Iwan sedang menunggu bus Damri jurusan Dipati Ukur-Jatinangor dan sebaliknya. Jum'at malam itu dia berencana bermain ke kampus Unpad Dipati Ukur. Biasa. Anak muda, mahasiswa pula. Ketika sedang tak ada tugas akademik yang harus diselesaikan mereka biasanya menghabiskan waktu liburnya dengan berbagai cara. Ada yang bermain game konsol PES dari pagi hingga pagi lagi dengan sistem gugur atau liga di laptop salah satu temannya, ada yang pergi hiking ke gunung dekat kampus bila kampusnya di Jatinangor seperti ke Gunung Manglayang atau Gunung Geulis.Â
Ada yang mengambil pekerjaan paruh waktu khususnya ketika waktu libur akhir pekan, ada yang membereskan kamar kosannya yang berantakan seperti kapal pecah sehari-harinya, ada yang menjadi peserta seminar nasional di kampus walau hanya untuk mendapatkan sertifikat semata dan meng-upload foto dirinya di akun media sosialnya dengan berbagai macam pose atau ber-selfieria dengan kawan-kawannya atau dengan pembicara di seminar nasional itu. Walau tanpa secuil pun sesuatu manfaat yang didapatkannya dari acara seminar nasional itu. Yang penting bisa eksis dulu saja di media sosial.Â
Ada yang menghabiskan waktu liburnya untuk mengaji bersama teman-temannya di masjid kampus. Biasanya kelompok ini menonjolkan sisi keagamaan yang sangat kental. Dengan panggilan khasnya 'akhi, 'ukhti', 'ikhwan', 'akhwat', dan berbagai macam kata dalam bahasa Arab lainnya. Benar-benar calon penghuni surga. Ada yang mengisi waktu liburnya untuk mengadakan rapat organisasi setelah dihari-hari biasa fokus dengan tugas akademiknya.Â
Ada pula yang mengisi waktu liburnya dengan berhibernasi alias tidur dari pagi sampai malam. Bahkan ada yang sampai pagi lagi. Seperti orang yang sedang bertapa. Bedanya, dia tertidur pulas. Sedangkan orang yang bertapa meskipun menutup kedua matanya ia tetap dalam keadaan sadar. Memusatkan konsentrasi pada sesuatu yang ingin dicapainya. Entah apa itu. Dari kesemuanya itu, Iwan pernah melakoninya. Namun, waktu liburan kali ini Iwan habiskan dengan menonton pertunjukan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa di kampusnya. Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang membawa semangat nilai kebudayaan ditengah zaman yang tak mengenal lagi batas-batas geografis, politis, maupun sosial budaya ini. Ya, pertunjukan budaya Minangkabau.
"Waduh, sudah jam 4 sore lebih. Aku harus segera bergegas. Bisa-bisa nanti aku tidak kebagian bus Damri. Celaka. Aku sudah beli tiket ingin menonton pertunjukan yang digelar Uda dan kawan-kawannya", kata Iwan dalam hatinya. Dia segera membereskan segala sesuatunya di kamar kos-nya. Dia masukan buku, laptop, tempat alat tulis ke tasnya. Selang beberapa menit kemudian ia berpamitan pada ibu kosan. Memberitahunya bahwa dia akan pergi ke Bandung dan menginap barang semalam di kosan temannya, lebih tepatnya sahabatnya, Rizal. Seorang Arab Pekojan, keturunan Arab yang tak bisa lagi berbahasa Arab.
"Bu, Iwan angkat heulanya. Bade ka Bandung. Mondok sawengi di rerencangan. Kumargi aya acara di Dipati Ukur".
"Muhun mangga A, kade ati-ati", jawab ibu kos spontan.
"Mangga Bu, Assalamu'alaikum Warahmatullah".
"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh".
Iwan langsung saja berjalan ke arah Caringin dari kosannya di daerah Sayang. Dia agak mempercepat jalannya karena ketika melihat jam tangannya waktu telah menunjukan pukul 16.20 WIB. Bus Damri terakhir yang berangkat ke Dipati Ukur adalah pukul 17.00 WIB. Sekitar 40 menit lagi. Namun dia tak mau ambil risiko. Iwan akan segera naik bus Damri sebelum armada yang terakhir berangkat.Â
Setelah 10 menit berjalan kaki menuju gapura Desa Caringin, akhirnya dia sampai. Jam tangannya menunjukan pukul 16.35 WIB. Iwan berdiri di samping pangkalan ojek Caringin menunggu kendaraan yang akan ditumpanginya lewat. Selang 5 menit kemudian bus Damri jurusan Jatinangor-Dipati Ukur terlihat dari kejauhan. Iwan segera melambaikan jari telunjuk tangan kanannya. Bus Damri berhenti tepat di depannya. Setelah pintu otomatis terbuka, dia pun masuk. Iwan tidak kebagian tempat duduk karena kursi Damri telah penuh oleh penumpang lainnya. Mau tidak mau dia pun berdiri dengan tangan berpegang pada pegangan tangan. Perjalanan Iwan dari Jatinangor menuju Dipati Ukur dimulai.
"Ongkosnya A", kata kernet bus Damri pada Iwan.
"Ini pak, Rp. 8000,00 ya ?" jawab Iwan sambil bertanya.
"Iya A".
"Oke pak, hatur nuhun".
"Sami-sami".
Di dalam Damri yang membawanya dari Jatinangor menuju Dipati Ukur itu Iwan memerhatikan keadaan sekelilingnya. Maklum, karena dia berdiri. Iwan menyoroti berbagai tingkah penumpang bus Damri lainnya tanpa mereka sadari. Ada yang duduk dan khusyuk memainkan gawainya, ada yang membaca buku berjudul Musyawarah Buku karya Khaled Abou El-Fadl. Iwan familiar dengan buku itu. Karena dia pun sedang berusaha untuk mengkhatamkannya.Â
Di buku tersebut Iwan teringat tentang keberadaan buku-buku yang selama ini telah membersamai jalannya peradaban manusia. Buku-buku menjadi medium perantara antara pembaca buku dan penulis buku tersebut. Buku bukan hanya merupakan tumpukan lembaran kertas yang diatasnya tercantum kumpulan kata sarat makna, lebih dari itu, buku merupakan harta ilmu pengetahuan dari masanya sekaligus sarana dialog psikologis dari penulisnya terhadap siapa saja yang membaca buku itu.
"Aku kagum pada Khaled. Dia sering menggelar 'musyawarah' dengan buku-buku koleksi pribadi di perpustakaannya. Malamnya begitu hidup. Seakan peradaban Islam yang dibicarakan buku-buku koleksinya hadir kembali menemani malam-malamnya", Iwan berbicara dalam hatinya.
Di bagian lain tempat duduk di bus Damri itu, Iwan pun memerhatikan seorang laki-laki yang asik dengan cemilan di tangannya. Perawakannya besar. Namun memiliki tinggi badan yang pendek. Jadi seperti kita melihat badut yang berperut buncit. Dengan tidak terlalu memerhatikan penumpang di sampingnya yang merupakan seorang ibu hamil, laki-laki itu memasukan cemilan berupa keripik singkong asin itu secara lahap ke mulutnya. Benar-benar suatu kontradiksi perut buncit. Yang satu buncit karena alami, hamil, yang satu buncit karena kelebihan konsumsi.
Iwan pun tak luput memerhatikan tiga orang laki-laki yang menurut prediksinya merupakan mahasiswa juga sama seperti dirinya yang berdiri di samping kirinya. Di bagian tengah dari formasi kursi duduk bus Damri memang terdapat ruang yang agak lebar. Memisahkan formasi kursi di bagian depan dan formasi kursi di bagian belakang. Sekaligus juga bagian tengah Damri itu tempat terdapatnya pintu masuk geser selain pintu masuk otomatis di bagian depan.Â
Di bagian kanan dan kiri di ruang tengah dari formasi kursi duduk bus Damri itu terdapat tulisan "Jangan menginjak lantai ini", tepat di depan pintu masuk geser itu. Iwan yang sedari tadi membaca dan merenungkan tulisan itu dengan serta belum mengetahui apa maksud sebenarnya dari larangan yang terdapat dalam tulisan itu, memerhatikan dengan keheranan ketiga orang laki-laki yang sama berdiri sepertinya di sebelah kiri dirinya dengan menjejakan kaki di bagian lantai yang terdapat tulisan larangan tersebut.
"Aku heran sekali dengan orang-orang di Indonesia. Perasaan, setiap ada papan larangan maupun anjuran di suatu tempat, dan sudah jelas larangannya, dan aku yakin mereka bisa membacanya, mereka tidak buta huruf, selalu dilanggar. Mulai dari larangan parkir di suatu tempat, namun di sekitaran papan larangan itu, banyak sekali mobil maupun motor yang parkir. Lalu papan anjuran untuk membuang sampah pada tempatnya, namun di sekitaran bak sampah atau tempat sampah itu selalu saja ada sampah yang dibuang secara sadar oleh orang yang berjalan di sekitar tempat sampah yang dimaksud. Tanpa kompromi. Tidak ke tempat sampah yang dimaksud papan anjuran itu. Yang paling membuat aku jengkel adalah larangan untuk tidak merokok di suatu tempat keramaian.Â
Larangan ini yang kualami sering sekali dilanggar. Apakah para perokok itu sangat tolol hingga tidak dapat membaca larangan itu ? Atau mereka hanya sekedar membaca, dan membaca saja. Tidak mengerti maksud dan tujuan dari tulisan itu ! Tidak memaknainya. Seakan-akan kupikir mereka hanya menganggap tulisan peringatan dan anjuran itu sekedar tulisan-tulisan yang asal ditempel saja sebagai hiasan suatu tempat.Â
Benar-benar degil sikap mereka kalau seperti itu. Sepertinya mereka pun termakan oleh anjuran 'Budayakan Membaca'. Ya, secara fisik mata mereka sudah mampu membaca tulisan-tulisan itu. Namun, secara maknawi aku rasa mereka belum memaknainya. Ya, membaca. Sekedar membaca !". Iwan merenungkan dan menggerutu dalam hatinya. Sambil sesekali menatap ke lantai yang dijejaki oleh kaki ketiga laki-laki di sebelah kirinya tersebut.
Bus Damri akan segera keluar tol. Tepatnya memasuki kawasan Jalan Moh. Toha. Sebagian dari penumpang Damri bersiap akan turun. Iwan memerhatikan sekelilingnya. Penumpang di formasi kursi bagian depan nampaknya tidak akan ada yang turun. Sedangkan ketika sesekali melirik ke arah formasi kursi bagian belakang, dia melihat beberapa orang telah meninggalkan kursinya dan berdiri. Bersiap untuk turun.Â
Ketika bus Damri memasuki kawasan Jalan Moh. Toha, para penumpang itu pun turun. Ketika Iwan akan duduk, dia tidak jadi. Karena membaca tulisan anjuran di dalam bus Damri tersebut untuk mendahulukan ibu hamil, lansia, orang cacat, dan perempuan. Karena dia melihat ada seorang kakek yang sedari tadi berdiri, maka dia pun tidak jadi untuk duduk di kursi bus Damri yang telah kosong. Dia lebih memilih terus berdiri. Tak lama berselang, dua orang pengamen masuk ke bus Damri yang ditumpangi Iwan. Mereka berdiri tepat di depan Iwan, di sebelah kanan. Mereka bersiap melantunkan tembang ketika seorang diantara mereka berkata:
"Assalamu'alaikum warahmatulahi wabarakatuh. Punten ngawagel waktosna sakedap bapak-bapak, ibu-ibu, akang-akang, teteh-teteh semua, kami disini hanya untuk mencari sesuap nasi, daripada kami nyopet, daripada kami mengemis, lebih baik kami melantunkan berbagai tembang yang akan menghibur penumpang semua. Ya, tanpa berpanjang lebar, selamat menikmati".
Hoobastank-The Reason
 I'm not a perfect person
There's many things i wish i didn't do
But i continue learning
I never meant to do those things to you
And so, i have to say before i go
Â
Reff:
That i just want you to know
I've found a reason for me
To change who i used to be
A reason to start over new
And The Reason is you
Â
I'm sorry that i hurt you
It's something i must live with everyday
And all the pain i put you through
I wish that i could take it all away
And be the one who catches all your tears
Â
Reff(2):
That's why i need you to hear
I've found a reason for me
To change who i used to be
A reason to start over new
And The Reason is you 4x
Â
I'm not a perfect person
I never meant to do those things to you
And so i have to say before i go.....
Â
Reff(3):
That i just want you to know
I've found a reason for me
To change who i used to be
A reason to start over new
And The Reason is you
I've found a Reason to show
A side of me you didn't know
A Reason for all that i do
And The Reason is you
Iwan sangat menikmati sekali lagu yang dibawakan oleh dua orang pengamen tersebut. Satu pengamen memetik gitar sedang kawannya yang satu lagi menggesek biola dengan mantapnya, mereka berdua nampak menjiwai lagu yang mereka bawakan tersebut. Sangat merdu dan seakan-akan merubah suasana di dalam bus Damri yang terjebak macet di kawasan Jalan Moh. Toha itu, melankolik.Â
Pengamen. Ya, pengamen. Kelompok musisi jalanan ini sering Iwan jumpai ketika dia bepergian menggunakan bus. Baik ke Bandung seperti sekarang maupun saat akan pulang ke kampung halamannya. Pekerjaan mereka sangat sederhana berbekal keterampilan bermain beberapa jenis alat musik terutama gitar yang mudah dibawa kemana-mana. Iwan sendiri tak terlalu mahir bermain alat musik yang cara memainkannya dipetik tersebut. Sederhana namun seringkali bermakna. Ketika Iwan membayangkan tentang beberapa pengamen yang pernah dijumpainya di dalam bus, satu dari dua orang pengamen di dalam Bus Damri itu menyodorkan tangannya yang menggenggam kantong bekas permen pada Iwan.
"Sumbangannya A ?",
"O iya ini",
"Hatur nuhun A",
"Sami-sami".
Iwan memberikan uang receh yang dimilikinya. Rp.1000,00 dalam bentuk koin dia masukan ke dalam kantong bekas permen tersebut. Memang tak seberapa kalau dipiki-pikir. Tapi bagi mereka, yang bergelut mencari sesuap nasi di jalanan seperti para pengamen ini jumlah uang berapapun sangat berharga. Kerasnya persaingan hidup, terbatasnya kesempatan, mahalnya pendidikan, merupakan sedikit penyebab yang membuat mereka belum bisa mendapatkan hidup yang layak. Terkadang, lagu-lagu yang dibawakan mereka pun sangat menyindir pemerintah. Mulai dari kasus korupsi pejabat, pertentangan berbagai partai politik, kenaikan BBM, hingga mahalnya sembako, merupakan sedikit kasus negara yang mereka soroti.
"Toha, Toha, habis". Kernet bus Damri memberitahukan kepada para penumpang bahwa sebentar lagi bus Damri akan melewati Jalan Moh. Toha. Setelah itu, kedua pengamen tadi pun turun dari Bus Damri dan mengucapkan terima kasih pada supir dan kernet bus Damri.
"Hatur nuhun, pak !".
"Sami-sami", timpal kernet bus Damri. Supir Damri tidak menimpali, fokus menyetir.
Iwan melihat jam tangannya. Jam menunjukan pukul 18.20 WIB. Perjalanan menuju tujuan, Dipati Ukur kira-kira 15-20 menit lagi. Bus Damri telat tiba karena kemacetan di kawasan Jalan Moh. Toha tadi. Iwan masih berdiri karena belum kebagian tempat duduk. Setelah bus sampai di perempatan kawasan lampu lalu lintas Buah Batu, baru Iwan bisa duduk karena sebagian penumpang bus Damri ada yang turun. Iwan duduk di kursi bagian belakang Bus Damri.
Setelah duduk, Iwan segera mengambil gawai di sakunya, dia menghubungi salah satu kawannya yang menjadi panitia dalam acara tersebut. Kawannya memberitahukan bahwa pertunjukan akan digelar mulai pukul 19.30 WIB. Masih ada waktu sekitar 60 menit lagi untuk sampai ke Graha Sanusi Harjadinata (Granus) tempat pagelaran budaya Minangkabau itu dihelat. Tepat pukul 18.50 WIB sesuai perkiraan Iwan, Damri tiba di pemberhentian terakhir, Dipati Ukur. Setelah turun dari bus Damri, Iwan segera saja menuju masjid di kampus Unpad Dipati Ukur untuk menunaikan ibadah salat Maghrib. Selesai salat Maghrib, dia pun langsung menunggu adzan Isya berkumandang. Selang 10 menit setelah dia selesai salat Maghrib, adzan Isya berkumandang. Dia pun lekas berdiri dan mengisi barisan jama'ah yang akan menunaikan salat Isya berjama'ah.
"Assalamu'alaikum warahmatullah (kanan). Assalamu'alaikum warahmatullah (kiri)".
Imam salat telah mengucapkan salam, tanda berakhirnya ibadah salat Isya malam itu. Setelah dzikir selesai, Iwan meninggalkan barisan jama'ah dan bergegas menuju Granus. Jam tangannya menunjukan tepat pukul 19.30 WIB. Waktu pertunjukan dimulai. Namun, ketika Iwan tiba di tempat registrasi, dia masih melihat antrian panjang dari penonton yang akan menukarkan tiket.
"Kebiasaan orang Indonesia lagi. Jam ngaret. Selalu seperti itu. Biasa-biasa, lama-lama jadi kebiasaan". Iwan kembali menggerutu dalam hatinya.
"Silakan Uda, mau menukarkan tiket ? Boleh dilihat tiketnya ?", panitia penukaran tiket bertanya pada Iwan.
"Iya Uni. Ini tiket saya. Tempat duduk bronze", jawab Iwan.
Setelah memeriksa tiket Iwan, dan merobeknya di bagian samping, panitia penukaran tiket memberikan kembali tiket kepada Iwan. Sembari memberikan soft-drink dan buku saku sinopsis dari pertunjukan yang akan digelar.
"Ini Uda, tempat duduk bronze mulai dari bagian tengah ke belakang ya", ujar panitia.
"Iya Uni, terima kasih", jawab Iwan.
"Sama-sama Uda", jawab panitia tersebut.
Setelah menerima tiket yang telah ditandai serta soft-drink dan buku saku sinopsis, Iwan langsung menuju pintu masuk Granus. Di pintu masuk Iwan mengalami pemeriksaan keamanan oleh dua orang satpam yang bertugas disana. Setelah kedua satpam itu memeriksa segala barang bawaan yang ada di tas Iwan dan tidak menemukan barang mencurigakan apapun, mereka mengizinkan Iwan untuk masuk ke dalam.
Iwan menempati tempat duduk bronze selaras dengan tiket yang dia beli dari Uda Robi, kawannya yang menjadi ketua panitia acara ini. Setelah duduk dan menyimpan tasnya di samping kiri kursi tempatnya duduk, dia mulai membaca-baca buku saku sinopsis pertunjukan drama tersebut.
"Pagelaran Palito nan Takalam, 30 Tahun Berkarya: Inspirasi Budaya Untuk Indonesia"
Konten Acara:
Galombang Pasambahan
Randai
Tari Payung
Tari Alang Babega
Tari Rantak
Tari Piring
Musik pengiring
-Minangkabau
-Tatumpang Biduak Tirih
-Talago Biru
-Kamari Bedo
-Kelok 44
-Oi Risaulah
-Kasiah Tak Sampai
-Selamanya Indonesia
Musik Ansambel
Sinopsis Drama
Palito nan Takalam berkisah tentang perjuangan seorang pemuda untuk membebaskan Indonesia. 'Sebebasnya' dari belenggu penjajahan. Sosok ini sedari muda telah memiliki semangat juang yang tinggi terhadap pendidikan. Keberaniannya yang lantang menyuarakan kemerdekaan lantas menjadikannya buron dan incaran bagi Pemerintah Belanda. Ibrahim yang cerdik dan tak hilang akal, terus belajar, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain bahkan menyamar untuk menghindar dari petugas koloni. Namun sayang, pengkhianatan harus membawa semangat tadi terkurung di balik jeruji besi. Namun bukan Ibrahim namanya jika idenya terkungkung bersama tubuhnya.
Sekilas membaca buku saku sinopsis dari pagelaran budaya Minangkabau pada malam itu, Iwan langsung memusatkan perhatiannya pada pertunjukan yang akan dimulai. Berbagai sambutan sambung-menyambung mengisi awal acara pertunjukan malam itu. Sambutan terakhir dari pejabat pemerintah provinsi Sumatera Barat yang diundang oleh panitia menandai dibukanya acara pagelaran budaya itu.Â
Tarian pembukaan Galombang Pasambahandimulai. Berlanjut dengan pertunjukan Randai. Sambung-menyambung berbagai tarian dan nyanyian dipersembahkan kepada ratusan hadirin yang hadir pada malam itu di Granus. Selain tentunya drama tentang Ibrahim yang menjadi pertunjukan utama yang diusung. Pada hal pengusungan tema utama drama ini, Uda Robi sempat berbincang dengan Iwan beberapa hari sebelum perhelatan malam itu digelar.
"Uda, kenapa mengusung tema drama tentang Ibrahim ?", tanya Iwan.
"Jadi seperti ini Wan. Pertama, Ibrahim merupakan putra asli Minang yang perannya tidak kecil dalam perjuangan bangsa Indonesia ini. Kedua, panitia terinspirasi mengangkat tema tentang Ibrahim karena beberapa waktu yang lalu di Bandung sempat terjadi pelarangan, bahkan pembatalan oleh salah satu ormas keagamaan sebuah acara monolog yang mengangkat tema tentang Ibrahim. Nah, ini aneh. Padahal itu sebuah pertunjukan drama. Mengapa harus dibubarkan segala oleh ormas itu ? Padahal aku kira mereka tidak sedang merencanakan suatu makar, panita acara monolog itu. Ketiga, aku dan kawan-kawan panitia ingin agar kita generasi muda bangsa ini tak sekonyong-konyong melupakan sejarah bangsanya. Sejarah bangsa kita ini penuh dilumuri dengan darah, dibanjiri keringat, dan air mata perjuangan. Sudah sepatutnya, kita, orang-orang yang hidup di masa kemudian ini, mengambil pelajaran secara bijak dari apa yang telah terjadi di masa lampau. Bukan malah menghakiminya secara sepihak dengan nilai-nilai yang berlaku sekarang ini", jawab Uda Robi panjang lebar.
"Waah mantap Uda. Aku setuju sekali dengan apa yang disampaikan Uda. Terkadang, orang-orang Indonesia itu ahistoris. Melihat suatu permasalahan hanya dari masanya saja, tidak menarik ke masa sebelumnya. Padahal, masalah-masalah yang terjadi sekarang ini merupakan akumulasi dari masalah-masalah yang terjadi di masa sebelumnya. Aku jadi teringat seorang filsuf Spanyol yang pernah berkata bahwa ketika seseorang tidak pernah belajar dari sejarah, maka dia dikutuk untuk mengulangi (kembali) apa yang pernah terjadi di masa lampau yang tidak dia pelajari tersebut".
"Hehehe, betul Wan. Jangan lupa datang ya !".
"Sip, Uda".
Iwan secara sadar telah mengetahui mengapa perhelatan drama yang menjadi pertunjukan utama dalam pagelaran budaya Minangkabau ini tidak menggunakan nama 'Tan Malaka' sebagai pemeran utama. Malah menggunakan nama asli dari Tan Malaka yakni Ibrahim. Panitia berusaha menyiasati agar drama ini bisa berjalan lancar. Maklum, seperti yang dikatakan Uda Robi pada Iwan beberapa hari sebelum pagelaran budaya Minangkabau ini digelar, beberapa waktu sebelumnya di Bandung sempat terjadi pelarangan, bahkan pembatalan sebuah pertunjukan monolog yang sedianya akan digelar di IFI Bandung.Â
Dalam monolog yang sedianya akan digelar tersebut, panitia mengangkat tema tentang Tan Malaka, tokoh republik asal ranah Minang yang berhaluan perjuangan kiri namun sangat taat beribadah tersebut. Â Bahkan Tan Malaka diberi gelar datuk ketika dia berumur 15 tahun. Sebuah gelar kehormatan dalam adat-istiadat Minang. Judul monolog itu sendiri adalah "Tan Malaka, Saya Rusa Berbulu Merah". Namun, tepat satu hari sebelum pertunjukan digelar, datang segerombolan orang-orang dari suatu ormas keagamaan yang meminta panitia membatalkan perhelatan monolog tersebut. Alasan mereka ialah bahwa Tan Malaka itu adalah seorang komunis. Komunis sama dengan atheis, tidak memercayai adanya Tuhan, apalagi beragama.
"Hmmp.. Aku rasa sebagian besar masyarakat Indonesia itu ahistoris. Jarang membaca buku-buku sejarah. Kalaupun membaca buku sejarah, itu hampir pasti versi pemerintah yang diajarkan mulai dari bangku sekolah dasar hingga menengah atas. Indoktrinasi sejarah satu arah. Syukur-syukur bila mereka mau memperbandingkannya dengan versi yang lain. Kalau tidak ya jadinya mungkin seperti itu. Bertindak gegabah dan semaunya seakan-akan dia yang memiliki kebenaran sejarah yang tunggal. Seperti ormas tempo hari itu. Padahal kalau mau menelusuri siapa itu sebenarnya Tan Malaka, aku yakin mereka akan lebih sopan bersikap. Tan Malaka yang pertama kali menuangkan ide tentang bentuk Hindia-Belanda akan sepeti apa setelah nanti merdeka dalam bukunya Naar de Republiek (Menuju Republik) yang terbit tahun 1925. "
"Ketika yang lain dalam Sumpah Pemuda 1928 masih memikirkan tentang persatuan, Tan sudah jauh membayangkan lebih dari tentang persatuan itu. Dia orang yang tidak setuju terhadap pemberontakan PKI 1926/1927 terhadap pemerintahan kolonial. Dia pula orang yang berusaha mensintesa penyatuan perjuangan antara komunisme dan Pan-Islamisme di Hindia-Belanda. Buku Massa Actie(Aksi Massa) yang ditulisnya pada tahun 1926 turut memengaruhi Soekarno serta para pemuda ketika menggerakan massa untuk mengikuti Rapat Raksasa di Lapangan Ikada pada September 1945. Dia pula yang menuntut agar Indonesia 100% merdeka dari Belanda.Â
"Tak perlu bertemu dalam berbagai macam perundingan. 'Tuan rumah tidak akan berunding dengan maling di rumahnya sendiri', begitu katanya. Namun sayang, mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia itu sudah ahistoris, tak punya rasa terima kasih pula. Tan Malaka tewas ditembak oleh moncong senjata tentara republik yang bertahun-tahun dibelanya. Tanah di Gunung Wilis, Kediri tahun 1949 menjadi tempat persemayaman jasadnya. Namun seperti apa katanya sendiri bahwa 'Dari dalam kubur, suaraku akan jauh lebih keras terdengar daripada di atas bumi'. Sekarang, itu dibuktikan oleh pagelaran budaya Minangkabau ini. Yang ingin agar kita mengambil hikmah dan teladan dari perjuangan Ibrahim itu". Iwan merenungkan di dalam alam pikirannya.
Pagelaran budaya Minangkabau itu dimulai dari pukul 20.00 WIB sampai berakhir pada pukul 00.30 WIB. Iwan menikmati semua pertunjukan yang digelar. Karena dia pun sebenarnya memiliki darah Minang, dari ayahnya. Namun dia tak bisa berbahasa Minang seperti kawannya yang Arab Pekojan, Rizal, yang pada dinihari itu kosannya akan Iwan tumpangi untuk sekedar melepas penat setelah perjalanan dan pagelaran penuh renungan dan pelajaran dari Jatinangor menuju Dipati Ukur tersebut.
~SEKIAN~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H