“Hehehe… kamu jangan belaga bingung Gi, justru masalahnya apa yang selama ini kita tulis di mading, yang kita sampaikan di pengajian kelas, menurut mereka lebih berbahaya,” Jamil mengerdipkan mata.
“Bahaya? Bahaya gimana Mil?” Ogi masih memasang mimik muka serius.
“Kalem aja Gi, jangan serius mulu. Cepet tua!” Jamil ngeguyonin.
“Iya, lihat aja Koko. Meski semangatnya Peterpan, tapi wajahnya Meggy Z!” Jamil meneruskan sambil menjentikkan jari telunjuknya ke arah Koko. Koko mesem aja. Abisnya udah tahu gaya Jamil.
“Tapi kata orang, bermutu alias bermuka tua itu ada untungnya juga lho…” Koko mencoba ngeles.
“Ahhh.. nggak mungkin. Kalo naik bis kota aja diminta bayar full. Kita kan masih tiket pelajar. Lha, Koko dianggap udah bapak-bapak, jadi bayarnya 2 x ongkos pelajar!” Jamil cengengesan.
Ogi dan Koko juga ikutan tersenyum. Hujan mulai agak deras. Airnya sampai menciprat ke teras masjid. Ditingkahi dengan kilat segala. Memaksa Ogi, Jamil dan Koko masuk ke dalam masjid dengan kedua tangannya dilipat dan dirapatkan ke dada masing untuk menahan hawa dingin.
“Jadi gimana nih langkah kita? Apa kita harus demo lagi seperti dulu waktu menolak kenaikan SPP?” Ogi tetep serius.
“Kamu ini Gi, tumben-tumbenan seriusnya keterusan. Kalem aja lagi. Buru-buru itu nggak baik. Oke?” Jamil ngingetin.
“Iya Gi, kita ngak perlu demo kayak dulu deh. Soalnya dulu aja berakhir rusuh karena dikacaukan ulah beberapa teman kita yang nggak bisa ngendaliin nafsu sampai-sampai kamu diinterogasi Pak Mario,” Koko menasihati.
Ogi diam sejenak. Tapi kemudian mendadak tersenyum. Lalu berseru, “Aku dapat ide!”
Jamil dan Koko berpandangan. “Ide apa, Gi?” keduanya kontan bertanya.