Mohon tunggu...
Oky Nugraha Putra
Oky Nugraha Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang manusia yang terus belajar, belajar, belajar pada siapapun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Jatinangor dan di Dipati Ukur

29 Oktober 2017   06:49 Diperbarui: 29 Oktober 2017   07:13 996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sinopsis Drama

Palito nan Takalam berkisah tentang perjuangan seorang pemuda untuk membebaskan Indonesia. 'Sebebasnya' dari belenggu penjajahan. Sosok ini sedari muda telah memiliki semangat juang yang tinggi terhadap pendidikan. Keberaniannya yang lantang menyuarakan kemerdekaan lantas menjadikannya buron dan incaran bagi Pemerintah Belanda. Ibrahim yang cerdik dan tak hilang akal, terus belajar, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain bahkan menyamar untuk menghindar dari petugas koloni. Namun sayang, pengkhianatan harus membawa semangat tadi terkurung di balik jeruji besi. Namun bukan Ibrahim namanya jika idenya terkungkung bersama tubuhnya.

Sekilas membaca buku saku sinopsis dari pagelaran budaya Minangkabau pada malam itu, Iwan langsung memusatkan perhatiannya pada pertunjukan yang akan dimulai. Berbagai sambutan sambung-menyambung mengisi awal acara pertunjukan malam itu. Sambutan terakhir dari pejabat pemerintah provinsi Sumatera Barat yang diundang oleh panitia menandai dibukanya acara pagelaran budaya itu. 

Tarian pembukaan Galombang Pasambahandimulai. Berlanjut dengan pertunjukan Randai. Sambung-menyambung berbagai tarian dan nyanyian dipersembahkan kepada ratusan hadirin yang hadir pada malam itu di Granus. Selain tentunya drama tentang Ibrahim yang menjadi pertunjukan utama yang diusung. Pada hal pengusungan tema utama drama ini, Uda Robi sempat berbincang dengan Iwan beberapa hari sebelum perhelatan malam itu digelar.

"Uda, kenapa mengusung tema drama tentang Ibrahim ?", tanya Iwan.

"Jadi seperti ini Wan. Pertama, Ibrahim merupakan putra asli Minang yang perannya tidak kecil dalam perjuangan bangsa Indonesia ini. Kedua, panitia terinspirasi mengangkat tema tentang Ibrahim karena beberapa waktu yang lalu di Bandung sempat terjadi pelarangan, bahkan pembatalan oleh salah satu ormas keagamaan sebuah acara monolog yang mengangkat tema tentang Ibrahim. Nah, ini aneh. Padahal itu sebuah pertunjukan drama. Mengapa harus dibubarkan segala oleh ormas itu ? Padahal aku kira mereka tidak sedang merencanakan suatu makar, panita acara monolog itu. Ketiga, aku dan kawan-kawan panitia ingin agar kita generasi muda bangsa ini tak sekonyong-konyong melupakan sejarah bangsanya. Sejarah bangsa kita ini penuh dilumuri dengan darah, dibanjiri keringat, dan air mata perjuangan. Sudah sepatutnya, kita, orang-orang yang hidup di masa kemudian ini, mengambil pelajaran secara bijak dari apa yang telah terjadi di masa lampau. Bukan malah menghakiminya secara sepihak dengan nilai-nilai yang berlaku sekarang ini", jawab Uda Robi panjang lebar.

"Waah mantap Uda. Aku setuju sekali dengan apa yang disampaikan Uda. Terkadang, orang-orang Indonesia itu ahistoris. Melihat suatu permasalahan hanya dari masanya saja, tidak menarik ke masa sebelumnya. Padahal, masalah-masalah yang terjadi sekarang ini merupakan akumulasi dari masalah-masalah yang terjadi di masa sebelumnya. Aku jadi teringat seorang filsuf Spanyol yang pernah berkata bahwa ketika seseorang tidak pernah belajar dari sejarah, maka dia dikutuk untuk mengulangi (kembali) apa yang pernah terjadi di masa lampau yang tidak dia pelajari tersebut".

"Hehehe, betul Wan. Jangan lupa datang ya !".

"Sip, Uda".

Iwan secara sadar telah mengetahui mengapa perhelatan drama yang menjadi pertunjukan utama dalam pagelaran budaya Minangkabau ini tidak menggunakan nama 'Tan Malaka' sebagai pemeran utama. Malah menggunakan nama asli dari Tan Malaka yakni Ibrahim. Panitia berusaha menyiasati agar drama ini bisa berjalan lancar. Maklum, seperti yang dikatakan Uda Robi pada Iwan beberapa hari sebelum pagelaran budaya Minangkabau ini digelar, beberapa waktu sebelumnya di Bandung sempat terjadi pelarangan, bahkan pembatalan sebuah pertunjukan monolog yang sedianya akan digelar di IFI Bandung. 

Dalam monolog yang sedianya akan digelar tersebut, panitia mengangkat tema tentang Tan Malaka, tokoh republik asal ranah Minang yang berhaluan perjuangan kiri namun sangat taat beribadah tersebut.  Bahkan Tan Malaka diberi gelar datuk ketika dia berumur 15 tahun. Sebuah gelar kehormatan dalam adat-istiadat Minang. Judul monolog itu sendiri adalah "Tan Malaka, Saya Rusa Berbulu Merah". Namun, tepat satu hari sebelum pertunjukan digelar, datang segerombolan orang-orang dari suatu ormas keagamaan yang meminta panitia membatalkan perhelatan monolog tersebut. Alasan mereka ialah bahwa Tan Malaka itu adalah seorang komunis. Komunis sama dengan atheis, tidak memercayai adanya Tuhan, apalagi beragama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun