***
Banyak perubahan yang terjadi pada kota kelahirannya, Surabaya tak lagi seperti dulu saat ia tinggalkan. Meski begitu Aghni tak mengalami kesulitan mengunjungi beberapa tempat masa kecilnya dulu. Gadis itu melangkah memasuki sebuah area pemakaman umum di desa kelahirannya. Kali ini Aghni sedikit mengalami kesulitan mencari makam yang akan ia kunjungi. Tempat itu lebih penuh dari yang dulu Aghni lihat. Untungnya ingatan Aghni masih cukup jernih. Ia berjalan menyusuri jalan setapak hingga berhenti pada bagian sudut pemakaman. Di tempat itulah ia melihat dua pusara orang yang disayanginya. Kerinduan akan dua orang yang dikasihinya itu menyeruak seketika itu juga. Aghni berjongkok di depannya. Tangannya menyusup masuk dalam kantong plastik yang dibawanya, meraup kumpulan kelopak bunga mawar dan menaburkan pada kedua pusara itu secara bergantian. “Ibu… Bapak… Maaf, Nina baru bisa datang sekarang.” Gadis itu bergumam sendiri, berbicara pada dua pusara di depannya. Nina, nama itu telah lama tak pernah ia sebut. Sejak ibu dan ayah angkatnya mengadopsi Aghni, gadis itu sudah tidak memakai nama pemberian orang tua kandungnya. Tak ada lagi yang terucap dari bibir mungil gadis itu. Aghni memilih menuangkan kerinduannya dalam diam.
***
Seminggu berlalu dengan cepat. Rando masih gelisah memikirkan Aghni yang menghilang tanpa kabar. Ia sudah seperti orang gila. Gerald yang mendapat jatah menampung luapan kegelisahan Rando hanya bisa mengelengkan kepala. Sahabatnya itu memang sudah seminggu ini tinggal di rumahnya.
“Sudah deh, Do. Aku capek liat kamu kayak orang gila begini. Tenang saja, Aghni baik-baik saja kok,” ujar Gerald yang sedari tadi melihat Rando mondar-mandir tak jelas di ruang tengah.
“Sudah seminggu, Rald! Seminggu!” tekan Rando.
“Iya, tapi kamu tenang dong.”
“Kalau terjadi sesuatu sama dia bagaimana?”
Belum sempat Gerald menjawab pertanyaan Rando, HP-nya sudah berbunyi lebih dulu. Gerald meraih HP yang ia geletakkan di atas meja ruang tengah. Rika, sebuah nama tertera di layar HP-nya. Tanpa pikir panjang Gerald menekan tombol hijau dan menaruh di dekat telinganya. “Ada apa, Ka?” tanya Gerald. “Oh, begitu. Syukur deh. Oke….ya, kapan dia balik? Hmm…ya, makasih kabarnya. Aku sudah hampir ikutan gila karena kegelisahan Rando yang sudah akut ini.”
Mendengar namanya disebut Rando memelototkan mata. Tapi Gerald tak menghiraukan sahabatnya itu. Kabar yang baru saja ia terima dari Rika akan segera membuat cowok itu kegirangan.
“Oke, sekali lagi makasih ya, Ka.” Klik. Gerald mengakhiri pembicaraannya dengan Rika. Sementara itu, Rando sudah siap meminta kejelasan darinya.