Satu pertanyaanku itu membuat Deni terkejut. “Aghni?”
“Ya, kamu menyembunyikan dia dimana?” tuduhku.
Deni terkekeh pelan. “Apa kamu tidak salah tempat menanyakan hal itu padaku?”
“Tidak! Dia lebih sering bersamamu bukan?”
“Aku tidak bersamanya!” tegasnya seraya berdiri.
“Kamu bohong!” aku tidak percaya dengan apa yang dikatakannya.
“Kamu bisa lihat sendiri kan, di sini tak ada dia.” Kuedarkan pandanganku menelusuri tiap sudut rumahnya. Benar, rumahnya tampak sepi. “Harusnya kamu bisa menjaganya dengan baik.” Deni kembali berkomentar.
Aku diam tak tertarik untuk menjawab ejekan Deni itu. Otakku berpikir cepat tentang kemungkinan yang terjadi pada Aghni dan dimana dia sekarang. Gadis itu membuatku gila! Melihat hasil yang nihil, aku keluar dari rumah Deni tanpa berpamitan pada sang pemilik rumah.
***
Ia membiarkan hembusan angin membelai kulit wajahnya. Mata indahnya sengaja ia pejamkan. Menenangkan diri dengan menyatu bersama alam. Ya, itulah yang dilakukan gadis berambut panjang itu. Merasakan hembusan angin yang melewati tubuhnya, mendengarkan bunyi desiran gemercik air sungai yang berada di bawah bukit tempat ia berdiri. Tak lupa pula menikmati alunan merdu dari kicau burung yang sesekali hinggap pada dahan pohon di sekitarnya. Sejenak perasaan dan pikiran yang tadinya kacau menjadi tenang kembali. Ini tempat favoritnya untuk menghilangkan kejenuhan dan stress. Tak aka nada orang yang mengganggunya.
Setelah cukup tenang, gadis itu membuka mata perlahan. Sudah lama aku tak ke sini, batinnya. “Sudah saatnya aku kesana. Bapak, Ibu… Nina datang,” gumamnya. Kakinya yang mungil mulai melangkah.