Mohon tunggu...
Olivia Suhendra
Olivia Suhendra Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hadiah dari Nenek

6 Oktober 2024   23:16 Diperbarui: 7 Oktober 2024   02:36 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nama               : Olivia Suhendra

NIM                 : 2110723004

"Ardi kamu beberapa hari ini tinggal di rumah nenek dulu ya? Nanti kalau ibu udah dapat kerja di kota, ibu akan bawa kamu ke sana."

Ardi yang mendengar penuturan ibunya itu kesal dan mengabaikannya. Ia sibuk dengan mainan robotnya yang mahal dan canggih. Ardi anak yang sangat disayang oleh kedua orang tuanya bahkan apapun dan semahal apapun mainan dibelinya langsung dibelikan. 

Namun sayangnya, itu dulu. Tiga bulan yang lalu kedua orang tuanya bercerai karena ayahnya selama ini selingkuh dari ibunya dan memutuskan bercerai. Ayahnya pun mengusir Ardi dan ibunya dan memilih untuk bersama keluarga barunya.

Kehidupan Ardi yang dulunya mewah berubah drastis. Ardi kini tinggal di sebuah desa yang mana sangat jauh berbeda di kota. Rumah yang dulu mewah kini tak lagi Ardi rasakan. Ia menggerutu kesal pun tidak ada gunanya. Memaksa ibunya pindah juga percuma karena mereka belum punya uang dan tempat untuk ditinggali kecuali rumah nenek.

"Ardi kamu dengar ibu tidak?" Ibu bertanya lagi dengan senyuman tak lepas dari wajahnya.

Anak yang berusia tujuh tahun itu pun menoleh menatap ibunya kesal.

"Ibu yang tidak mendengarkan aku! Aku udah bilang, aku maunya ikut ibu! Aku tidak akan minta macam-macam, tidak minta mainan robot lagi tapi bawa aku bersama ibu! Aku tidak mau tinggal di gubuk tua ini! Tidak ada lampu saat malam hari, tidak ada kamar hiasan Antariksa, dan lagi di sini terlihat horror aku tidak suka!"

Ibunya tersenyum lalu mengelus kepala anaknya yang terlihat kesal.

"Ibu janji tidak akan lama perginya. Secepatnya ibu akan bawa Ardi ke kota lagi sama ibu."

Ardi menatap ibunya yang tersenyum lembut namun tersirat kesedihan di matanya. Ardi yang merasakan perasaan ibunya menganggukan kepalanya terpaksa. Ia akan bersabar tinggal di gubuk tua ini sampai ibunya menjemputnya.

Ibunya pun mencium kening Ardi dan mengambil tas yang ada di sampingnya. Ardi yang melihat ibunya bersiap untuk pergi hanya bisa menampilkan wajah sedihnya sedangkan nenek yang sedari tadi diam memperhatikan interaksi cucu dan anaknya itu tersenyum. Ibu menghampiri nenek dan berpamitan.

"Bu, aku titip Ardi ya? Secepatnya aku akan balik dan membawa Ardi."

"Tidak apa-apa, toh dia cucuku juga. Hati-hati di jalan." Ibu hanya mengangguk dan sekali lagi ia menghampiri Ardi dan memeluknya sebentar lalu keluar menuju mobil travel yang sudah menunggunya.

Ardi dan nenek keluar gubuk dan memandang kepergian ibunya. Setelah mobil itu meninggalkan perkarangan desa, Ardi memutuskan masuk duluan dan bermain kembali dengan mainannya. Nenek hanya tersenyum melihat cucunya tersebut. Ia tahu, cucunya tidak suka di sini apalagi dengan dirinya. Nenek ke dapur mulai memasak untuk makan malam mereka.

***

Senja mulai menyelimuti desa kecil itu, menyemburatkan warna keemasan di antara gubuk-gubuk sederhana. Di tengah kesunyian yang perlahan merayap, sebuah rumah gubuk berdinding bambu tampak terpencil, seakan menyatu dengan alam di sekitarnya. Ardi memandang neneknya yang menyiapkan makanan yang baru ia masak dari tungku dengan bosan.

"Ini mi Ardi udah nenek masak. Ayo dimakan!"

Ardi dengan malas melangkah menuju tempat makan dan melihat masakan buatan neneknya yang tak membuatnya selera kecuali mi instan yang ia bawa dari kota. Nenek duduk di samping Ardi sambil mengambil nasi dan lauk yang ia masak. Ardi menatap neneknya yang kini mulai lahap dengan makanan yang ia makan.

"Ardi mau coba makanan buatan nenek?" Tanya nenek tersenyum menatap Ardi.

"Tidak mau! Makanan nenek aneh, kampung! Makan sayur mentah, sambal dan ikan teri saja! Itu makanan aneh, seperti makanan kucing."

Nenek terkekeh menanggapi ucapan cucunya itu.

"Nek, kenapa nenek tidak memakai lampu aja seperti di rumah Ardi dulu? Gelap tahu nek, meskipun nenek pakai lampu minyak ini. Mana di sini banyak nyamuk." Keluh Ardi.

"Maaf yaa nak, nenek tidak punya uang untuk bayar listrik. Nanti kalau nenek punya uang nenek bakalan beli lampu supaya Ardi tidak kegelapan lagi."

Ardi hanya diam menanggapi ucapan neneknya dan memakan makanannya dalam keheningan.

Lima menit telah berlalu, nenek sudah selesai makan dan membersihkan piring kotornya begitu pun Ardhi. Nenek membawa Ardi ke kamar dan tidur di sebelahnya.

"Aku tidak mau tidur bersama nenek! Nenek bau sirih, aku nggak suka baunya. Nenek tidur di sebelah aja tapi tunggu Ardi tidur dulu baru nenek boleh pergi."

Nenek hanya mengangguk mengiyakan permintaan cucunya itu. Nenek menemani Ardi tidur sambil mengusap punggung Ardi. Dan tak lama, Ardi pun terlelap dari tidurnya. Nenek pergi ke kamar sebelah dan tidur.

***

Pagi harinya Ardi terbangun dari tidurnya. Ia bangun dari tempat tidurnya dan melihat di sekeliingnya sudah rapi dan bersih. Ia berjalan menuju dapur dan terlihat mi instan hangat dan sambal lalapan buatan neneknya sudah tersedia di meja makan.

Ardi bergegas mencuci muka dan menggosok giginya dan pergi ke meja makan menyantap sarapannya. Ardi memang meminta ibunya untuk menyediakan mi instan kesukaannya karena Ardi tidak menyukai makanan 'orang desa'. Padahal kota maupun desa sama saja rasanya namun memang dasarnya anak kecil yang belum terbiasa dengan lingkungannya.

Ardi menyantap makanan itu dengan nikmat dan setelah selesai makan, ia mencuci piring bekas makannya. Ardi diajarkan untuk bertanggung jawab apa yang ia lakukan. Meskipun ia anak yang keras kepala tetapi diam-diam dia akan memikirkan setiap nasehat-nasehat yang ibunya berikan. Setelah itu, ia mengambil mainannya dan bermain dengan imajinasi yang ia buat.

Beberapa menit kemudian seorang anak kecil seusianya datang ke rumah sambil menatap ia bermain. Ardi yang melihat anak itu pun tersenyum dan memperlihatkan mainannya kepada anak itu.

"Kamu punya robot seperti ini tidak" Katanya dengan pamer.

Anak itu menggelengkan kepalanya lesu.

"Yaiyalah! Di kampung ini mana ada mainan robot canggih sepertiku! Ini langka dan hanya ada di kota." Ardi tersenyum bangga memperlihatkan mainannya.

Anak itu hanya diam menatap Ardi yang asik dengan robot-robotnya. Ardi merasa kasihan mengajak bocah yang berdiri di depan pintu rumah neneknya untuk bermain.

"Masuk sini! Aku pinjamkan robot-robotku tapi jangan di rusak!"

Anak itu mengangguk menerima mainan robot Ardi dengan senang.

"Siapa nama kamu?"

"Jojo, kalau kamu?"

"Ardi. Tinggal di mana?"

"Di sebelah rumahmu ini."

"Tidak punya teman?"

"Ada, tapi mereka di ladang bapak. Kami biasanya bermain sambil membantu bapak kami bekerja di sana."

"Trus kenapa tidak main di sana?"

"Hari ini aku di rumah dulu menemani ibu dan adiku sampai siang nanti."

Ardi hanya mengangguk dan mereka mulai bermain.

Dua jam mereka bermain, Ardi mulai merasakan lapar kembali. Jojo yang asik bermain menghentikan kegiatannya dan menatap Ardi.

"Kamu lapar?"

"Tidak, kata siapa?"

"Kamu memegang perutmu."

"Bukan berarti aku lapar! Jangan sok tahu!"

Jojo terdiam dan menganggukkan kepalanya.

"Jojo, ayo pulang! Anterin bekal makan siang bapakmu."

Panggilan dari ibunya pun membuat jojo berdiri dan pamit kepada Ardi.

"Aku pulang dulu ya Ar, besok-besok aku boleh main ke sini lagi?"

"Boleh."

Jojo tersenyum dan kini ia pergi meninggalkan Ardi yang kini sendiri di rumah.

Ardi menunduk lesu dan memegang perutnya lapar. Ia beranjak dari tempat duduknya berjalan menuju dapur dan melihat makanan yang tidak mengunggah seleranya. Sambal dengan lalapan tak lupa ikan teri tersedia di sana. Ardi tak berselera dibuatnya. Ia kemudian mencoba keluar rumah berjalan-jalan sambil membawa satu mainan robotnya. Tak terasa ia sampai di sebuah Sungai dengan air yang sangat jernih. Ardi ingin sekali berenang ke sana tetapi ia tak punya teman untuk diajak. Ardi memutuskan untuk bermain di sungai dan duduk di batu besar tepi sungai membasahi kakinya.

Dari jauh, Ardi melihat segerombolan anak desa datang menuju ke sungai. Mereka menatap Ardi heran sedangkan Ardi tersenyum menemukan anak-anak seusianya.

"Halo, aku Ardi." Ardi memperkenalkan dirinya.

Mereka saling menatap dan seolah berbicara lewat mata mereka mengangguk memperkenalkan diri.

"Aku Aryo, sebelahku kananku Budi dan Rian sebelah kiriku Saman dan Aman."

"Aku boleh bergabung sama kalian?"

Mereka kembali bersitatap dan anak bernama Rian maju selangkah melihat Ardi seolah mengamati barang antik.

"Anak baru ya? Tinggal di mana?"

"Iya, aku tinggal bersama nenek di dekat sana." Ardi menunjuk rumah neneknya yang tidak jauh dari sungai.

"Ohh rumah nenek Suri." Sahut Aman.

"Kenapa kamu mau bergabung dengan kita? " Tanya Saman dengan nada sedikit tak suka.

"Husstt saman! Tidak boleh begitu." Tegur Budi.

"Karena aku bosan tidak ada teman bermain. Lagian nenek pergi entah ke mana jadi aku bosan."

"Nenek Suri kan jualan di pasar, kamu ini siapanya? Masa tinggal dengan nenek Suri tapi tidak tahu kalau nenek jualan nasi sambal di pasar." Tutur Saman.

Mendengar ucapan Saman sedikit membuat Ardi jengkel namun, ia butuh teman jadi ia hanya memendam kekesalannya.

Aryo yang melihat itu menegur Saman dan tersenyum merangkul Ardi.

"Saman tidak boleh begitu! Mungkin dia baru datang dan nenek lupa beritahu. Ya sudah, kamu boleh ikut kita main. Kebetulan kami mau berenang di sini, kamu bisa berenangkan?"

Ardi menganggukkan kepalanya dan tersenyum.

Mereka pun berenang bersama di sungai tak lupa Ardi menaruh mainannya di tepian. Hingga menjelang ashar.

Teman-teman barunya itu pun pamit kepada Ardi untuk pulang.

"Ar, kami pulang duluan ya!" Pamit Aryo

"Besok-besok kita main lagi." ucap Aman.

"Perlihatkan juga pada kami mainan caggihmu itu, Ar!" Timpal Rian.

"Aku kira kamu menjengkelkan tapi tidak juga. Besok kami balik lagi ke sini!" Ucap Saman tersenyum.

Ardi menganggukkan kepalanya dan mereka pun pergi ke rumah masing-masing.

Ardi kembali ke rumah gubuk tua itu dengan lesu dan pakaian yang basah. Sampainya di rumah, ia melihat neneknya yang sedang merapikan bekas tempat jualannya. Nenek menyambut Ardi tersenyum.

"Ardi habis dari mana?"

"Sungai."

"Sudah makan?"

"Belum. Nenek kenapa lambat sekali pulang?! Aku lapar! Nenek malah menyediakan nasi kucing!"

Nenek lagi-lagi tersenyum dan mengeluarkan semangkuk mi ayam yang ia beli di pasar. Ia mengambil piring dan menaruhnya di meja makan.

"Ardi mandi dulu ya? Ini di meja makan nenek taruh mi ayam, enak loh!"

Ardi dengan cepat berlari menuju meja makan dan melihat mi ayam yang terlihat mengunggah selera. Namun, memang anaknya gengsi ia melihatnya seolah tak suka.

"Cih, bentukannya jelek tidak enak!"

"Ya sudah, buat nene-"

"Nenek gimana sih? Katanya buat Ardi tapi nenek minta kembali. Nenek tidak ikhlas ya? Kalau tidak ikhlas kenapa di beli buat Ardi?" Tanya anak itu kesal.

Nenek tertawa kecil menanggapi cucunya.

"Nenek Ikhlas, tapi Ardi tidak mau jadi sayang kalau di buang. Dari pada mubazir mending nenek makan."

Ardi mendengus kesal.

"Nenek tidak akan makan kok mi ayamnya. Jadi, ini untuk Ardi. Ayok bersih-bersih dulu sebelum mi ayamnya dingin."

Ardi tak menghiraukan ucapan neneknya. Akan tetapi, ia tetap beranjak dari tempatnya dan pergi ke kamar mandi untuk bersih-bersih.  Setelah beberap menit ia keluar dari kamar mandi dan memakai bajunya di kamar. Ia kembali dan duduk di meja makan bersama nenek yang sudah menunggunya. Ia mulai memakan makananya dalam keheningan.

"Ardi tadi main bersama siapa?"

"Jojo."

"Tidak pergi ke ladangkah anak itu?"

"Mana Ardi tahu! Nenek tanyalah sama dia."

"Trus basah-basah tadi habis dari mana?"

"Sungai."

"Sama Jojo?"

"Tidak, sama Aryo, Budi, Rian dan Saman. Nenek jangan tanya-tanya, Ardi ndak nikmat makannya."

Nenek tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Nenek sedang ia bisa mengobrol dengan cucunya meskipun reaksi dia kesal. Namun, itu membuat nenek merasa rumahnya kembali hidup. Nenek mulai membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor. Tak lama Ardi selesai makan dan menunggu neneknya mencuci piring.

"Sini piring Ardi biar nenek cuci."

"Ardi bisa cuci sendiri." Jawab anak itu jutek.

Selesai cuci piring, nenek pun kembali membersihkan rumah dan membiarkan Ardi mencuci piringnya.

***

Pagi kembali tiba, seperti biasa nenek sudah berangkat ke pasar dan Ardi yang terbangun hanya menatap kekosongan yang ada. Ia berjalan menuju kamar mandi menggosok gigi dan membasuh wajahnya. Ia ke meja makan, sarapan mi instan seperti biasanya. Ia melihat persediaan mi instannya hanya tinggal satu, yang berarti untuk makan siang nanti. Anak itu kembali murung. Ia tidak suka memakan masakan neneknya kecuali mi instan. Ia berpikir, harus memakan apa nantinya.

Ia pun selesai makan dan membersihkan bekas makanannya. Ardi mengambil mainannya di keranjang dan bermain sendiri. Ardi merasa bosan. Ardi keluar dan melihat rumah sebelahnya kosong.

Lagi-lagi Ardi mendesah kecewa. Ia sangat kesepian. Ardi kembali ke rumah dan bermain sampai pukul menunjukkan jam dua belas siang. Ia tersenyum dan memasukan mainan yang ia keluarkan tadi ke keranjang. Ia keluar dan berjalan menuju sungai. Ardi menunggu teman barunya itu datang namun sudah hampir satu jam mereka tak kunjung datang. Ardi merara hari ini, adalah hari buruk baginya.

Ardi kembali ke rumah dan perutnya sudah sangat lapar. Ia berjalan ke meja makan dan lagi-lagi hanya sambal lalapan dan ikan teri. Ardi tidak menyukainya tapi perut dia sangat-sangat lapar dan sudah tidak tahan. Ardi memutuskan untuk mengambil piring dan menuangkan nasi serta sambal dengan sayur lalapan sedikit tak lupa ikan teri. Ardi memakannya dengan raut wajah tidak yakin namun saat makanan itu sampai ke dalam mulutnya, Ardi terkejut. Makanan kucing yang ia sebut ini, sangat enak. Ardi memakannya dengan lahap dan hanya butuh satu menit Ardi menyelesaikan makanannya. Ia membersihkan piring kotornya dan memikirkan bagaimana alasan supaya neneknya tidak tahu bahwasanya ia yang memakan sambal buatan nenek.

Ardi berjalan menuju kamarnya dan merebahkan dirinya di kasur kapuk. Tak berselang lama, Ardi pun tertidur.

***

Sore harinya, nenek datang dari pasar. Ia melihat pintu rumahnya sedikit terbuka dan memasuki rumahnya dengan badan yang letih. Nenek berjalan ke dapur membersihkan barang bekas jualannya. Tak lama Ardi terbangun dan ia mendengar kebisingan di dapur.

'Itu pasti nenek.' 

Ardi mengintip dan melihat neneknya menaruh piring di rak lalu berjalan menuju meja makan. Ardi menahan napasnya dan jantungnya berdebar kencang. Pikirannya melayang, ia harus memberikan alasan apa supaya ia tidak ketahuan memakan sambal diatas meja itu. Namun, ketakutan yang ia pikirkan itu hilang saat nenek menutup tudung itu tanpa marah ataupun mengumpat.

Nenek melihat cucunya yang mengintip itu pun tersenyum dan menaruh mi ayam yang telah ia sediakan dalam mangkuk.

"Ardi, ini mi ayam nenek belikan mi ayam buat Ardi."

Ardi berdehem dan menampilakn raut wajah kesalnya.

"Ardi sudah tidak minat! Nenek buang saja. Oh ya, makanan nenek tadi di makan kucing, jadi jangan salahkan Ardi!"

Nenek tertawa kecil dan menganggukkan kepalanya percaya uacapan cucunya.

"Pasti kucingnya besar."

"Entah..."

Nenek menggelengkan kepalanya melihat kelakuan cucunya yang sangat gengsi itu.

"Nek, besok Ardi mau ikut nenek ke pasar. Ardi bosan di sini."

Nenek terkejut mendengar penuturan cucunya itu. Pasalnya, Ardi tidak menyukai pasar dan bahkan ia pernah di bawa ke pasar bersama ibu dan ayahnya berakhir ia menangis dan tidak mau berbicara kepada kedua orang tuanya. Namun tak apa, nenek menjadi senang perlahan cucunya sedikit berubah dan menerima keadaan.

"Baiklah, besok nenek membawa Ardi ke pasar tapi jangan jauh-jauh dari nenek ya?"

Ardi hanya menjawab dengan anggukan pelan.

**

Ardi berjalan hati-hati karna jalan di pasar yang sedikit becek. Ardi menatap neneknya yang sama sekali tak merasa berat membawa barang jualannya yang lumayan banyak meskipun Ardi membantu dengan membawa barang jualan nenek.

"Makasi ya, Ardi. Sudah mau membantu nenek." Ucap neneknya tersenyum tulus.

"Ini nggak gratis tahu, nek! Aku mau dibelikan kue sama mi nanti!" Ujarnya ketus.

Nenek tertawa pelan melihat cucunya dan menganggukkan kepala menyetujui ucapan cucunya.

Tak lama, sampailah ia di tempat lokasi jualan nenek.

Ardi melihat sekeliling pasar yang sangat ramai dan sesuatu hal yang baru ia dapatkan di sini. Ia rasanya ingin berkeliling dan menjelajahi pasar.

"Nek, aku mau pergi sebentar."

"Mau ke mana? Nanti kamu hilang."

"Nggak jauh-jauh. Ardi pergi dulu, nek."

Anak itu pergi berkeliling menjelajahi pasar tanpa mendengar jawaban neneknya. Nenek hanya bisa menghembuskan napas pasrah.

Ardi berkeliling dan sampai tempat tujuan dia.

Toko Mainan Anak

Ardi menatap penuh binar dan menyentuh mainan yang ada di depannya.

"Ibuu, aku mau mainan robot ini!" Rengek seorang anak kecil berusia lima tahun.

Ardi menoleh dan menatap robot mainan ditunjuk anak itu.

Ardi melotot tak percaya. Itu adalah mainan yang dia incar sebelum ke tempat nenek.

"Pak, saya ambil mainan itu untuk anak saya." Ucap ibu anak tersebut.

"Baik, bu. Saya ambilkan kebetulan ini tinggal satu dan banyak sekali diminati anak-anak."

Ardi berlari dan merentangkan kedua tangannya ketika penjual memberikan mainan itu kepada ibu-ibu itu.

"Nggak boleh, pak! Saya mau mainan itu! nanti saya bilang sama nenek saya untuk beli mainan itu, pak!" Ucap Ardi.

"Bocah ini! Tidak bisa, pergi kamu dari sini!" Ucap penjual itu mendorong Ardi pelan.

Penjual itu pun memberikan mainan itu pada akhirnya ke ibu-ibu pembeli tersebut.

Ardi mengeram kesal dan berlari menuju ke rumah neneknya. Ia pernah melihat nenek menyimpan duit di dompet yang di simpan.

Ardi membongkar lemari dan ia menemukan dompet yang ia cari. Ardi mengambil dompet tersebut dan membuka isinya. Dompet itu berisi uang berwarna merah yang digulung serta kalung emas. Dengan perasaan membuncah, Ardi mengambil dan berlari menuju pasar untuk membeli mainan tersebut.

"Pak, saya sudah punya banyak uang dan mana mainan tadi? Saya beli dengan semua uang dan isi dompet ini."

Penjual itu menghela napas dan menepuk pundak Ardi.

"Mainannya sudah habis terjual. Kamu tahu? Meskipun kamu membeli dengan uang sebanyak ini saya yakin, ini bukan uang kamu. Tidak baik mencuri dan jika mau 'sesuatu' setidaknya berusaha dengan usahamu sendiri bukan mencuri punya orang lain. Kembalikan dompet ini pada orang tuamu. Jika kamu ke sini dengan membawa uang tak masuk akal saya akan mengusir kamu, mengerti adik?"

Ardi terdiam dan kembali ke tempat neneknya yang masih berjualan. Ia menatap neneknya yang kelelahan dan berkeringat. Perasaannya kembali tak karuan dan dengan mata berkaca-kaca ia menghampiri neneknya.

Ardi menatap neneknya dengan mata berkaca-kaca. Ia menahan air matanya, merasa menyesal. Dengan suara gemetar, ia berkata, "Maafkan Ardi, Nek. Ardi nggak akan ngulangin lagi."

Nenek menatap cucunya dengan lembut dan tersenyum. "Nenek sudah tahu, Ardi anak baik. Nenek nggak marah, kok. Yang penting kamu belajar dari kesalahanmu."

Ardi mengangguk. Ia merasa beban di hatinya sedikit berkurang, meski gengsinya masih menghalangi untuk lebih terbuka. Hari-hari berlalu, Ardi dan neneknya semakin dekat. Setiap sore, mereka bersama, bercanda dan berbagi cerita. Gengsi Ardi perlahan menghilang, meski terkadang ia masih malu untuk menunjukkan perasaannya.

Sebulan berlalu dengan cepat. Saat itu, ibunya datang untuk menjemput Ardi pulang. Di tengah kesibukan mengemasi barang-barang, nenek memasukkan beberapa bungkus makanan ke dalam tas ibunya.

"Ini untuk kamu, Nak. Nenek sudah nggak muda lagi, tapi semoga masih bisa membuat masakan yang kamu suka," ujar nenek sambil tersenyum lembut.

Ardi diam. Ia menyalami nenek tanpa berkata apa-apa, namun saat hendak melangkah keluar, sesuatu yang tak terduga terjadi. Nenek tiba-tiba memeluk Ardi erat-erat.

"Nek..." Ardi berbisik pelan. Tubuhnya kaku, namun akhirnya gengsinya runtuh. Ia menangis tersedu-sedu di pelukan nenek.

"Ibu, bawa Nenek sama kita ya?" pinta Ardi, penuh harap, sambil menghapus air mata yang terus mengalir.

Ibunya menghela napas berat. "Rumah yang Ibu punya kecil, Di. Hanya satu petak, nggak cukup buat Nenek. Tapi Ibu janji, kalau nanti Ibu bisa sewa tempat yang lebih besar, Ibu akan bawa Nenek."

Ardi hanya mengangguk, meski hatinya terasa berat untuk meninggalkan nenek. Ia tak tahu bahwa itu adalah terakhir kalinya ia akan melihat nenek dalam keadaan sehat.

Tiga bulan kemudian, kabar buruk datang. Nenek meninggal pagi hari, tergelincir di kamar mandi. Saat mendengar kabar itu, Ardi merasa dunianya runtuh. Ia menangis sejadi-jadinya, merasakan penyesalan yang mendalam karena tak bisa berada di sana saat nenek pergi.

"Ardi, ini mainan yang nenek belikan untukmu. Katanya, ia ingin memberikannya padamu sebagai hadiah. Nenek membeli kepada ibu-ibu yang membeli mainan kamu di pasar dan nenek juga tahu karna penjual itu temannya nenek. Nenek bahkan rela mengeluarkan sedikit banyak supaya Ardi bisa mendapatkan robot yang Ardi inginkan."

Dan lagi, Ardi kembali menangis tersedu-sedu sambil memeluk mainan pemberian neneknya.

Setelah pemakaman, Ardi kembali ke rumah nenek. Di dapur, ia menemukan beberapa masakan nenek yang tersisa, termasuk sambal yang selalu dibuat nenek untuk dijual. Ardi mengambil piring, duduk di meja makan, dan menyantap masakan itu dengan air mata yang terus mengalir.

"Ini masakan terakhir nenek," gumamnya lirih.

Ardi meminta ibunya untuk menyisihkan sedikit sambal buatan nenek sebagai kenangan. Sambal itu menjadi satu-satunya peninggalan nenek yang bisa terus ia jaga, sebagai pengingat akan kasih sayang yang tak pernah padam.

Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun