Kartika, pukul 18.25 WIB
Suara peluit juru parkir terdengar tak lama setelah motorku mendekati garis markah jalan di depan kedai kopi Kota Baru. Sigap, laki-laki berambut ikal sebahu dengan rompi hijau yang menyala di keremangan suasana petang itu menggerak-gerakkan tangannya, memberi komando pada kendaraan lain yang hendak lewat untuk berhenti dulu sesaat, agar motorku bisa menyeberang menuju area parkir kedai.
Dari tempatku memarkir motor, kulihat dia, lelaki jangkung bersorot mata elang yang  kukenal tak lebih dari tiga bulan ini. Namanya Damar. Lintang yang mengenalkannya. Lintang bilang dia seorang penyair. Beberapa karyanya menjuarai event-event sastra yang diadakan beberapa media cetak. Aku seperti menemukan berlian yang sedang kucari. Bukankah gayung bersambut itu namanya, saat aku sedang dalam proyek menulis sebuah novel bergenre romance, tiba-tiba kenal seorang penyair.
 Kata Lintang laki-laki itu tertarik padaku. Ada-ada saja! Memangnya ada cinta pada pandangan pertama? Kok, aku tidak yakin? Lalu kami berhubungan lewat whatsApp,  puisi demi puisi yang merontokkan hati terkirim masuk ke nomorku, dari nomor kontak lelaki penyair itu, Damar Pangestu.
Petang ini langit cerah, padahal sudah memasuki musim penghujan. Entah memang kebetulan, atau Tuhan sedang memberiku izin, sehingga sepanjang sore hingga petang langit tak menjatuhkan setetes air pun. Semalam, usai kubalas kiriman puisinya dengan ucapan terima kasih via WhatsApp, laki-laki itu mengajakku bertemu. Tanpa berpikir panjang aku menyetujuinya. Di kedai kopi ini, yang konon tempatnya berkumpul para seniman untuk nongkrong dan berdiskusi.
"Halo," sapa Damar saat aku telah sampai di hadapannya. Lelaki berkaki jenjang tersebut langsung mematikan rokok dan berdiri sejak melihatku berjalan ke arahnya.
"Hai," balasku singkat. Hening untuk beberapa detik lamanya. Dari ekor mata, aku tahu laki-laki itu sedang terpana menatapku. Ah, Great, Nania! You are the best fashion advisor! "Kita langsung masuk aja, atau ...?" tanyaku, berusaha menyadarkannya dari keterpanaannya.
"Oh, ya ... ya, ayo kita masuk."
Laki-laki penyair itu menggerakkan tangannya, mempersilakanku. Lalu dia mengiringi berjalan di sampingku. Beberapa langkah setelah memasuki pintu kedai kami berdua sama-sama berhenti dan mengedarkan pandangan.
"Ingin duduk di mana?" tanyanya seraya mendekatkan wajah ke telingaku. Aku tahu, dia bukannya berniat kurang ajar. Hanya agar suaranya bisa terdengar olehku. Meski tidak hingar bingar, suara musik yang memenuhi ruangan memang cukup mampu menelan suara lainnya.
"Bagaimana kalau di sana?" tunjukku pada sebuah arah dengan gerakan kepala. Sebuah meja dengan dua kursi yang berhadapan untuk dua orang sedang kosong. Di dekat jendela besar, menghadap ke jalan raya.
"Pilihan yang romantis, Lady," tukasnya senang.