Mohon tunggu...
Oktaviani Aulia Rahma
Oktaviani Aulia Rahma Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswi

Busy

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Antara Kasih dan Semangat

23 Desember 2021   09:00 Diperbarui: 23 Desember 2021   09:13 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diantara Kasih dan Semangat

 

Benar bahwa kejujuran merupakan kunci dari semua permasalahan hidup. Keyakinan diriku tentang kejujuran sebagai pondasi dari kelanggengan suatu hal, ternyata tidak seutuhnya berada dalam posisi yang salah. Peninjauan titik kejernihan kadar kejujuran yang telah diriku lakukan menyebutkan hasil bahwa, kejujuran itu ibarat suatu benda suci, yang seiring berjalannya waktu akan memudar karena terkena noda dari percikan suatu kebohongan. Kenalkan, namaku Zulya Rahmawardhani dan sering dipanggil dengan nama Mawar. Aku adalah seorang gadis kecil yang telah merasakan kemanisan hidup sejak kecil. Tak disangka rasa manis tersebut menjelma menjadi sebuah rasa aneh laksana rasa yang hanya bisa dirasakan pada pangkal lidah. Aku tak menyangka bahwa pemikiran positif tentang alur hidupku kedepannya, akan sedikit banyak berbeda dari realitanya.

Sejak kecil aku berada dalam sebuah keluarga yang damai dan harmonis. Ayahku mengembara ke negeri sebelah untuk menafkahi keluarga kecilku. Disamping itu, ibuku turut membantu mencukupi kebutuhan harian dengan bekerja sebagai pegawai pendidik anak usia dini di sebuah sekolah di desaku.

Sedikit kutipan dari cerita masa kecilku. Dahulu sewaktu aku masih belajar di bangku Sekolah Dasar, aku telah merasakan tentang sakitnya berada dalam posisi seorang teman semu abu-abu. Dari bangku kelas satu hingga kelas lima, aku merasa ada tolak belakang pikiran teman-temanku di belakang diriku. Entah apa yang mendasari semuanya, aku tak bisa memahaminya hingga detik ini. Mungkin karena masa itu, pemikiranku tentang realita kehidupan lebih dangkal dibandingkan penalaranku tentang pelajaran akademik. Sehingga, gerak tingkah yang kuputuskanakan selalu terlihat salah di mata mereka. Banyak dari mereka menilai keegoisan diriku membawa pada sifat angkuh dan sombong. Sebenarnya aku merasa bahwa aku tidak pernah melakukan demikian, tapi penilaian orang tidak bisa didoktrin bahwa itu salah. Akupun menghargai penilaian tersebut dan sedikit-demi sedikit aku menulusuri jiwa pribadiku.

Menginjak ke jenjang yang lebih tinggi, pribadiku menjadi lebih paham terhadap keadaan sosial sekitar. Sebagai tamu atau siswa baru yang hadir di lingkungan asing, aku dan seluruh teman se-angkatanku dikenalkan oleh senior tentang lingkungan sekolah baru kami.

Di sela-sela acara, para senior mengumuman, "Dek, dalam jenjang SMP banyak terdapat organisasi dan ekstra baru. Saran dari kami, kalian bisa ikut berpartisipasi di dalamnya." kata seorang kakak senior. Aku setuju dengan pernyataan tersebut dan berniat akan menggabungkan diri pada rekrutmen OSIS tahun ini. Aku berpikir bahwa dengan berorganisasi aku akan belajar tentang pengambilan solusi permasalahan hidup dan dapat berpikir lebih dewasa.

***

Setelah kegiatan belajar dan mengajar mulai berjalan efektif, masing-masing ekstra yang ada membuka rekrutmen anggota. Minatku masih sangat besar untuk mengikuti OSIS. Akhirnya hari ini aku berniat mengambil surat pendaftaran. 

"Eh Fit..Fitrii, antar aku ke depan Ruang Osis dong!" rengekku setengah berteriak.

Fitri yang sedang makan menoleh, "Mau ngapain sih, ambil surat rekrutmen OSIS ya? jawabnya. "Males ah ketemu sama senior-senior galak itu."

Aku meliriknya dengan mulut tercengir, "Dasar !" batinku sembari menatap

Sebelum bel masuk berbunyi aku segera berlari menuruni tangga dan berjalan ke arah tempat pengambilan surat pendaftaran. Disitu telah tertulis bahwa tes akan dilakukan melalui 2 tahap, berupa tes tulis dan wawancara yang akan dilakukan sekaligus hari ini. Untuk itu, aku segera menelpon ibu jika nanti aku akan terlambat pulang. Untung saja, ibu telah memberikanku izin untuk bergabung pada ekstra atau intra sekolah apapun resikonya.

"Hallo bu, Assalamu'alaikum," sapaku di telepon.

"Wa'alaikummussalam warahmatullaahi wabarakatuuh, iya nak ada apa?" jawab ibu.

            "Mawar mau minta izin ibu kalau nanti Mawar mau pulang telat, soalnya Mawar baru tau kalau ternyata test rekrutmen OSIS nya hari ini, Minta do'anya ya bu," pintaku.

"Okedeh pasti dong ibu do'ain, jangan lupa kamu juga berdo'a dan selalu minta pertolongan pada Allah." kata Ibu.

"Oke bu siap!" jawabku. Setelah itu, telpon kututup dan aku kembali berkonsentrasi pada pelajaran yang nanti akan diajarkan.

Tak lama kemudian, bel berbunyi dan terdengar pengumuman bahwa semua siswa diharap bersiap untuk melakukan tes sesuai dengan minat ekstra atau intra yang mereka ikuti. Sambil menunggu jam pelaksanaan, aku merapikan barang-barang yang berserakan di atas mejaku.

"Mawarrr, bawa minyak wangi ga?" tanya Fitri.

"Hmmm, emangnya gue mau nge-mall gitu. Aku sih tanpa gituan pasti bisa keterima, debat aja bisa kenapa tes tulis sama wawancara gagal?" jawabku dengan yakin.

"Mungkin aja. Biar nanti senior cowok pada kesengsem tuh sama kamu, hahaha" tawa Fitri.

"Apaan sih, rame banget. Kalau lagi bahagia bagi-bagi dikit napa?" sahut Andi si ketua kelas yang juga ikut rekrutmen OSIS.

"Tau ah, ga jelas banget si Fitri, mentang-mentang mau ikut rekrutmen ekstra dance penampilannya gitu banget" kataku menyindir.

"Cih....dasar emang" kata Andy seraya mengejek.

"Biarin..whleee" sahut Fitri sambil menjulurkan lidahnya.

"Udah-udah, yuk An kita turun sekarang! keburu telat nanti dapet omelan dari kakaknya deh" ajakku pada Andy

Kita berduapun segera meningalkan kelas menuju ruang pelaksanaannya.

***

Jarum jam bergeser sesuai dengan iramanya. Detik berlalu, menit menunggu, dan denting jam siap dilalu. Seminggu sudah rekrutmen intra dan ekstra  sekolah dilaksanakan. Tinggal hitungan masa hasilnya akan benar-benar ditempel. Bukan hanya aku yang berdebar menunggu, ternyata lebih dari 5 siswa di kelasku mengikuti rekrutmen intra yang sama dengan diriku. Pengikutnya didominasi oleh kaum lelaki.

"Cieee yang berhasil nih ya" kata Fitri.

"Hahh, nggak paham deh aku" jawabku.

"Tuh hasil rekrutmen udah ditempel. Andy, Difa, dan Iqbal udal stay disana. Kayaknya mereka bertiga semuanya juga lolos OSIS" jelas Fitri.

Dengan hati yang masih berdebar, aku berlari menuju papan pengumuman. Ada banyak nama yang tidak kukenal disana. Setelah melihat pengumuman, aku mencicil tugas presentasi besok. Targetku agar aku bisa mendapatkan point dan nilai terbaik pada seluruh ujian, penilaian, dan praktek yang ada. Di jenjang SMP ini aku akan berusaha membuktikan bahwa aku benar-benar bisa dengan kemapuanku sendiri.

Tiba-tiba ada sebuah suara keras memekakkan telingaku. "Woyy, ngambis banget sih jadi anak!" kata seorang cowok di kelasku yang belum kuketahui namanya.

"Lo yang namanya Mawar kan? Selamat, kita udah jadi satu partner sekarang, barengan sama Andy, Iqbal, dan Nur," lanjutnya.

"Iya, aku Mawar. Emangnya salah ya kalau aku pengen dapet nilai bagus? Namamu siapa sih?" tanyaku.

"Gue Difa, ambisi memang perlu. Tapi lo juga harus lihat sekitar, paling nggak kasihlah kesempatan buat temen-temen yang lain," nasehatnya. Aku diam dan tidak mengacuhkan perkataannya. Pikiranku hanya satu. Aku menilai semua dan apapn itu sebagai saingan saat berada dalam lingkungan sekolah.

"Terserah lo mau dengerin apa nggak, tapi disini gue mau kasih informasi kalau nanti sore calon pengurus OSIS baru kumpul di Ruang Osis dekat lapangan tengah" lanjut Difa.

"Oke, Thanks." jawabku sabil tetap melihat ke layar laptop.

***

Bel pulang berbunyi, aku mengajak Nur untuk berangkat ke mushola dan setelah itu langsung menuju Ruang OSIS yang letaknya tidak terlau jauh dari mushola. Sudah bukan kejadian langka jika pengurus OSIS dinilai sebagai siswa yang hitz, dalam artian sebagai anak pilihan yang mampu diadalkan dalam segi pengetahuan dan sosialnya.

"Selamat datang untuk adik-adik pengurus OSIS baru, kakak berharap agar kalian bisa mengemban tugas dan tanggung jawab dengan baik," ungkap ketua OSIS sebelum mengawali rapat pertama ini. "Untuk pertemuan pertama kita masih belum memulai rapat resmi mingguan." Lanjutnya.

Di kesempatan itu, semuanya dipersilakan untuk saling berkenalan antar teman pengurus OSIS yang belum dikenali.

"Kenalkan namaku Mawar teman-teman, aku dari kelas VII A2" kataku memperkenalkan diri.

Bukan respon baik yang ku terima. Justru sejak itu pula aku merasakan keanehan yang terjadi pada sikap pengurus OSIS laki-laki pada diriku. Aku merasa bahwa keberadaanku disana tidak dihargai oleh mereka. 

"Apa yang terjadi padaku sekarang ya Allah?" kataku lirih.

Aku takut mimpi burukku akan terjadi di dunia nyata. Kejadian dan perasaan itu terus terngiang dan terbawa hingga raga dan jiwaku sampai di rumah. Sebenarnya aku memiliki pikiran negatif terhadap Difa. Aku menyangka Difa sebagai tokoh yang telah menghasut seluruh teman laki-lakinya agar mereka mau membenci diriku. Tapi tidak, aku masih sedikit memahami ilmu fiqih. Kita tidak diperbolehkan untuk berpikiran buruk khususnya kepada saudara kita sesama muslim. Untuk itu, akhir-akhir ini diriku mendadak menjadi pendiam, menahan emosi yang akan keluar dari diriku lewat apapun itu.

***

Rapat demi rapat telah kulalui. Aku masih mengumpulkan keberanian untuk bertanya kepada Difa perihal pikiran negatif diriku kepadanya. Sebelum aku menanyakan hal tersebut, Difa terlebih dulu menghampiri mejaku dan mengatakan seluruh fakta yang cukup membuat diriku terkejut. Entah mengapa ?. Aku tergerak untuk memusatkan konsentrasi dalam memahami setiap kata yang Difa ucapkan. Otomatisnya, aku luluh dengan semua perkataannya. Inti dari ucapan Difa adalah tentang seluruh pengurus OSIS yang banyak memandang rendah diriku, karena mereka menilai nada bicaraku sombong dan sok..

Dalam suasana hening itu aku menimpali, "Aku ragu harus percaya dirimu atau tidak, Dif ?"

***

Setelah kejadian itu, sikapku menjadi sedikit berubah, gaya bicara dan gerak tingkah diriku menjadi lebih halus dan tekesan sangat terjaga. Sebenarnya bukan itu saja yang membuat diriku berubah. Aku bingung, khawatir, dan dihantui oleh rasa takut terkait keadaan sebenarnya yang terjadi pada ibuku. Ibuku yang memiliki tugas harian mengantar dan menjemput diriku ke sekolah mendadak berhenti. Suatu hari ketika pulang sekolah aku melihat kakak laki-lakiku yang datang menjemputku.

"Loh kak, ibu dimana?. Tumben kok kakak mau jemput," tanyaku.

"Udahlah, naik aja dulu. Ibu nyuruh kakak buat nganterin kamu ke rumah sakit. Alasannya nanti kamu disuruh tanya langsung ke ibu," jawab kakak.

Mendadak pikiranku pecah dan praduga negatif memutari seluruh isi kepalaku. Benar adanya, di suatu ruangan Rumah Sakit aku melihat selang infus mendampingi nadi ibuku. Terlihat selang lain menancap di bagian pinggang ibuku sembari mengeluarkan cairan cokelat kental yang tidak ku ketahui apa cairan itu. Mendadak wajahku pucat dan pikiranku berhenti menatap kaku keadaan seseorang itu yang ternyata adalah ibu.

***

SMPN 1 Karangbayu akan mengadakan suatu kegiatan Classmeeting sebagai acara penyegaran atas semuanya yang terjadi setelah PAS (Penilaian Akhir Semester). Untuk itu, pengurus OSIS baru diminta untuk melaksanakan rapat angkatan pribadi untuk membahas agenda pelaksanaan acaranya. Saat rapat berlangsung, keadaan hatiku masih sangat kacau. Aku masih melamun ketika ketua pelaksana sedang menjelaskan prosedur pembuatan proposalnya.

"Mawar, kenapa dengan dirimu?. Minta tolong fokus ke urusan rapatnya." kata Bahrul.

Bahrul adalah seorang anak laki-laki yang menjabat sebagai wakil ketua tingkat junior dalam periode pengurus OSIS baru. Menurutku, dia anak yang baik dan perhatian. Entah itu perhatian yang dikhususkan kepadaku atau bukan, aku tidak peduli atas hal tersebut.

Setelah rapat selesai, Bahrul menarik tanganku dan membisikkan sesuatu ke telingaku.

"Setelah rapat jangan langsung pulang, ikuti aku dulu. Aku mau bertanya sesuatu ke kamu." bisik Bahrul. Difa cemburu melihat perlakuan Bahrul kepadaku itu.

Setelah kita berdua mengobrol, ternyata Bahrul bertanya perihal perubahan sikap yang terjadi pada diriku. Dia menyarankan diriku untuk selalu menjalani kehidupan dengan apa adanya tanpa ada kesan paksaan di dalamnya.

***

Semakin waktu berjalan, kondisi ibuku semakin menurun. Bahkan saat ini ayahku telah pulang dari negeri sebelah dengan alasan akan merawat ibuku secara intensif. Hal itu karena aku dan kakak-kakakku masih disibukkan dengan kepentingan sekolah dan pekerjaan kantor. Tanpa ku perkirakan sebelumnya, saat malam sunyi menjelang pagi berita pahit terbisik di telingaku.

"Nak.. Dhinda, Bangun!" bisik Ayah.

Aku segera membuka mataku dan terbangun dari karpet alas tidurku. Terlihat wajah sendu ayah dan terdesir hembusan napas panjang dari hidung beliau.

"Ibu sudah dipanggil Allah nak, kira-kira 7 menit yang lalu" kata Ayah dengan suara rapuh.

Refleks. Detik pertama, aliran darahku membeku, pikiranku terhenti, dan jantungku seakan dipacu dengan cepat. Detik selanjutnya, aku berteriak dan menangis sekencang mungkin yang kubisa. Tangisan itu disusul oleh nenek dan kakak laki-lakiku. Aku tak menyangka hal itu terjadi begitu cepat. Aku ingat betul 7 jam sebelumnya diriku masih sempat curhat kepada beliau.

"Eh bu, seumpama nanti nilai ujianku ada satu yang jeblog gimana?" tanyaku memakai suaraku saat masih kecil dulu.

Kemudian Ibu menjawab, "Gini ya nak, Ambisi hidup memang perlu. Tapi ingat!. Kehidupan tidak selamanya berada di atas dan takdir Allah adalah yang terbaik untuk kita,"

"Benar juga ya bu, Mawar minta maaf kalau Mawar belum bisa persembahin yang terbaik untuk ibu," pinta maafku pada ibu.

Ibu memelukku sambil berbisik, "Tingkah baikmu adalah wujud kebahagiaan utama ibu." bisik beliau.

Pikiranku tertuju pada kejadian itu. Ternyata itu adalah pelukan terkhir yang diberikan ibu padaku. Ibuku benar-benar sudah tiada. Sebenarnya aku masih tidak mempercayai semua yang terjadi. Aku masih berharap semua itu hanya mimpi buruk. Tapi tidak !. Realitanya lebih buruk dari harapanku. Harap dan anganku runtuh seketika. Keputus-asaan hidup bersarang di atas tubuhku. Rasa ingin bangkit seakan hanya berupa bayangan hitam yang akan sirna diterpa cahaya.

***

Setelah prosesi pemakaman, banyak kerabat, teman, dan tetangga datang. Jati diriku belum kembali seperti semula. Aku menyalami para pelayat dengan tatapan dan perasaan kosong.

"Turut berduka cita ya mbak Mawar, pasti semua ada hikmahnya." kata seorang pelayat.

Aku tidak membalas ungkapan pelayat itu. Mungkin diriku masih sangat tertekan dengan keadaan yang terjadi. Bukan hanya diriku, ayahku bahkan turut pingsan sebelum jenazah diberangkatkan ke pemakaman. Tak lama kemudian, sebuah elf bertuliskan 'SMPN 1 Karangbayu' terlintas di depan gerbang rumahku. Kemudian, semua orang yang ada didalamnya turun. Aku sudah mengenali semua wajahnya, karena memang itu adalah teman-teman VII A2. Difa pun turut menyambangi rumahku. Namun, dia tidak mengungkapkan sepatah kata penyemangat kepadaku. Saat bersalaman, aku sempat melihat tatapan kaget yang keluar dari pancaran bola matanya.

Setelah gerombolan teman-temanku selesai menyalami diriku. Ada satu tokoh yang masih berjalan masuk kedalam rumah menghampiri diriku. Dia bersalaman ke angota keluargaku yang lain. Setelah itu, menyalami diriku dan duduk tepat disampingku.

"Tepat jam berapa tadi kejadiannya?" tanyanya.

"Kira-kira jam setengah 3." jawabku singkat.

Aku merasa dirinya sudah paham terkait yang diriku rasakan. "Udahlah Mawar, nggak ada makhluk hidup yang kekal. Semua pasti binasa, tinggal nungu waktunya aja,".

Lalu dia melanjutkan, "Tetap semangat dan  jangan putus asa, semua masih belum berakhir disini. Buktikan kalau kamu bisa seperti yang ibumu impikan!" nasihatnya.

"Makasih banyak semua nasihatnya. Semoga aku bisa ngelakuin apa yang kamu bilang tadi." kataku sedikit lebih bersemangat.

"Okay, No problem." jawabnya.

Tokoh itu adalah Bahrul. Satu tokoh yang benar-benat ikut menjaga kekuatan jiwaku. Bahrul selalu menopang diriku ketika aku terjatuh dan pasti mengingatkan kewajibanku. Tapi aku tidak memahami dasar dia melakukan itu semua. Sejak saat itu pula, aku merasa bahwa Difa semakin menjauh dariku. Dia tidak lagi bertanya atau meminta solusi terkait masalah yang diirinya hadapi.

***

Hari demi hari bergulir sesuai dengan iramanya. Sedikit demi sedit pula keadaanku pulih seperti sedia kala. "Hello nona Mawar!!. Wajahnya ceria banget sihh!" sapa Fitri yang baru tiba di kelas.

"Kebiasaan deh, kumat lebaynya. Baru beberapa hari telingaku diberi ketenangan, eh sekarang kembali lagi deh suara melengkingnya," jawabku sambil tertawa

"Nah gitu dong ketawa, Kemaren-kemaren takut deh gue lihat wajah Mawar yang hitam kelam gitu. Hahaha" tawa fitri pecah

Di barisan bangku yang lain, diam-diam Difa mengamati gerak tingkah kami berdua. Aku selalu peka dan pasti menyadarinya.

Istirahat pertama aku memutuskan pergi ke mushola untuk menenangkan hatiku yang masih diselimuti oleh keraguan. Disana aku berpapasan dengan Bahrul, namun seepertinya dia tergesa-gesa sehingga tidak melihat diriku. Aku takut untuk menyapanya terlebih dahulu, frekuensi detak jantungku meningkat sejak aku berpapasan dengan Bahrul tadi. "Ah Sudahlah." kataku lirih. Sampai masuk ke dalam kelas pun kejadian tadi di mushola masih terpikir di benakku. Aku tahu jika Bahrul sedang berada dalam masa pendekatan dengan Andra. Banyak anak yang membicarakan kedekatan mereka. Penyebabnya karena Bahrul adalah wakil ketua osis tengkat junior. Sehingga keadan pribadinya cukup terpandang di sekolah.

Beberapa saat aku termenung. Jika aku berkata jujur murni dari nuraniku. Sebenarnya, aku menyimpan rasa yang sama sperti rasa yang dimiliki Andra kepada Bahrul. Tapi aku merasa tidak mungkin bahwa Bahrul akan membalas perasaanku ini. Lebih baik aku tidak menyampaikan rasa ini pada tindakan atau perkataan apapun. Biarlah hanya diri dan nurani Mawar yang memahaminya. Aku paham tentang hati wanita yang mudah meleleh dan luluh oleh perhatian lebih yang diberikan oleh seorang lelaki kepadanya. Begitu pula dengan diriku. Aku merasa bahwa Bahrul telah memberikan perhatian lebih pada diriku, saat aku berada di ambang keputusasaan. Hanya Bahrul yang masih mau menarikku untuk bisa tetap berdiri dan menjalani semuanya. Meskipun semangat itu tidak dia tampakkan secara langsung, tapi aku masih cukup peka bahwa sindiran yang diberikan padaku adalah sebagai media untu membangkitkan semnagatku. Berbeda dengan Difa yang kurang memberiku perhatian, namun aku menyadari bahwa tatapan yang Difa berikan berbeda dan penuh dengan ketulusan.

***

Aku menyadari bahwa aku telah menaruh hati pada Bahrul dan aku juga menyadari jika Difa telah menaruh hati padaku. Keduanya ibarat dua tongkat yang menopang kaki kanan dan kiriku. Suatu hari, jawaban atas semuanya keluar. Hari ini, tepat pukul 10.01 aku mendengar kabar bahwa Andra telah bersama Bahrul sekarang. Refleks air mataku pun mengalir dari kedua sudut mataku. Aku merasa bahwa hatiku hancur kedua kalinya. Hatiku berkata, Ya Allah....Mengapa engkau mengambil penyemangat yang berharga dalam hidupku ?. Aku memang tak mengerti alur ini. Tugasku hanya menjalankannya dengan baik. Itu motivasi yang masih tergantung pada diriku. Namun perasaan tidak bisa dipaksa dan dibohongi. Rasa kecewa telah menjegal kakiku hingga jatuh di sebuah lubang kesedihan yang dalam.

Di sudut kelas, Difa menunjukkan wajah belas terhadap keadaan diriku. Harapanku dia akan menghampiri dan memberiku semangat. Sebenarnya Fitri telah lebih dulu menyuruh diriku untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Tepat seperti harapanku, sepersekian detik kemudian Difa menghampiriku dengan tatapan seakan tau yang sedang kurasakan.

"Heiii, santai aja kali. Cowok nggak cuma satu. Mungkin dirimu akan mendapat yang lebih baik dari dirinya," kata Difa

"Dasar sok tau! Ke PD-an juga. Dasarr!" jawabku.

Tiba-tiba, air muka Difa mendadak menjadi serius "Aku serius mawar, sebenarnya aku telah menyimpan rasa sama kamu"

Sebuah tarikan napas panjang terdengar.

"Kamu bisa ngasih rasa yang sama ke diriku nggak ?"

Degg......

"Ehmmm....Ehmmm" tingkahku bingung untuk menyikapinya.

"Jawab aja nggak apa-apa" katanya.

"Sebelumnya maaf banget ya Dif. Kamu memang cowok baik, tegas, dan perhatian sama cewek. Tapi aku nggak bisa. Bukannya aku ill feel atas semua tingkahmu yang kayak bad boy. Tapi, untuk saat ini aku masih belum mau bergelut dalam hubungan seperti itu. Aku udah nyaman sama hubungan teman kita. Mungkin kita bisa menaikkan hubungan itu ke tahap hubungan persahabatan." kataku.

"Oke, tepat seperti yang kuduga." kata Difa sambil tersenyum.

Aku mengacungkan kedua jempolku disusul dengan kedipan sebelah mata dari Difa sebagai tanda setuju. Oke baiklah, perasaanku sudah pulih seperti sediakala. Aku merasa diriku sudah mulai remaja sekarang. Aku menyadari bahwa dahulu tingkahku memang masih terkesan egois dan terbawa efek kekanak-kanakan. Namun sekarang tidak !. Pola pikirku jauh lebih terbuka dari sebelumnya. Sebenarnya hidup tidaklah rumit bila kita selalu menjalaninya dengan rasa syukur. It's true that the reality of life is not always the same as what we expect. Akupun telah mempercayainya sekarang.

Penulis 1 : Oktaviani Aulia Rahma Dita ( Mahasiswi Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang)

Penulis 2 : Meilan Arsanti, S.Pd., M.Pd. (Dosen FH Universitas Islam Sultan Agung Semarang)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun