Mohon tunggu...
Oleh Solihin
Oleh Solihin Mohon Tunggu... profesional -

Menulis beberapa buku untuk remaja, di antaranya Jangan Jadi Bebek (2002); Jangan Nodai Cinta (2003); LOVING You Merit Yuk! (2005); Yes! I am MUSLIM (2007); Jomblo's Diary (2010) dan beberapa buku lainnya | Instruktur Menulis Kreatif di Rumah Gemilang Indonesia [www.rumahgemilang.com] dan Pesantren MEDIA [www.pesantrenmedia.com] | Sekadar berusaha memberikan sedikit pengalaman hidup melalui tulisan. Semoga bisa menjadi inspirasi bagi siapapun. Boleh juga kunjungi blog saya: http://osolihin.net. | website kepenulisan yang saya kelola: [www.menuliskreatif.com]

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bunga-bunga Dakwah

13 April 2010   04:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:49 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Hehehe… kamu jangan belaga bingung Gi, justru masalahnya apa yang selama ini kita tulis di mading, yang kita sampaikan di pengajian kelas, menurut mereka lebih berbahaya,” Jamil mengerdipkan mata.

“Bahaya? Bahaya gimana Mil?” Ogi masih memasang mimik muka serius.

“Kalem aja Gi, jangan serius mulu. Cepet tua!” Jamil ngeguyonin.

“Iya, lihat aja Koko. Meski semangatnya Peterpan, tapi wajahnya Meggy Z!” Jamil meneruskan sambil menjentikkan jari telunjuknya ke arah Koko. Koko mesem aja. Abisnya udah tahu gaya Jamil.

“Tapi kata orang, bermutu alias bermuka tua itu ada untungnya juga lho…” Koko mencoba ngeles.

“Ahhh.. nggak mungkin. Kalo naik bis kota aja diminta bayar full. Kita kan masih tiket pelajar. Lha, Koko dianggap udah bapak-bapak, jadi bayarnya 2 x ongkos pelajar!” Jamil cengengesan.

Ogi dan Koko juga ikutan tersenyum. Hujan mulai agak deras. Airnya sampai menciprat ke teras masjid. Ditingkahi dengan kilat segala. Memaksa Ogi, Jamil dan Koko masuk ke dalam masjid dengan kedua tangannya dilipat dan dirapatkan ke dada masing untuk menahan hawa dingin.


“Jadi gimana nih langkah kita? Apa kita harus demo lagi seperti dulu waktu menolak kenaikan SPP?” Ogi tetep serius.

“Kamu ini Gi, tumben-tumbenan seriusnya keterusan. Kalem aja lagi. Buru-buru itu nggak baik. Oke?” Jamil ngingetin.

“Iya Gi, kita ngak perlu demo kayak dulu deh. Soalnya dulu aja berakhir rusuh karena dikacaukan ulah beberapa teman kita yang nggak bisa ngendaliin nafsu sampai-sampai kamu diinterogasi Pak Mario,” Koko menasihati.

Ogi diam sejenak. Tapi kemudian mendadak tersenyum. Lalu berseru, “Aku dapat ide!”

Jamil dan Koko berpandangan. “Ide apa, Gi?” keduanya kontan bertanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun