Mohon tunggu...
Padepokan Rumahkayu
Padepokan Rumahkayu Mohon Tunggu... -

Padepokan rumahkayu adalah nama blog yang dikelola oleh dua blogger yang suka bereksperimen dalam menulis, yakni Suka Ngeblog dan Daun Ilalang. 'Darah di Wilwatikta' ditulis bergantian oleh keduanya dengan hanya mengandalkan 'feeling' karena masing- masing hanya tahu garis besar cerita sementara detilnya dibuat sendiri-sendiri. \r\nTulisan- tulisan lain hasil kolaborasi kedua blogger ini juga dapat ditemukan di kompasiana.com/rumahkayu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah di Wilwatikta Eps 14: Bergerak dalam Diam

22 November 2011   13:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:20 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

KEDUA lelaki itu saling pandang, berdiri dalam beku. Samar terdengar bunyi binatang hutan yang berpadu dengan gemercik sebuah pancuran kecil. Selebihnya hening. Hening yang mengandung hawa maut.

“Selama ini, aku, Panca Mahnakhah Mrityu (Lima Cakar Maut) tak pernah bersimpang jalan dengan Pendekar Harimau Hitam. Kenapa pendekar menghadang aku?” Seorang lelaki berusia 50-an tahun, tanpa rambut di kepala, dengan jenggot putih memanjang yang mata kanannya ditutupi kain berujar dingin.

Pendekar Harimau Hitam menatap lelaki yang mengaku bernama Lima Cakar Maut, merasa heran dengan julukannya karena jelas dia seorang diri. “Sahaya tak bermaksud menghadang siapa-siapa. Sahaya hanya bermaksud menolong seorang teman…”

“Apakah Putri Harum Hutan temanmu?”

“Sahaya mengenal Putri Harum Hutan. Dan dia mungkin mengenal sahaya. Namun kami bukan teman. Kami hanya dipersatukan oleh kepentingan yang sama…”

“Dan kau siap mati untuk seseorang yang bukan temanmu?”

“Sahaya siap mati karena membela yang benar, tak soal apakah dia teman atau tidak…”

Keduanya kembali saling pandang, berdiri dalam beku. Bunyi jangkrik mengalun bersahutan. Di kejauhan samar terdengar nyanyian burung hantu yang mendendangkan tembang kematian.

“Jika tak mau menyingkir, maka kau beruntung, Pendekar Harimau Hitam. Kau orang pertama yang akan merasakan kehebatan tahap 7 Mahnakhah Lavangi Mrityu (Cakar Malaekat Maut). Kau akan mati mengenaskan…” Dia mengangkat tangan, menggerakkan jemari. Perlahan jemarinya berubah menjadi kehijauan. Hawa berwarna hijau terlihat mengitari jemarinya.

“Sahaya sudah berjanji pada diri sendiri untuk tak lagi mencabut nyawa. Sahaya berharap saudara tak akan memaksa sahaya melanggar janji…” Pendekar Harimau Hitam memasang kuda-kuda. Kaki kanan lurus ke belakang, kaki kiri ditekuk. Tangan kanan dengan jemari berbentuk cakar diletakkan di depan dada, tepat di belakang siku tangan kiri yang jemarinya juga membentuk cakar.

“Mahnakhah Kasa Asthi (Cakar Pengerat Tulang) siap melayani Tahap 7 Cakar Malaekat Maut. Silakan!!!”

Kedua lelaki itu sama-sama mempelajari ilmu Cakar, salah satu jurus tangan kosong yang sangat ditakuti namun sukar dilatih. Ilmu Cakar bertumpu pada kehebatan jari tangan yang dijadikan senjata pembunuh.

“Pendekar Harimau Hitam, bersiaplah menghadap Dewa Yama, Dewa Kematian!!” Lima Cakar Maut melompat dan langsung menerjang. Gerakannya cepat. Ayunan tangannya diikuti kabut tipis berwarna kehijauan, seperti bayangan yang mengincar kematian.

Pendekar Harimau Hitam menyambut. Cakar disambut dengan cakar. Sodokan disambut dengan sodokan. Serangan ditangkis dan dibalas. Gerakan maut dibalas dengan gerakan maut.

Keduanya bergebrak dalam kegelapan, berkelebat dalam kebisuan.

Samar Pendekar Harimau Hitam mencium aroma amis, pertanda jemari lawan dilumuri bisa yang mematikan. Namun dia tidak takut. Dia percaya dengan kemampuan ilmu beladirinya.

Pendekar Harimau Hitam berasal dari Bantamsana, sebuah pulau kecil di dekat Tumasik (sekarang disebut Singapura). Ilmu beladirinya bersumber pada gerakan harimau, yang merupakan ilmu turun temurun keluarga. Secara khusus dia menekuni ilmu cakar, yang disebut Mahnakhah Kasa Asthi (Cakar Pengerat Tulang).

***

Kedua lelaki itu berjual beli pukulan. Saling serang dan menghindar. Dalam tujuh jurus pertama, mulai terlihat perbedaan gaya serangan. Pendekar Harimau Hitam gerakannya cenderung lebih lunak. Dia umumnya hanya mengincar kaki atau lengan lawan, menggunakan jurus ‘Pengerat Tulang Penghancur Lutut’ dan ‘Pengerat Tulang Peremuk Lengan’. Jelas kalau dia tak berniat membunuh. Hanya bermaksud melukai.

Beda dengan Lima Cakar Maut. Serangannya ganas. Benar-benar ganas. Jemari kedua lengan yang membentuk cakar menari-nari seperti iblis pencabut nyawa dari lembah kematian.

“Sraatttt…. Craaakkk!!!”

Jemari Lima Cakar Maut menggores pundak kiri Pendekar Harimau Hitam, yang segera melompat mundur.

Pendekar Harimau Hitam mengernyit. Bahu kirinya terasa perih. Perih yang sangat menusuk.

Dia mengigit bibir. Kemurahan hatinya harus dibayar mahal.

Lima Cakar maut yang melihat lawan terluka semakin bersemangat. Dia kembali menyerang. Lebih hebat. Lebih dahsyat.

Pendekar Harimau Hitam menghindar. Dan terkejut. Lengan kirinya mulai mati rasa. Racun yang melumuri jemari lawan ternyata sangat kuat.

“Kau terlalu memaksa. Jangan salahkan sahaya!!!” Dengan cepat Pendekar Harimau Hitam mengubah gerakan. Jurusnya kini lebih dahsyat. Sasaran bukan pada kaki atau lengan. Namun perut. Dan dada. Dan kepala.

Serangan yang terakhir berbuahkan hasil. Jurus ‘Pengerat Tulang Penggegar Otak’ menemui sasaran. Kelima jemarinya tenggelam di kepala lawan yang tak ditumbuhi rambut.

Lima Cakar Maut menjerit. Suaranya nyaring, jauh lebih nyaring dibanding suara babi hutan yang disembelih. Dia bergerak kacau, berputar. Kedua lengannya memegang kepala yang berlumuran darah.

Setelah menabrak pohon cemara, Lima Cakar Maut roboh. Mengerang. Dan akhirnya meregang nyawa.

***

Pendekar Harimau Hitam terdiam, memandangi lawan yang membujur kaku, dan kemudian menatap jemari tangan kanannya yang berlumuran darah.

Lagi, dia terpaksa mencabut nyawa.

Lagi, dia terpaksa melanggar janji.

Kenapa untuk memenuhi sebuah janji dia harus melanggar janji yang lain?

Perlahan dia mendekati pancuran kecil yang ada di sebelah kanan. Pancuran yang menggenangi sebuah mata air, yang terlihat berwarna keperakan di bawah cahaya Purnama.

Dia mencuci darah yang melumuri jemari, seperti ingin mengikis habis semua penyesalan yang entah kenapa kini memenuhi sanubari.

Dan dia menjerit lirih.

Lengan kirinya kini tak bisa digerakkan!!

“Sial, racunnya sangat ganas,” gerutunya. Pundak kirinya kini menghitam.

Dia mengambil kantong kecil berwarna hitam yang diselipkan di pinggang. Di bawah cahaya bulan dia mengambil sebuah bambu berwarna kuning seukuran ibu jari. Dia mengigit sumbat bambu, dan kemudian meneteskan serbuk ke luka di pundak kiri.

Pendekar Harimau Hitam mengigit bibir. Rasa perih kini benar-benar menusuk.

Dari kantong yang sama dia mengambil sebuah belati kecil. Sambil menggigit bibir dia menorehkan pisau ke luka yang menghitam. Dia melakukan itu berkali-kali hingga darah menghitam di luka menetes dan hilang.

Dia kembali meneteskan serbuk obat dari bambu kecil ke luka.

Untunglah, ketika memutuskan meninggalkan pulau dia dilengkapi obat manjur untuk pengobatan. Obat seperti ini sangat diperlukan, terutama jika dia terluka ketika bertarung dengan jagoan tangguh.

Racun sudah berhasil dikeluarkan. Tinggal pemulihan luka.

Pendekar Harimau Hitam menarik nafas panjang. Dia menatap sosok Lima Cakar Maut yang membeku, dan kemudian melompat ke pucuk pohon terdekat.

Malam terasa sangat dingin.

Pendekar Codet dan Mata Naga pasti sudah berhasil mengatasi lawan, pikirnya. Seharusnya Putri Harum Hutan kini dalam perjalanan ke Pondok Harum.

Pendekar Harimau Hitam mendesah.

Sang Surya sudah terbit dan menanyakan hujan…

***

Begitu melihat Putri Harum Hutan menerima pesan rahasia melalui merpati dari Pendekar Padi Emas, Pendekar Harimau Hutan segera bersiaga. Kini sang putri sudah tahu!!

Ketika Putri Harum Hutan menunggang kegelapan dan meninggalkan Trowulan, Pendekar Harimau Hitam segera meninggalkan pasar. Begitu juga Pendekar Codet. Dan Pendekar Mata Naga.

Melalui jalan yang berbeda mereka bertemu di kedai Pawon ManteraKata.

Rumah makan paling populer di Trowulan itu sepi. Mereka bertiga satu-satunya pengunjung. Rumah makan ini memang hanya dibuka hingga petang hari.

Seorang perempuan cantik berusia 30-an tahun, dengan tubuh montok yang dibalut kemben berwarna hijau mendekati mereka.

“Sudah dipastikan. Dia berada di Pondok Harum,” bisik perempuan itu, sambil meletakkan alat minum dari bambu berisi tuak. Ketika berbisik, perempuan itu sengaja memberi tekanan pada kata ‘dia’.

“Aku juga mendengar kabar, akan ada dua gerakan malam ini. Yang satunya bermaksud menjemput dia dari pondok, yang lain ditugaskan menghalangi pendekar yang bermaksud membantu dia…”

“Terima kasih mbakyu Tri,” bisik Mata Naga. Tri adalah nama panggilan untuk perempuan itu, pemilik Pawon ManteraKata yang di Trowulan dikenal sebagai Mbakyu Hestrinaputri.

“Jangan dulu berterima kasih karena kita belum melakukan apa-apa. Berterima kasihlah jika kalian bisa membantu menyelamatkan dia…” Perempuan itu tersenyum, dan meninggalkan mereka.

Ketiga lelaki itu menatap sosok Tri yang melenggang dan menghilang di dapur. Dan kemudian terdiam.

“Jadi, apa yang kita lakukan sekarang? Ada dua pilihan. Kita ke Pondok Harum membantu dia, atau membantu Putri Harum Hutan yang kelihatannya akan dihadang,” ujar Pendekar Codet.

“Jika kita ke pondok, mungkin sudah terlambat,” kata Mata Naga. “Kita sebaiknya berpencar dan menghadapi siapapun yang bermaksud menghadang Putri Harum Hutan. Setelah itu kita bisa ke Pondok Harum untuk memberikan bantuan…”

Pendekar Codet dan Harimau Hitam mengangguk. Setelah mereguk habis tuak yang disajikan Mbakyu Tri, mereka berpisah.

Dengan jalannya sendiri, mereka membantu Putri Harum Hutan

***

Di Pondok Harum. Dari sela papan, Kirana melihat ketujuh lelaki itu mendekat.

Bhayangkara Biru mendekat!!

“Me…mereka datang…” wajah Kiran memucat.

Perlahan Dhanapati menggenggam jemari gadis itu.

“Tenanglah. Mereka bukan Bhayangkara Biru…”

“Oh, bagaimana kamu tahu?”

Dhanapati tersenyum, seakan pertanyaan gadis itu terasa lucu di telinga.

“Jika mereka Bhayangkara Biru, kita sekarang pasti sudah terluka parah. Atau mungkin sudah tewas. Jika mereka Bhayangkara Biru, pasti sejak tadi mereka sudah berada di bubungan rumah, mengamati kita, dan menghabisi kita diam-diam…”

Dhanapati mengintip dari sela-sela papan. Dan kemudian menatap Kiran.

“Bhayangkara Biru tak pernah melakukan kesalahan. Bahkan kesalahan terkecil, seperti menginjak daun kering. Kami biasa bergerak dalam diam. Lagipula, Bhegawan itu pemimpin yang efektif. Jika ingin menghabisi aku, dia tak perlu mengirimkan semua anggota Bhayangkara Biru. Satu atau dua anggota sudah lebih dari cukup!!”

“Kalau begitu, ihhh… Kenapa kau pegang-pegang tanganku?” Kiran mengibaskan jemarinya yang sejak tadi digenggam Dhanapati.

“Eh… maaf… Aku tak bermaksud…”

Kiran segera memalingkan wajahnya yang entah kenapa terasa panas. Dan diam-diam dia menyesali diri. Kenapa dia mengibaskan pegangan Dhanapati?

“Ka.. Kalau bukan Bhayangkara Biru, lalu siapa mereka?” Kiran bertanya cepat, mencoba bersikap biasa.

Dhanapati mengangkat bahunya.

“Aku tidak tahu. Tapi siapapun mereka, kita akan segera tahu.”

Kiran mengintip. Tamu tak diundang, tujuh pengepung kini sudah berada di dekat pondok. Sangat dekat.

(bersambung)

**gambar diambil dari masteryoda1983**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun