Sang baskara terus berjalan kearah barat, hingga tenggelam ditelan belahan bumi yang lain. Semua keperluan sudah tersiapkan, tinggal menunggu aba-aba untuk memulai acara yang kebetulan ketua panitianya adalah kakekku sendiri. Namun, sebelum sesi tarung obor dilakukan, ada beberapa rangkaian acara yang harus dilakukan oleh masyarakat setempat. Rangkaian acaranya terdiri dari pembersihan makam dan petilasan leluhur, menyiapkan sesajian, berdoa dan makan bersama yang biasanya sering disebut dengan dhahar kembul.
Hingga saat jarum jam tepat berhenti di angka delapan. Kakekku naik ke atas panggung dengan mengenakan baju khas jepara, tenun troso. Beliau membuka acara dengan memberi sambutan tentang asal usul adanya perang obor, sama seperti apa yang ayahku ceritakan saat diperjalanan kemarin.
Selanjutnya, para pemuda yang menjadi peserta menyebar ke berbagai tempat dan salah satu diantara mereka mendekat kearah panggung untuk menyalakan obor itu, yang kemudian disalurkan ke peserta-peserta lainnya. Karena terbuat dari pelapah kelapa yang diisi dengan daun pisang yang sudah dikeringkan, sehingga membuat obor itu langsung terbakar dengan api yang cukup besar.
Saat awal mula obor yang ku bawa dinyalakan aku merasa sangat takut, tapi setelah ikut saling menyerang dengan peserta yang lain, hanya rasa kesenangan yang kurasakan. Benar kata kakek, jika perang obor tidak terlalu berbahaya dan kata ayah yang mengatakan jika perang obor itu sangat menyenangkan dan penuh kemeriahan.
Setelah acaranya selesai, aku menghampiri ayahku untuk mengucapkan terima kasih karena menjadikan liburanku kali ini sangat menyenangkan dan berbeda dengan liburan-liburanku sebelumnya. "Terima kasih Yah, udah membuat liburan Gilang kali ini sangat menyenangkan, maafin Gilang juga yang sebelumnya menolak ajakan Ayah untuk datang kesini. Sekarang Gilang baru sadar jika liburan tidak harus datang ketempat-tempat mewah, tapi bisa dengan mengikuti acara budaya lokal." Ucapku kepada Ayah.
"Pintar anak ayah, tapi kamu juga harus tau, jika budaya lokal itu penting, karena budaya nasional tercipta dari budaya lokal, jadi harus terus dilestarikan. Jika budaya lokal  yang cakupannya sempit hilang, lantas bagaimana dengan budaya nasional yang cakupannya sangat luas, sulit dilakukan secara bersama dan terus tergeser dengan budaya orang-orang barat." Balas ayah.
Lagi-lagi aku baru menyadari saat ayah mengatakan hal itu. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk membagikan pengalamanku ini kepada teman-temanku dan mengajarkan mereka betapa pentingnya budaya lokal. Dan satu hal yang paling ku syukuri selain itu adalah aku sekarang sudah tidak takut lagi dengan api. Namun ada satu hal juga yang membuatku sedih, yaitu tahun depan belum tentu bisa mengikuti acara seperti ini lagi, karena acara ini hanya dilakukan saat hari Senin Pahing, malam Selasa Pon di Bulan Dzulhijjah dalam kalender jawa. Bisa jadi tahun depan saat itu bukan hari libur, jadi aku tidak bisa datang ke kota kakek karena harus tetap bersekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H