Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gara-gara Bikin Soal Ujian "Aneh", Guru SMP Ini Dimarahi Ketua RT

16 Desember 2020   00:19 Diperbarui: 16 Desember 2020   01:33 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Soal Ujian. Gambar oleh tjevans dari Pixabay 

Besok adalah hari terakhir pelaksanaan Penilaian Akhir Semester (PAS) di SMP tempat Pak Kodir mengajar. Sebagai guru yang mengampu mata pelajaran PKN, soal sudah beliau siapkan. Adapun rincian soalnya, terdiri dari 40 soal bentuk pilihan ganda dan 10 soal bentuk jawaban singkat.

Jauh-jauh hari, Pak Kodir juga sudah mengonfirmasi pihak Tata Usaha (TU). Setidaknya, 100 kopian soal sudah siap dibagikan di hari H.

Alhasil, tenanglah pikiran pria berumur 40 tahun ini. Tadi sore, tepatnya pada hari Selasa, Pak Kodir sudah meminta kepada istrinya agar baju kemeja putih segera disetrika, sekalian diberi pewangi.

Pak Kodir sadar betul bahwa penampilannya akhir-akhir ini cukup disorot oleh siswa. Siswa SMP, semua orang juga tahu bahwa anak-anak bergelar "Remaja Tanggung" ini matanya liar.

Tidak hanya rambut Pak Kodir yang diamati, bahkan jerawat di punggung guru pun siswa tahu. Pak Kodir enggan mengaku, lalu dia bilang saja bahwa punggungnya semalam masuk angin dan dikerok oleh sang istri. Syukurlah segenap siswanya percaya.

***

Pagi itu cukup cerah. Sepuluh menit sebelum lonceng masuk berbunyi, Pak Kodir sudah sampai di gerbang sekolah. Dengan santai dia kendarai vespa MP 6 Prototipe kepunyaannya.

"Selamat pagi, Pak. Selamat pagi, Pak Kodir." Semua siswa di depan mata pun menyapa Pak Kodir dengan tulus. Sang guru wibawa dan karismanya memang cukup diakui oleh seluruh penduduk sekolah. Sebagai guru PKN, Pak Kodir tidak pernah lelah mencontohkan perilaku sebagai wujud dari butir-butir nilai Pancasila. Dengan teladan tentunya.

***

"Kring...Kring...Kring"

Pukul 07.30 Wib, PAS PKN pun dimulai. Pak Kodir kebetulan dapat jadwal mengawas di ruang 7B, dengan materi ujian PKN. Dalam hatinya, Pak Kodir sangat senang. Secara, dirinya bisa langsung mengukur tingkat ketercapaian siswa tanpa harus berlama-lama menanti.

"Anak-anak, silakan taruh tas kalian di dekat papan tulis. Siapkan saja satu-dua buah pena di atas meja. Tak perlu pakai penghapus pena. Jika nanti jawaban kalian salah, cukup dicoret sekali saja. Kita belajar menulis yang rapi, juga bersih tanpa coretan."

"Siap, Pak." Segenap siswa seisi kelas mengiyakan. Mereka sepertinya sudah siap. Dan juga, sebenarnya soal ujian alias PAS PKN tidaklah susah-susah amat.

Terang saja, tiap hari Senin, Pancasila dan pengalamannya selalu disampaikan lewat amanat guru. Tidak ada alasan untuk remidial.

"Tas sudah ditaruh, dan sekarang kalian tampaknya sudah siap untuk ujian. Silakan berdoa terlebih dahulu, boleh dipimpin oleh ketua kelas."

Siswa pun berdoa menurut agama dan kepercayaan mereka masing-masing. Setelah berdoa, satu demi satu dari generasi emas penerus bangsa ini mengerjakan soal PKN dengan hikmat. Suasananya hening, adem. Mungkin karena hari masih pagi, hingganya siswa masih segar.

Dari pengamatan Pak Kodir, terlihat ada sejumput siswa main kode-kodean.

Ada siswa yang jari-jarinya melambangkan gambar "saranghae", dugaan Pak Kodir, mungkin itu adalah kunci jawaban "C".

Ada pula siswa yang terlalu sering menggaruk-garuk kepala. Lagi, dugaan Pak Kodir, itu adalah kunci jawaban "B", karena kebetulan siswa menggaruk kepala menggunakan dua jari.

***

"Pak, maaf, saya ingin bertanya. Boleh, Pak?" Jelang 1 jam waktu ujian berlalu, tiba-tiba ada seorang siswa yang memberanikan diri untuk bertanya kepada Pak Kodir.

"Boleh, silakan. Ada yang salah dengan soalnya. Atau, kamu sudah selesai mengerjakannya, Nak?"

"Bukan, Pak. Ini, ada soal yang cukup aneh, Pak."

"Aneh kenapa. Coba kamu bacakan?"

"Baik, Pak. Soal yang saya maksud ada pada esai nomor 4. Di suatu pertemuan, Pak Rudi selaku Ketua RT diminta untuk membacakan doa penutup acara. Tapi, karena pertemuan tersebut sifatnya dadakan, alhasil Pak Rudi gugup sehingga ia lupa teks doa. Syahdan, Pak Rudi pun disorak oleh segenap warga yang hadir. Dari kisah tersebut, terangkan olehmu sikap Pak Rudi dan warga yang seharusnya!"

"Nah. Tidak ada yang aneh, kan?"

"Iya sih, Pak. Tapi, Pak. Ketua RT itu..."

"Ok. Waktu pengerjaan ujian 5 menit lagi. Bagi kalian yang sudah selesai, silakan kumpul. Bagi yang belum, jangan terlalu lama."

Pak Kodir pun enggan menjawab keluh siswa. Menurutnya, tiada yang salah dari soal PAS tersebut.

Bersandar pada soal, dirinya hanya ingin mengajak siswa untuk berpikir kritis sekaligus menerangkan bagaimana sikap yang bijaksana, entah itu sebagai warga, ataupun sebagai pejabat desa.

***

Sore itu mendung. Langit mulai mendatangkan kelam sehingga senja harus rela cuti. Seorang siswa yang tadinya ikut ujian semester bersama Pak Kodir baru pulang.

Dirinya enggan pulang di waktu siang, soalnya sang Ayah selalu sibuk bepergian keliling desa. Maklum, ayahnya adalah Ketua RT yang sangat aktif sekaligus dibangga-banggakan oleh warga desa.

"Ayah....Ayah, aku menemukan soal aneh ini. Coba Ayah cek dulu!"

"Aduh, kamu ini, Nak. Kalo masuk ya ucapkan salam gitu napa sih. Enggak susah, kok!"

"O iya. Maaf, Ayah!"

"Bagaimana ujian semester ganjilmu tadi, lancar? Coba Ayah lihat soal-soalnya, pasti mudah, kan?" ujar Ayah sembari menanti sodoran kertas soal ujian dari dalam tas anaknya.

"Ini, Ayah. Iya, mudah, Yah. Tapi... Coba ayah baca soal esai nomor 4."

Ayah sekaligus Ketua RT itu pun segera membaca soal "aneh" yang bikin dirinya penasaran. Sepintas, tak terbesit suatu keanehan apapun dalam relung pikir, hingga akhirnya...

"Hah! Apa ini! Bisa-bisanya gurumu bikin soal macam ini! Pencemaran nama baik ini! Rusak reputasi Ayah selaku Ketua RT. Cepat, Nak. Telpon gurumu, suruh dia datang ke rumah kita. Jangan sampai info buruk ini disebar oleh wali murid lain. Cepat, Nak!"

"Iya, sebentar, Ayah. Aku lepas sepatu dulu."

"Tak perlu lepas sepatumu. Biarkan saja lantai kita kotor, asal jangan nama baik Ayah yang tercemar. Cepat telpon!"

***

Hari sudah hampir Magrib. Dari sudut jalan, tampak Pak Kodir sedang mencari-cari rumah Ketua RT desa setempat. Vespa MP 6 Prototipe tidak ia bawa, karena tadi dirinya sibuk di bengkel guna servis kopling.

"Pak Kodir, di sini, Pak. Di sini rumah kami!"

Tanpa berlama-lama, Pak Kodir langsung bertamu ke rumah Ketua RT. Dirinya sudah khawatir. Hari sudah gelap, dan Pak Kodir ingin segera berkumpul dengan keluarganya.

"Permisi, selamat sore, Pak Ketua RT. Ada apa ya Pak, sore-sore meminta saya kemari?"

"Begini, Pak Guru. Saya langsung saja, to the point saja ini, ya. Apa maksud Pak Guru bikin soal aneh macam ini!"

"Oh, soal yang ditanyai anak Bapak tadi, ya. Aneh apanya, Pak. Tak ada yang salah dengan soal itu."

"Apanya yang tidak ada salah. Ini jelas-jelas salah. Mengapa ada nama Saya! Pake tulis-tulis bahwa Saya Ketua RT yang tidak lancar baca doa pula. Kan ini menghancurkan reputasi Saya. Bisa malu saya, Pak! Bagaimana ini, Saya minta solusi!"

"Lho, Pak. Jelas-jelas soal di sana cuma Saya tulis Ketua RT. Di tiap desa kan ada Ketua RT, Pak. Memangnya Ketua RT di seluruh desa ini Bapak seorang? Tidak, kan? Jadi, soal ujian tersebut kebetulan saja sama, Pak."

"Ah, tidak. Tidak begitu. Pokoknya saya mau Pak Guru tarik semua soal yang sudah sampai di tangan wali murid, lalu adakan saja ujian ulang."

"Tidak bisa, Pak. Tidak ada yang salah dengan soal tersebut."

***

"Permisi, Pak. Pak Ketua RT ada?" Di tengah percakapan sengit, tiba-tiba datang seorang warga yang ingin menyampaikan informasi penting kepada Ketua RT.

"Iya, ada apa cari Saya?"

"Begini, Pak. Perkenalkan nama saya Toni. Saya ingin menyampaikan pesan dari Kepala Desa. Ini mendadak, beliau mengajak Pak Ketua RT untuk hadir ke masjid untuk Shalat Magrib berjamaah sekaligus mengikuti rapat penting pelaporan kegiatan bulanan desa."

"Harus sekarang, Pak?"

"Iya. Kita Shalat Magrib terlebih dahulu. Ajak juga Bapak ini, kita Shalat Berjamaah."

Alhasil, Pak Toni, Pak Ketua RT, hingga Pak Kodir bergegas menuju masjid. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibadah, permasalahan tentang soal "aneh" akhirnya terhenti. Agaknya Pak Ketua RT cukup risau bahwa akan ada pertemuan apa sesungguhnya nanti.

***

"Assalamualaikum, selamat malam Bapak/Ibu sekalian. Perkenalkan, nama saya Toni. Alhamdulillah hari ini saya sudah sehat sehingga kita bisa bersama-sama berjuang untuk memajukan desa."

Di sudut kiri masjid, ada seseorang yang sangat gugup menatap dirinya sendiri. Ia malu, juga bingung harus berbicara apa nantinya. Dirinya tak sanggup menatap Pak Toni, yang ternyata beliau adalah Kepala Desa.

Pantas saja kantor desa dalam dua bulan ini selalu nihil kehadiran ketua. Pak Rudi selaku Ketua RT terlalu sibuk mempertahankan reputasi dan wibawanya. Ingin menampakkan seolah-olah dirinya kerja keras, padahal entah. Entah kerja keras, atau malah kerja angin-anginan.

"Demikianlah sambutan saya pada malam hari ini. Besar harapan saya agar Bapak/Ibu warga desa sekalian mau bekerja sama, dan sama-sama kerja. Sebelum saya akhiri, saya dengar bahwa ada salah seorang Ketua RT kita yang sangat aktif dan serius dalam membangun desa. Maka darinya, dengan kerendahan hati, saya meminta kepada Pak Rudi untuk membacakan doa penutup kegiatan kita."

Alamak! Kegelisahan Pak Rudi memuncak. Dirinya tidak tahu lagi harus bersikap apa. Sang Ketua RT sungguh-sungguh ingin mengakui bahwa dirinya belum bisa memimpin doa. Dirinya belum hafal doa bahasa Arab. Tapi, bagaimana dengan harga dirinya! Nama baiknya!

"Ayo, Pak Ketua RT, maju, Pak. Silakan di mimbar saja. Kita para warga mau pulang ini, belum makan malam," cetus warga seraya mendesak.

Suasana masjid yang tadinya cukup senyap, sekarang jadi riuh. Di sisi yang sama, ternyata muka Pak Rudi juga riuh, penuh dengan kegelisahan yang meriuh. Dalam hatinya, Pak Rudi segera ingin mengakui bahwa dirinya memang belum bisa memimpin doa. Begini, Pak, sebenarnya....

"Biar saya saja yang pimpin doa, Pak. Karena kita juga sedang buru-buru," sahut Pak Kodir seraya berdiri dan berjalan mendekati mimbar.

Selamat! Kegelisahan yang meriuh di sekeliling wajah Pak Rudi akhirnya merendah. Dirinya tertolong oleh sikap baik hati sang Guru PKN, Pak Kodir.

Sembari Pak Kodir membacakan doa, dirinya segera ingin untuk belajar memimpin doa pertemuan bersama Pak Kodir.

Sungguh, Pak Rudi kuatkan dalam hati keinginan tersebut. Niat itu sudah bulat. Sedangkan dari kejauhan, Pak Toni tersenyum rendah sembari mengangguk tanda bahagia.

*****

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun