia masih diam memperhatikan. Sekelebat bayangan di antara rumput yang agak tinggi terlihat oleh kedua matanya. Apakah itu hantu? Atau justru si pembunuh yang sedang ramai dibicarakan itu? Ia lanjut berjalan. Terlintas di pikiran tentang berita-berita pembunuhan yang sering dibaca. Agna mencoba menghilangkan pikiran negatif di otaknya.
Srek…
Suara seperti benda yang bergesek kembali terdengar. Langkah Agna terhenti. Ia tercekat. Tanpa dikomando, kepalanya menoleh ke belakang. Matanya terbelalak melihat sosok bayangan seperti manusia berdiri di samping pohon besar. Agna membalikkan badan dengan perasaan sangat tercekam.
Bulu kuduk Agna makin berdiri. Hatinya sangat cemas sekarang. Agna mempercepat langkah. Kini dia sangat takut. Kondisi jalan yang sangat sepi, adalah kesempatan emas bagi penjahat melakukan aksinya. Jantung Agna berdetak cepat bak habis lari maraton. Ia sangat takut jika bayangan tadi adalah benar si pembunuh. Ditambah, Agna adalah seorang perempuan yang bisa saja akan jadi korban berikutnya.
Air mata Agna mulai tumpah. Ia menangis sambil terus berjalan. Badannya gemetar. Ia menahan suaranya agar tidak terdengar. Agna terus berdoa agar tidak terjadi apa-apa dengannya. Ia masih punya banyak mimpi yang ingin diwujudkan.
Suara klakson motor mengejutkan Agna. Seketika tubuhnya lemas. Ia tersungkur. Badannya seperti tak kuat lagi untuk bergerak. Samar-samar ia melihat sosok di atas motor itu.
“Agna kamu kenapa? Ngapain kamu di sini?” suara Aufa terdengar khawatir.
Agna merasa lega. Ternyata sosok di motor adalah Aufa. Lelaki yang mencintainya itu membuat hati Agna tenang. Berangsur ketakutan Agna mulai berkurang.
“Aku antar ke rumahku ya, biar kamu bisa tenangin diri dulu.” Suara Aufa lembut membantu Agna berdiri. Gadis itu mengangguk pelan.
Aufa membonceng Agna. Beberapa menit, mereka sampai di rumah. Aufa membantu Agna melangkah dan duduk di atas sebuah sofa. Aufa bergegas ke dapur, mengambilkan segelas air. Lelaki itu duduk di samping Agna dan menyerahkan segelas air di tangannya. Agna meneguk habis air itu.
“Untung aku tadi kembali ke kantor mengambil jaketku yang tertinggal. Kalau nggak, gimana jadinya? Bahaya banget kamu jalan sendirian seperti tadi, Agna.”