O. Solihin
“Para pejuang kebenaran adalah orang yang paling pintar memaknai arti cinta. Mereka orang yang paling romantis. Rindu dan cintanya amat kuat menggebu. Demi cinta dan rindunya kepada kebenaran, ia rela menempuh cobaan. Telapak tangannya selalu basah oleh keringat, bahkan darah. Tapi tak pernah mengeluh dan terus berjuang. Pikirannya senantiasa dipenuhi cita-cita mewujudkan tersampaikannya kebenaran. Meski untuk itu, ia berani untuk dicemooh, dihinan, bahkan rela mati. Sungguh hebat para pejuang kebenaran dalam mengaplikasikan cintanya. Begitu seharusnya cara mencintai. Mereka, adalah bunga-bunga dakwah yang harum semerbak,” papar Arya mengakhiri taushiyah-nya pagi itu di masjid sekolah.
Anak-anak rohis tertunduk. Menghela nafas dan saling berpandangan. Malah ada yang matanya mulai berkaca-kaca. Terharu. Ogi juga sangat terkesan dengan ungkapan Arya, kakak kelasnya yang juga ketua rohis di SMU Jingga itu. Meski dari gaya bahasanya nggak terlalu bombastis dan bernilai sastra, tapi isinya mampu melelehkan hatinya.
“Mil, kamu tahu kan gimana kondisi terakhir dakwah di sekolah kita?” Ogi menatap wajah Jamil dengan amat lekat. Jamil hanya mengangkat bahu. Tak berkata apa-apa seolah Ogi pasti tahu apa yang ada dalam pikirannya. Sudah seminggu masalah dakwah di sekolahnya mulai menyita perhatiannya, tenaganya, dan juga waktunya. Anak-anak rohis SMU Jingga sedang menghadapi sebuah tantangan yang mungkin saja akan menggerus semangat mereka secara perlahan tapi pasti. Padahal, semangat itu mulai tumbuh. Semangat untuk mencintai kebenaran Islam.
Anak-anak rohis memang mulai dicurigai oleh pihak sekolah bahwa organisasi ini ditunggangi pihak lain. Beberapa orang guru mulai diterjunkan sebagai Tim Pencari Fakta untuk menyelidiki kasus ini. Ada isu kalo anak-anak rohis mulai berani mengkritik kebijakan sekolah yang hendak menetapkan wajibnya siswa memberi sumbangan untuk perpisahan kelas tiga karena dikendalikan organisasi di luar sekolah. Mereka juga sering terlibat melakukan aksi di jalanan menolak kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM. Semua itu dipelopori anak-anak rohis. Tapi sekolah tak yakin itu hasil kerja anak-anak rohis. Mereka masih percaya bahwa ada tangan kedua yang menggerakkan mereka.
ooOoo
Ogi asyik di depan komputer. Ia sedang menulis sebuah artikel untuk dipajang di mading sekolah. Sebenarnya Ogi rada-rada malas kalo harus nulis untuk mading sekolah. Soalnya, kurang pede. Takut nggak dibaca sama orang. Tapi Jamil ngasih semangat untuk terus nulis meski ia sendiri jarang nulis. Alasan Jamil waktu itu, “Memberi semangat kepada orang lain adalah ibadah. Lagian daripada tuh tulisan dibiarkan bulukan nggak dibaca orang, kan mendingan dipajang. Siapa tahu ada ngerobek. Hihihi…”
“Wah, apalagi yang harus aku tulis? Perasaan semuanya udah nih. Tapi kok masih satu halaman?” Ogi membatin.
Sedang bingung gitu ponselnya bergetar. Kebetulan ia pasang mode getar. SMS dari Jamil. Ogi nggak sabar untuk membukanya.
“Gi, nih The Laden’s Family: Osama, Obeda, Olain, Omirip, Obenar, Oiya. Yang baca: Ogila hahahaha…” begitu tulis Jamil di SMS-nya.
Ogi tersenyum kecut. Dasar Jamil nggak ilang iseng dan guyonnya. Bahkan dalam situasi sesulit sekarang. Ogi masih ingat ucapan Jamil soal itu. “Di balik semua peristiwa pasti ada hikmahnya. Sesedih apa pun jangan membuat kita panik dan putus asa.” Itu ungkapan Jamil suatu ketika. Meski tuh bocah terkenal suka nggak serius, tapi sebenarnya peduli dan perhatian.
Buru-buru Ogi memencet tomblo “yes” di ponselnya. Lalu keluar beberapa tampilan menu. Ogi memencet dengan jempol tangannya menu “balas” dan mengetik beberapa kalimat. “Aq t’paku memandangi wajahmu. Hatiku bertanya-tanya, bnrkah semua ini? Nafasku t’tahan & akhirnya… kukatakan jg: ‘Km kentut ya?’ Heuheuheu…” lalu Ogi memencet tombol “Yes” setelah ponselnya menampilkan menu “Kirim”.
Dasar parah dua-duanya. Ogi dan Jamil selain nyetel kerjasama di rohis, juga lengket dalam berbagai hal. Soal guyon, jangan ditanya. Keduanya memang langganan jadi penghibur anak-anak rohis dengan celetukan-celetukannya. Pernah waktu Jamil jadi moderator acara dialog remaja ngasih tebakan. Dengen mimik muka serius Jamil bertanya ke peserta: “Mengapa guru sejarah botaknya pada kepala bagian belakang, sedangkan profesor di bagian depan?” Anak-anak yang ditanya kebingungan. Sebagian ada juga yang tertawa. Tapi mereka nggak bisa jawab. Lalu Jamil ngasih bocoran, “Pengen tahu? Ya, karena guru sejarah berpikir pada masa lampau, sedang profesor berpikir untuk masa depan,” Jamil ngasih penjelasan sekenanya diiringi derai tawa anak-anak.
Ogi juga sama sablengnya dengan Jamil. Suka asal njeplak dan nyteletuk. Tapi itu dilakukan kalo Ogi lagi mood hatinya. Suatu ketika pas ditanya sama Jamil, “Gi, jenggot kamu sedikit, tapi tumbuhnya cepet ya?” Ogi menjawabnya sok tahu, “Wah, kamu belum belajar teori gravitasi ya? Karena jenggot itu mengarah ke bawah, jadi numbuhnya lebih cepet, Mil!” Gubrak!
Belum lagi kalo mereka gabung dalam kursus bahasa Arab yang disampaikan sama Bang Adhi yang mahasiswa UI itu. Pasti seringnya nyeletuk hingga membuat peserta lain kesepian kalo Ogi dan Jamil nggak hadir. Pernah suatu ketika ditanya artinya buah dalam bahasa Arab, Jamil menjawabnya “Alpukat”. Kalo Ogi lain lagi, doi pernah disentil sama Bang Adhi gara-gara nyeletuk ketika belajar jenis-jenis kata kerja alias “fi’il” dalam bahasa Arab. “Mil, fi’il apa yang bisa nyanyi?” Karuan aja Jamil dan anak-anak rada bingung. Perasaan nggak ada deh di pelajaran bahasa Arab ada jenis kata kerja yang bisa nyanyi. Di tengah kebingungan temen-temennya Ogi sigap menjawab, “fi’il collin!”
“Hahahaha….” Jamil dan kawan-kawan ngakak, karena itu ternyata plesetan dari nama penyanyi pentolan grup Genesis, Phil Collin.
ooOoo
Sore di masjid sekolah. Hujan turun rintik-rintik. Hembusan anginnya terasa basah. Dingin menusuk sampai ke tulang. Ogi, Jamil, dan Koko asyik berbincang di teras masjid ditemani teh manis hangat yang dibelinya di kantin sekolah.
“Aku nggak abis pikir Mil, kenapa sih kepala sekolah melarang segala bentuk kajian keislaman di sekolah?”
“Iya, aku juga heran, kenapa juga pihak sekolah curiga banget dengan maraknya anak-anak cewek yang pake kerudung. Lebih gerah lagi ada guru yang ngasih komen ke temen-temen akhwat di acara Isra’ Mi’raj kemarin, kok pada pake baju kedombrongan sih. Ini kan bukan pesantren,” Jamil cemberut heran.
“Menurutku bukan tanpa sebab sih. Ini juga imbas dari pemberitaan media massa tentang aksi terorisme yang katanya dilakukan oleh mereka yang mengatasnamakan agama, khususnya Islam,” Koko ngasih pandangannya.
“Tapi masalahnya, kenapa kita-kita yang jadi korban? Padahal kita nggak menggunakan kekerasan,” Ogi berkilah.
“Hehehe… kamu jangan belaga bingung Gi, justru masalahnya apa yang selama ini kita tulis di mading, yang kita sampaikan di pengajian kelas, menurut mereka lebih berbahaya,” Jamil mengerdipkan mata.
“Bahaya? Bahaya gimana Mil?” Ogi masih memasang mimik muka serius.
“Kalem aja Gi, jangan serius mulu. Cepet tua!” Jamil ngeguyonin.
“Iya, lihat aja Koko. Meski semangatnya Peterpan, tapi wajahnya Meggy Z!” Jamil meneruskan sambil menjentikkan jari telunjuknya ke arah Koko. Koko mesem aja. Abisnya udah tahu gaya Jamil.
“Tapi kata orang, bermutu alias bermuka tua itu ada untungnya juga lho…” Koko mencoba ngeles.
“Ahhh.. nggak mungkin. Kalo naik bis kota aja diminta bayar full. Kita kan masih tiket pelajar. Lha, Koko dianggap udah bapak-bapak, jadi bayarnya 2 x ongkos pelajar!” Jamil cengengesan.
Ogi dan Koko juga ikutan tersenyum. Hujan mulai agak deras. Airnya sampai menciprat ke teras masjid. Ditingkahi dengan kilat segala. Memaksa Ogi, Jamil dan Koko masuk ke dalam masjid dengan kedua tangannya dilipat dan dirapatkan ke dada masing untuk menahan hawa dingin.
“Jadi gimana nih langkah kita? Apa kita harus demo lagi seperti dulu waktu menolak kenaikan SPP?” Ogi tetep serius.
“Kamu ini Gi, tumben-tumbenan seriusnya keterusan. Kalem aja lagi. Buru-buru itu nggak baik. Oke?” Jamil ngingetin.
“Iya Gi, kita ngak perlu demo kayak dulu deh. Soalnya dulu aja berakhir rusuh karena dikacaukan ulah beberapa teman kita yang nggak bisa ngendaliin nafsu sampai-sampai kamu diinterogasi Pak Mario,” Koko menasihati.
Ogi diam sejenak. Tapi kemudian mendadak tersenyum. Lalu berseru, “Aku dapat ide!”
Jamil dan Koko berpandangan. “Ide apa, Gi?” keduanya kontan bertanya.
“Kita buka dialog aja dengan kepala sekolah,” Ogi ngasih masukan.
“Bagus. Nggak ada salahnya kita coba. Tapi kapan?” Jamil menatap wajah Ogi.
“Kita harus tahu dulu jadwal kepala sekolah. Nah, pas beliau ada di sekolah, langsung aja kita minta ketemu. Tul nggak?” Koko ngasih saran yang diikuti kata sepakat oleh Ogi dan Jamil.
ooOoo
Di ruangan kepala sekolah.
Ogi dan Jamil duduk manis di ruangan yang sejuk dan harum. Di depan meja kepala sekolah tampak papan nama dan gelar pemilik meja tersebut yang sangat dikenalnya: Drs. Bustami. Koko nggak bisa ikut karena sakit. Bapak kepala sekolah sedang ke luar ruangan. Sebentar sih katanya. Ogi dan Jamil saling berbisik.
“Mil, kayaknya enak juga ya jadi kepala sekolah,” Ogi melirik Jamil.
“Tapi banyak nggak enaknya,” Jamil sambil nyengir.
“Kok bisa sih?” Ogi tersenyum heran.
“Lha, alasan kamu apa kalo jadi kepala sekolah tuh enak,” tanya Jamil sambil tetap berbisik.
“Enaknya, kalo ada tugas di luar kota bisa jalan-jalan tuh. Pulangnya bawa oleh-oleh buat keluarga. Di sini juga ruangannya adem, sejuk, dan harum,” Ogi mesem-mesem.
“Nggak enaknya nih jadi kepala sekolah, kalo ada siswa bermasalah, pasti dia ikutan pusing. Lebih-lebih kalo ketahuan sama pihak luar sekolah. Citranya jatuh dah. Terus…” belum sempat Jamil ngomong lagi, pintu ruangan terbuka dan bapak kepala sekolah mengucapkan salam.
“Lama nunggu ya. Maaf. Silakan masuk, Bu!” ujarnya sambil mempersilakan seorang ibu masuk ke ruangannya.
Ogi dan Jamil jadi kaget. Dalam hati mereka bertanya, “Apa maksudnya dengan menghadirkan orang lain di ruangan ini. Apakah bapak kepala sekolah kurang pede menghadapi kita-kita.” Ogi dan Jamil saling berpandangan geer.
“Gimana, apa yang bisa kita bicarakan pada pagi ini? Kalo bisa singkat ya. Karena saya akan ada urusan di luar,” Pak Bustami mengawali pembicaraan sambil sedikit ngancem.
“Oya, kenalkan, ini salah seorang wali murid kelas 1, Ibu Roswita,” Pak Bustami sambil menunjuk ke arah perempuan paruh baya berkerudung.
“Jangan kaget, ini sekalian untuk kroscek dengan Ogi dan Jamil dari rohis sekolah. Sengaja saya datangkan salah seorang wali murid karena ada anak kelas 1 yang prestasi belajarnya merosot setelah ikut kegiatan rohis,” lanjut Pak Bustami.
Ogi dan Jamil berpandangan heran.
“Nah, langsung aja ya, bapak ingin bertanya kepada kalian berdua, kegiatan apa saja sih selama ini yang dilakukan di masjid sekolah?”
“Pengajian Pak! Juga membuat mading untuk menampung kreativitas anak-anak rohis,” Jamil buka mulut.
“Pengajian model apa?” Pak Bustami bertanya lagi.
“Memperdalam pengetahuan keislaman, Pak” Ogi menambahkan.
“Tapi saya lihat, pemikiran kalian agak beda dengan keumuman pemahaman tentang Islam dari kami-kami,” Pak Bustami menatap tajam mata Jamil dan Ogi seolah ingin menguliti.
“Bapak bisa mencontohkannya?” Ogi nggak kalah taktik dengan balik bertanya.
“Saya melihat banyak anak-anak yang jadi fanatik. Misalnya wajib berjilbab bagi perempuan, mengharamkan pacaran, salaman dengan wanita tidak boleh, bahkan ketika praktik IPA ada siswa rohis yang menolak menggunakan alkohol dengan alasan haram,” Pak Bustami panjang lebar.
Jamil dan Ogi agak panas karena selalu masalah itu yang dipersoalkan. Tapi Ogi masih bisa menahan diri. Di tengah kebingungan dan dalam waktu yang singkat itu Ogi harus mengambil keputusan untuk menjawab. Dia bertekad dalam hati, “Kalo nggak sekarang, kapan lagi. Aku harus sampaikan kebenaran.”
“Ehm.. Sebelum saya menjawab, saya minta penjelasan dari bapak. Mengapa pihak sekolah tidak melarang mereka yang bergaul bebas laki-perempuan padahal sudah ada kasus hamil di luar nikah di sekolah ini? Mengapa mereka tidak dikeluarkan? Mengapa pihak sekolah tidak merazia siswi yang memakai rok di atas lutut padahal itu sudah mengundang syahwat? Sebagai laki-laki saya tergoda. Mungkin bapak juga. Mengapa pula pihak sekolah tidak mengakui prestasi anak rohis yang ikutan lomba cepat-tepat matematika dan juara?” papar Ogi dengan pelan namun dalem.
Pak Bustami diam. Tak berkata. Mukanya agak merah. Mungkin merasa kalah di ronde pertama. Telak pula. Kemudian ia bertanya kepada ibu Roswita yang duduk di samping kanannya, “Prestasi anak ibu merosot setelah ikut kegiatan rohis. Benar?”
“Sebenarnya saya senang Pak anak saya ikut kegiatan keagamaan. Karena memang saya tak sempat mengajarinya. Beruntung ada kegiatan di sekolah. Perubahan perilakunya juga tambah baik kepada keluarga. Tapi…” belum meneruskan kata-katanya, langsung dipotong Pak Bustami.
“Tapi prestasinya turun kan…?”
“Memang, tapi bukan karena ikutan ngaji. Anak saya terpaksa sering menunggu ayahnya yang dirawat di rumah sakit jadi jarang belajar. Konsentrasinya terbelah,” Ibu Roswita sejujurnya.
Pak Bustami diam. Diam sangat lama. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ibarat petinju mungkin sudah KO dengan pukulan di ronde kedua itu. Pertemuan itu berlangsung singkat. Seperti permintaannya.
“Maaf Pak…!” Ogi dan Jamil hampir bersamaan.
“Cukup. Silakan keluar dari ruangan ini. Tinggalkan saya di sini”.
Ogi, Jamil, dan Bu Roswita meninggalkan ruangan kepala sekolah. Ogi dan Jamil berjalan gontai ke arah masjid sekolah sambil menderaskan kalimat yang sudah sangat dihapalnya: “Dakwah harus terus berjalan. Kebenaran tak akan pernah padam. Kami, bunga-bunga dakwah siap memberikan segalanya untuk harumnya Islam dan umat ini.” [link asli artikel di sini]
[pernah dimuat di Majalah SOBAT Muda, edisi Desember 2005]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H