“Lama nunggu ya. Maaf. Silakan masuk, Bu!” ujarnya sambil mempersilakan seorang ibu masuk ke ruangannya.
Ogi dan Jamil jadi kaget. Dalam hati mereka bertanya, “Apa maksudnya dengan menghadirkan orang lain di ruangan ini. Apakah bapak kepala sekolah kurang pede menghadapi kita-kita.” Ogi dan Jamil saling berpandangan geer.
“Gimana, apa yang bisa kita bicarakan pada pagi ini? Kalo bisa singkat ya. Karena saya akan ada urusan di luar,” Pak Bustami mengawali pembicaraan sambil sedikit ngancem.
“Oya, kenalkan, ini salah seorang wali murid kelas 1, Ibu Roswita,” Pak Bustami sambil menunjuk ke arah perempuan paruh baya berkerudung.
“Jangan kaget, ini sekalian untuk kroscek dengan Ogi dan Jamil dari rohis sekolah. Sengaja saya datangkan salah seorang wali murid karena ada anak kelas 1 yang prestasi belajarnya merosot setelah ikut kegiatan rohis,” lanjut Pak Bustami.
Ogi dan Jamil berpandangan heran.
“Nah, langsung aja ya, bapak ingin bertanya kepada kalian berdua, kegiatan apa saja sih selama ini yang dilakukan di masjid sekolah?”
“Pengajian Pak! Juga membuat mading untuk menampung kreativitas anak-anak rohis,” Jamil buka mulut.
“Pengajian model apa?” Pak Bustami bertanya lagi.
“Memperdalam pengetahuan keislaman, Pak” Ogi menambahkan.
“Tapi saya lihat, pemikiran kalian agak beda dengan keumuman pemahaman tentang Islam dari kami-kami,” Pak Bustami menatap tajam mata Jamil dan Ogi seolah ingin menguliti.