"Terima kasih," kataku seraya melihat padanya. Pandangan kami bertemu. Oh, My God, sorot mata pemuda itu! Pastilah apa yang tersimpan di dalam tempurung kepalanya adalah pemikiran-pemikiran yang mengagumkan. Sontak dadaku menjadi berdebar. Seperti apa kira-kira serunya berdiskusi dengannya? Dia benar-benar terlihat smart.
'Hei, Tika, sadarlah! Ini bukan saatnya mengagumi seseorang yang sesuai dengan type-mu! Jangan lewatkan kesempatan emasmu mendulang puisi-puisi yang kau butuhkan saat ini!' Sebuah suara yang sangat kukenali tiba-tiba terdengar, mengingatkan. Itu suara dari dalam kepalaku, bukan dari dalam hatiku.
Aku mengangguk lemah. Anggukan yang kutujukan pada diriku sendiri. Ya, aku memang harus tetap ingat, untuk tujuan apa kedatanganku kemari. Si penyair di hadapanku itu, aku sangat membutuhkannya saat ini. Puisi-puisinya kuinginkan ada di dalam novel yang sedang kukerjakan, hanya itu, tidak lebih.
Malang, 5 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H