Kutepuk punggung tangannya dan kubilang, Â "ambil nafas".
"Tenanglah. Senyumlah."
Prameshwari akan naik pesawat jelang sore. Sedangkan teman-temannya sudah berangkat lebih dulu dengan kapal cepat tadi pagi dari BoomBaru ke Muntok Bangka. Dari Muntok teman-temannya masih harus naik mobil lagi untuk sampai ke Pangkal Pinang.
"Bentar lagi aku dijemput. Apakah dirimu mau ikut mengantarkanku ke Talang Betutu?".
"Boleh, pulangnya naik apa?".
"Ya, Â ikut lagi mobil".
Kembali laki-laki, kemarin yang membayar di kasir dan membukakan pintu mobil di restaurant apung terlihat. Dia membukakan pintu untuk Prameshwari. Sedangkan aku masih terdiam terpaku.
Tiba-tiba si lelaki berputar dan membukakan pintu sebelah kanan. Akupun reflek masuk dari pintu sebelah kanan. Di dalam mobil kami semua diam. Hanya ada Mesh, aku dan sopir dan seseorang yang selalu bergerak untuk Mesh.
Menjelang sampai ke Bandara Talang Betutu, Mesh meminta agar ke tempat bakso di tikungan ke arah Talang Jambe. Mobil pun tak jadi masuk ke bandara dan berbelok ke tempat bakso.
"Belum dapatkan bukunya. Itulah kelemahan kita. Semua masih memakai budaya tutur. Budaya dituturkan dari orangtua ke anak. Kalau orangtuanya malas bertutur pada anak,  nah habis lah. Tokoh-tokoh masyarakat juga pasti akan dimakan umur. Harus ada yang mulai untuk membuat buku".
"Kontroversi pasti ada dalam setiap tulisan. Tetapi itu lebih baik dan terus diperbaiki agar menjadi lebih baik lagi ke depannya daripada hanya dalam bentuk memori para tokoh-tokoh masyarakat. Kalau tokoh masyarakat itu meninggal habislah tata budaya dan sejarah kita," tutur Prameshwari.