“Bapak bisa mencontohkannya?” Ogi nggak kalah taktik dengan balik bertanya.
“Saya melihat banyak anak-anak yang jadi fanatik. Misalnya wajib berjilbab bagi perempuan, mengharamkan pacaran, salaman dengan wanita tidak boleh, bahkan ketika praktik IPA ada siswa rohis yang menolak menggunakan alkohol dengan alasan haram,” Pak Bustami panjang lebar.
Jamil dan Ogi agak panas karena selalu masalah itu yang dipersoalkan. Tapi Ogi masih bisa menahan diri. Di tengah kebingungan dan dalam waktu yang singkat itu Ogi harus mengambil keputusan untuk menjawab. Dia bertekad dalam hati, “Kalo nggak sekarang, kapan lagi. Aku harus sampaikan kebenaran.”
“Ehm.. Sebelum saya menjawab, saya minta penjelasan dari bapak. Mengapa pihak sekolah tidak melarang mereka yang bergaul bebas laki-perempuan padahal sudah ada kasus hamil di luar nikah di sekolah ini? Mengapa mereka tidak dikeluarkan? Mengapa pihak sekolah tidak merazia siswi yang memakai rok di atas lutut padahal itu sudah mengundang syahwat? Sebagai laki-laki saya tergoda. Mungkin bapak juga. Mengapa pula pihak sekolah tidak mengakui prestasi anak rohis yang ikutan lomba cepat-tepat matematika dan juara?” papar Ogi dengan pelan namun dalem.
Pak Bustami diam. Tak berkata. Mukanya agak merah. Mungkin merasa kalah di ronde pertama. Telak pula. Kemudian ia bertanya kepada ibu Roswita yang duduk di samping kanannya, “Prestasi anak ibu merosot setelah ikut kegiatan rohis. Benar?”
“Sebenarnya saya senang Pak anak saya ikut kegiatan keagamaan. Karena memang saya tak sempat mengajarinya. Beruntung ada kegiatan di sekolah. Perubahan perilakunya juga tambah baik kepada keluarga. Tapi…” belum meneruskan kata-katanya, langsung dipotong Pak Bustami.
“Tapi prestasinya turun kan…?”
“Memang, tapi bukan karena ikutan ngaji. Anak saya terpaksa sering menunggu ayahnya yang dirawat di rumah sakit jadi jarang belajar. Konsentrasinya terbelah,” Ibu Roswita sejujurnya.
Pak Bustami diam. Diam sangat lama. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ibarat petinju mungkin sudah KO dengan pukulan di ronde kedua itu. Pertemuan itu berlangsung singkat. Seperti permintaannya.
“Maaf Pak…!” Ogi dan Jamil hampir bersamaan.
“Cukup. Silakan keluar dari ruangan ini. Tinggalkan saya di sini”.
Ogi, Jamil, dan Bu Roswita meninggalkan ruangan kepala sekolah. Ogi dan Jamil berjalan gontai ke arah masjid sekolah sambil menderaskan kalimat yang sudah sangat dihapalnya: “Dakwah harus terus berjalan. Kebenaran tak akan pernah padam. Kami, bunga-bunga dakwah siap memberikan segalanya untuk harumnya Islam dan umat ini.” [link asli artikel di sini]