****
Damar, pukul 18.25
Aku mempersilakan Kartika duduk. Di tempat yang dipilihnya, di dekat jendela. Kami berhadapan, sehingga dengan leluasa bisa kupandangi wajahnya. Seperti saat bertamu ke rumahnya tempo hari, senyum manis seolah tak pernah kering dari bibir mungilnya, membuat debar di dalam dadaku kembali bertalu-talu. Terlebih saat pandangan kami bertemu, sepasang bola mata bulatnya membuat pandanganku tak bisa beranjak ke arah lain.
Ya Tuhan, makhluk apakah yang ada di hadapanku ini?
"Hei, kenapa melihatku seperti itu?" tanyanya kemudian, menyadarkanku.
"Apa kau terlahir dari rahim seorang bidadari, Tika?" Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku balik bertanya.
"Ah, kau ...!"
Kartika mengibaskan tangannya. Lalu membuang pandangan ke luar jendela. Aha ...! Wajahnya memerah, rupanya dia sedang tersipu. Ah, tidak, bukan tersipu, tapi mungkin salah tingkah. Bagus, Damar! Langkah awal yang bagus! Ayo, teruskan! Buat perempuan yang alisnya melengkung alami tanpa sentuhan pensil alis itu semakin tertawan.
"Maaf, Tika, ada sesuatu di kepalamu."
Dewi fortuna sedang berpihak. Entah di mana tadi Kartika mendapatkannya, yang pasti di puncak kepalanya memang ada sehelai daun kecil yang tersangkut. Seolah memberiku jalan untuk melancarkan aksi selanjutnya. Kumajukan punggung agar bisa meraih sehelai daun kering di atas kepalanya itu.
"Lihat, Tika, bahkan sehelai daun pun terpesona dan ingin menempel terus kepadamu," kataku lirih sembari menunjukkan daun kecil yang telah berhasil kuambil. Semburat merah dadu kembali bisa kulihat di pipinya. Beruntung sekali ruangan ini begitu terang benderang, tak seperti kedai kopi pada umumnya. Aku benar-benar harus berterima kasih pada yang mendesainnya.