Mohon tunggu...
Nuwaf Al Jamil
Nuwaf Al Jamil Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

MAHASISWA HUKUM KELUARGA ISLAM UIN RADEN MAS SAID

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Review Buku Hukum Perdata dan Perkembangannya di Indonesia

18 Maret 2024   22:47 Diperbarui: 18 Maret 2024   23:06 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HUKUM ACARA PERDATA DAN PERKEMBANGANYA

DI INDONESIA

Oleh Nuwaf al jamil [222121182] 

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia

Abstrak: 

Pembaharuan hukum perdata diindonesia merupakan conditiosine quanon. Khususnya dalam upaya menciptakan kepastian hukum dan rasa keadilan. Sebab, peraturan hukum acara perdata positif kitab oleh dikatakan sudah "ketinggalan zaman". Mau tidak mau harus diakui bahwa hukum acara kita masih merupakan produk hukum peninggalan pemerintah Hindia Belanda, yang relative kurang memiliki relevansi dengan situasi kondisi sosial keindonesiaan masa kini yang diaturnya. 

Abstract:  

Civil law reform in Indonesia is a condition quanon. Especially in efforts to create legal certainty and a sense of justice. This is because the positive civil procedural law regulations in the book are said to be "outdated". Like it or not, it must be admitted that our procedural law is still a legal product inherited from the Dutch East Indies government, which has relatively little relevance to the current Indonesian social conditions that it regulates.

Kata kunci: hukum acara perdata ; pembaharuan; Indonesia.

Pendahuluan

Eksistensi hukum acara perdata sebagai hukum formal mempunyai kedududkan penting dan strategi dalam upaya menegakkan dan mempertahankan hukum perdata (materiil) dalam praktik melalui Lembaga peradilan. Keberadaan hukum perdata terkait erat dengan hukum acara perdata, bahkan keduanya merupakan sejoli pasangan yang tidak bisa dipisahkan. Hukum perdata tidak mungkin dapat berdiri sendiri lepas dari hukum acara perdata, dan sebaliknya hukum acara perdata juga tidak mugkin berdiri sendiri tanpa adanya hukum perdata. 

Peraturan hukum acara perdata yang berlaku saat ini, baik dalam HIR (Het Herzeine Indonesische Reglement) maupun RBg (RechtReglement voor de Buitengewesten) merupakan warisan pemerintah Hindia Belanda yang sudah berumur puluhan atau bahkan ratusan tahun. Mengingat usianya yang sudah mencapai sekitar satu abad, peraturan hukum acara perdata sesungguhnya memerlukan berbagai penyesuaian dan pembaharuan hukum (law reform) agar memiliki relevansi dengan perkembangan zaman yang terjadi.     

Pembahasan

 A. HUKUM DAN KEKUASAAN KEHAKIMAN

 Sebagaimana sebuah ungkapan "ubi societas ibi ius" atau di mana ada masyarakat maka di situ ada hukum, maka eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia. Tanpa hukum kehidupan manusia akan liar, siapa yang kuat dialah yang menang. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajibannya. Dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, maka di negara hukum seperti Indonesia, diperlukan adanya suatu institusi yang dinamakan kekuasaan kehakiman (Judicative power). Kekuasaan kehakiman ini bertugas untuk menegakkan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang-undangan yang berlaku (ius constitutum). Indonesia sebagai salah satu negara hukum, sudah selayaknya prinsip-prinsip dari suatu negara hukum juga harus dihormati dan dijunjung tinggi. Salah satunya adalah diakuinya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak. Sejauh mana prinsip ini berjalan, tolok ukurnya dapat dilihat dari kemandirian badan-badan peradilan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam menegakkan hukum dan keadilan, maupun dari aturan perundang-undangan yang memberikan jaminan yuridis adanya kemerdekaan kekuasaan kehakiman.

 Kekuasaan kehakiman dalam praktik diselenggarakan oleh badan- badan peradilan negara. Adapun tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara-per- kara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan.

Di Indonesia, ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman secara konstitusional telah diatur dalam bab IX, pasal 24, 24A, 24B, 24C dan 25 UUD 1945 hasil amandemen MPR beserta penjelasannya. Hasil amandemen tersebut telah merubah struktur kekuasaan kehakiman, karena di samping Mahkamah Agung juga muncul lembaga kekuasaan kehakiman yang baru, yaitu Mahkamah Konstitusi. Pasal 24 ayat (2) menyebutkan:

"Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi."

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Adapun calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden.

Sedangkan Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran parta politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945).

B. PENGERTIAN, TUJUAN DAN SIFAT HUKUM ACARA PERDATA

Manusia adalah mahluk sosial (zoon, politicon) yang dalam kehidupannya selalu bermasyarakat dan mengadakan hubungan antara satu dengan lainnya. Hal ini dilakukan agar manusia dapat saling memenuhi kebutuhannya yang beraneka ragam dan tidak mungkin dipenuhi sendiri. Hubungan semacam ini akan menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik di antara mereka. Hak dan kewajiban yang timbul semestinya dipenuhi oleh masing-masing pihak agar hubungan pergaulan tersebut dapat berjalan dengan serasi, tertib dan harmonis.

Manusia dalam berinteraksi satu sama lain seringkali tidak dapat menghindari adanya bentrokan-bentrokan kepentingan (conflict of interest) di antara mereka. Konflik yang terjadi dapat menimbulkan kerugian, karena biasanya disertai pelanggaran hak dan kewajiban dari pihak satu terhadap pihak lain. Konflik-konflik semacam itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan sarana hukum untuk menyelesaikannya. Dalam keadaan seperti itulah, hukum diperlukan kehadirannya untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi.

Agar tercipta tata hubungan yang diharapkan, diperlukan adanya norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang telah disepakati sebagai pedoman dalam mengatur kehidupan bersama. Kaidah atau peraturan hukum tersebut dapat berupa peraturan hukum materiil (materiile recht/substantive law) maupun hukum formil (formile recht/ adjective law). Peraturan hukum materiil tersebut termuat dalam suatu bentuk peraturan hukum yang tertulis maupun peraturan yang tidak tertulis yang mengatur tentang hak dan kewajiban seseorang, yaitu apa yang semestinya dilakukan dan apa yang seharusnya ditinggalkan. Jadi hukum materiil merupakan pedoman dalam bertingkah laku dan berhubungan antara seseorang dengan orang lain, baik hubungan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Ketentuan-ketentuan tersebut misalnya, "tidak boleh mengganggu hak orang lain, tidak boleh mencuri, perjanjian harus ditepati, dan sebagainya".

C. TUNTUTAN HAK DALAM PERKARA PERDATA

I. PENGAJUAN TUNTUTAN HAK

Seperti diuraikan di muka bahwa hukum acara perdata adalah hukum yang berfungsi untuk menegakkan, mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dalam praktik. Oleh karena itu, bagi orang yang merasa hak perdatanya dilanggar, tidak boleh diselesaikan dengan cara menghakimi sendiri (eigenrichting), tapi ia dapat menyampaikan perkaranya ke pengadilan, yaitu dengan mengajukan tuntutan hak (gugatan) terhadap pihak yang dianggap merugikannya, agar memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya.

Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan menghakimi sendiri (eigenrichting). Tuntutan hak ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu permohonan dan gugatan.

1.Permohonan

Permohonan adalah tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa, di mana hanya terdapat satu pihak saja, yang disebut dengan pemohon. Permohonan termasuk dalam lingkup peradilan volunter (voluntaire jurisdictie) atau peradilan tidak sesungguhnya. Perbuatan hakim dalam peradilan merupakan perbuatan di bidang administratif, sehingga putusannya berupa suatu penetapan.

2.Gugatan

Gugatan adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa, di mana sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Gugatan termasuk dalam lingkup peradilan sesungguhnya (contentieuse jurisdictie). Ciri khas dari gugatan adalah bersifat resiproksitif (terjadi secara berbalasan), berhubung tergugat kemungkinan besar akan membalas kembali gugatan dari penggugat.

Dalam mengajukan dan merumuskan gugatan ke pengadilan, pihak penggugat perlu memperhatikan dua syarat utama, yaitu syarat materiil maupun syarat formil.

a.Syarat material, yaitu syarat yang berkaitan dengan isi atau materi yang harus dimuat dalam surat gugatan. Karena HIR dan RBg hanya mengatur caranya mengajukan gugatan, sedang isi yang harus dimuat tidak disebutkan, maka pada dasarnya orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan tersebut, asal cukup memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi dasar tuntutan (Yurisprudensi MA No. 547 K/SIP/1972). Pasal 119 HIR/143 RBg menentukan, bahwa ketua pengadilan berwenang untuk memberi nasihat dan bantuan kepada pihak penggugat atau kuasanya dalam membuat dan mengajukan gugatan, sehingga dapat dicegah pengajuan gugatan yang kurang sempurna.

b.Syarat formiil, yaitu syarat untuk memenuhi ketentuan tata tertib beracara yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Jika ternyata ada salah satu syarat formil yang tidak dipenuhi, mengakibatkan gugatan tidak sah, sehingga gugatan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklard) atau pengadilan tidak berwenang mengadili.

II. PIHAK PIHAK DALAM PERKARA PERDATA

Pada asasnya setiap orang yang merasa mempunyai hak dan ingin menuntut/mempertahankannya, dapat bertindak selaku pihak di muka pengadilan (legitima personae standi in judicio), baik selaku penggugat (eiser/plaintif) maupun selaku tergugat (gedaagde/defendant). Namun demikian, dalam praktik peradilan pihak-pihak tersebut harus terlebih dahulu memenuhi beberapa persyaratan, baik syarat umum maupun syarat khusus.

1.Syarat Umum

Syarat umum adalah mempunyai kemampuan atau kecakapan untuk bertindak melakukan perbuatan hukum (handelings bekwaamheid). Orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum secara otomatis juga tidak dapat menjadi pihak di muka pengadilan.

Adapun orang yang dianggap tidak mampu untuk bertindak (personae miserabiles) adalah:

a. Orang yang belum dewasa, maka ia harus diwakili oleh orang tua/walinya (pasal 330 BW: 21 tahun, pasal 47 UU No. 1/1974: 18 tahun).

b. Orang yang diletakkan di bawah pengampuan, karena tidak sehat akalnya dan jiwanya, maka ia harus diwakili pengampunya (curatele).

c. Seorang istri yang tunduk kepada BW tidak dapat bertindak sebagai pihak tanpa bantuan dari suaminya (pasal 110 BW) kecuali dalam hal perceraian atau dituntut dalam perkara pidana (pasal 111 BW).

          2. Syarat Khusus

 Syarat khusus pihak-pihak yang berperkara adalah mempunyai kewenangan menjadi pendukung hak (rechtsbevoegheid). Meskipun seseorang cakap berbuat hukum, tetapi tidak mempunyai keweriangan hak dalam suatu perkara, maka ia juga tidak bisa menuntut hak (selaku penggugat) di muka pengadilan. Sebagai contoh seorang yang bukan ahli wars maka ia tidak berhak menuntut bagian atas harta warisan dari pewaris, Demikian juga orang yang tidak termasuk sebagai pihak dalam suatu perjanjian, maka ia tidak dapat dituntut untuk melaksanakan isi perjanjian tersebut.

 Dalam hukum acara perdata dikenal pula adanya dua pihak, yaitu pihak materiil dan pihak formil. Pihak materiil adalah pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam perkara yang bersangkutan. Sedangkan pihak formil adalah pihak yang beracara di muka pengadilan baik yang mempunyai kepentingan langsung maupun tidak langsung tetapi atas namanya sendiri. Sebagai contoh adalah pihak yang berkepentingan dan suatu badan hukum dapat bertindak sebagai pihak materiil dan pihak formil. Demikian pula seorang wali atau pengampu termasuk sebagai pihak formil, karena ia bertindak sebagai pihak di muka pengadilan atas namanya sendiri, tetapi untuk kepentingari orang lain yang diwakilinya.

D. PEMERIKSAAN SIDANG PENGADILAN

I.PENETAPAN SIDANG DAN PEMANGGILAN PARA PIHAK

 Penetapan waktu sidang dan pemanggilan terhadap pihak-pihak yang berperkara diatur dalam ketentuan Pasal 121-122 HIR atau Pasal 145-146 RBg.

  Setelah gugatan diajukan dan didaftarkan di kepaniteraan Peng- adilan Negeri dalam suatu daftar untuk itu, maka Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau Ketua Majelis Hakim yang telah ditunjuk memeriksa perkara tersebut menetapkan hari persidangan dan memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir pada persidangan yang ditetapkan itu, disertai saksi-saksi yang mereka kehendaki untuk diperiksa dan dengan membawa segala surat keterangan yang akan dipergunakan (Pasal 121 ayat (1) HIR/Pasal 145 RBg).  

 Permanggilan pihak-pihak yang berperkara dilakukan oleh Juru Sita atau Juru Sita Pengganti dengan menyerahkan surat panggilan. Pada waktu memanggil tergugat, harus diserahkan juga kepadanya, sehelai salinan (turunan) surat gugatan, dengan memberitahukan kepadanya, kalau ia mau, boleh menjawabnya secara tertulis (Pasal 121 ayat (2) HIR/145 ayat (2) RBg).

 Dalam melakukan pemanggilan tersebut, Juru Sita atau Juru Sita Pengganti harus bertemu dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil di tempat tinggalnya/kediamannya. Kalau Juru Sita atau Juru Sita Pengganti tidak dapat bertemu dengan orang yang bersangkutan di tempat tinggalnya/kediamannya, maka surat panggilan harus disampai- kan kepada Kepala Desa, yang wajib dengan segera memberitahukan panggilan itu kepada orang yang bersangkutan (Pasal 390 ayat (1) HIR/718 ayat (1) RBg). Meskipun di sini Kepala Desa dinyatakan wajib menyampaikan panggilan itu kepada yang bersangkutan, akan tetapi jika Kepala Desa lalai dalam hal itu, tidaklah ada sanksi terhadapnya. Akibatnya mungkin sekali orang yang digugat dalam suatu perkara perdata, karena tidak menerima pemberitahuan. atau panggilan dari Kepala Desanya, akan dikalahkan dengan putusan verstek. Dan apabila kemudian putusan verstek diberitahukan oleh Juru Sita, ia tidak bertemu pula, dan Kepala Desa selanjutnya lalai lagi memberitahukan putusan tersebut kepadanya, maka ia sangat dirugikan, karena kejadian itu tenggang waktu untuk mengajukan verstek kepada putusan tadi berlalu dengan tidak disengaja.

II.PUTUSAN GUGUR DAN PUTUSAN VERSTEK

  

 Dilihat dari kehadiran pihak-pihak yang berperkara pada per- sidangan pertama, pemeriksaan perkara dilakukan dengan tiga ke- mungkinan. Yang pertama, kedua belah pihak hadir atau dianggap hadir memenuhi panggilan pada persidangan pertama pengadilan, maka pemeriksaan perkara dilakukan secara contradictoir.

 Kemungkinan yang kedua, pada sidang pertama ternyata ada pihak-pihak yang tidak hadir dari juga tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil secara patut. Yang tidak hadir itu bisa penggugat dan bisa pula tergugat. Ketidakhadiran salah satu pihak ini menimbulkan persoalan dalam pemeriksaan perkara, artinya perkara itu ditunda pemeriksaannya atau diteruskan dengan konsekuensi- konsekuensi yuridis. 

a)Putusan Gugur

Apabila pada sidang pertama yang telah ditentukan ternyata penggugat tidak hadir tanpa alasan yang dapat dibenarkan dan tidak pula menyuruh wakilnya untuk hadir, sedang ia sudah dipanggil secara patut, maka hakim dapat menjatuhkan putusan menggugurkan gugatan dan menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara (Pasal 124 HIR/148 RBg). Namun, hakim dapat mengambil tindakan lain yaitu memerintahkan Juru Sita untuk memanggil sekali lagi tergugat tersebut supaya hadir pada hari sidang berikutnya (Pasal 126 HIR/150 RBg). Apabila hakim mengambil tindakan ini, maka sidang pengadilan ditunda sampai pada hari sidang berikutnya yang telah ditetapkan. Jika kemudian setelah penggugat dipanggil untuk kedua kalinya ternyata tidak hadir pula pada hari sidang berikut yang ditetapkan itu, maka hakim akan menjatuhkan putusan menggugurkan gugatan dan menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara, namun penggugat yang gugatannya telah dinyatakan gugur tersebut, masih berhak untuk mengajukan lagi gugatannya setelah ia lebih dahulu membayar biaya perkara (Pasal 124 HIR/148 RBg).

b)Putusan Verstek

Apabila pada sidang pertama yang telah ditentukan ternyata tergugat yang tidak hadir tanpa alasan yang dapat dibenarkan, dan tidak pula menyuruh wakilinya untuk hadir, sedang ia sudah dipanggil secara patut, maka hakim dapat menjatuhkan putusan verstek, kecuali jika gugatan penggugat melawan hukum atau tidak beralasan (Pasal 125 HIR/149 RBg). Akan tetapi ketidakhadiran tergugat atau para tergugat pada sidang pertama itu, tidak mesti harus diputuskan dengan putusan verstek, sebab menurut Pasal 126 HIR/150 RBg hakim dapat mengambil tindakan lain yaitu memerintahkan Juru Sita untuk memanggil sekali lagi tergugat tersebut supaya hadir pada sidang berikutnya. Hal ini boleh terjadi kata Mr. Tresna, jikalau misalnya hakim memandang perkaranya sangat penting sehingga tidak layak diputuskan begitu saja tanpa kehadiran tergugat, sebab bisa saja terjadi, meskipun secara formil panggilan telah disampaikan secara patut, namun tergugat tidak mengetahui tentang panggilan itu. Yang terakhir ini tidak mustahil terjadi, oleh karena menurut Pasal 390 HIR/718 RBg surat panggilan yang disampaikan oleh Juru Sita, jika ia tidak bertemu dengan orang yang dipanggil maka sudah cukup surat panggilan dengan segera memberitahukan surat panggilan itu kepada yang bersangkutan, namun tidak jarang terjadi Kepala Desa lalai dalam melaksanakan kewajiban itu.      

E. PEMBUKTIAN DAN TUJUAN PERKARA

A.PENGERTIAN DAN TUJUAN PEMBUKTIAN

 Proses perkara perdata dalam garis besarnya terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap pendahuluan, tahap penentuan atau pemeriksaan sidang dan tahap pelaksanaan. Kegiatan hakim pada tahap pemeriksaan sidang inilah yang paling banyak, mulai dari jawab-menjawab, pembuktian peristiwa sampai dengan putusan hakim. Secara konkret dalam tahap pemeriksaan ini hakim melakukan kegiatan yang dilakukan secara bertahap, yaitu mengkonstatasi peristiwa konkret yang artinya merumuskan peristiwa konkret yang dapat dipastikan kebenarannya, mengkualifikasi peristiwa konkret tersebut dan akhirnya mengkonstitusi atau memberi hukum atau hukumannya. Pada hakikatnya, seorang hakim diharapkan atau diminta untuk mempertimbangkan tentang benar-tidaknya suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Ia harus mempertimbangkan apakah suatu hak, atau peristiwa atau suatu hubungan hukum yang didalilkan sebagai dasar gugatan penggugat atau sebagai dasar tangkisan tergugat benar-benar terjadi atau tidak. Hakim harus memperoleh kepastian tentang peristiwa konkret yang telah terjadi tersebut atas dasar bukti- bukti, bukan kebenaran berdasar dugaan hakim semata atau kesimpulan berdasar intuisi hakim.

  

 Jadi pada dasarnya membuktikan adalah suatu proses untuk menetapkan kebenaran peristiwa secara pasti dalam persidangan, dengan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum, hakim mempertimbangkan atau memberi alasan-alasan logis mengapa suatu peristiwa dinyatakan sebagai benar.

 Pembuktian yuridis lazim disebut juga pembuktian historis, karetu dalam pembuktian itu hakim memeriksa peristiwa yang telah terjadi dulu dengan mempergunakan alat-alat bukti atau data-data yang ada sekarang.

B.BEBAN PEMBUKTIAN

 Ciri khas dalam metode pembuktian yuridis jalah dipisahkan antara pihak yang harus mengajukan sarana-sarana pembuktian dengan pihak yang akan menilai pembuktian dan mengambil kesimpulan atau keputusan tentang terbukti-tidaknya suatu peristiwa (dalam menemukan kebenaran membuktikan secara ilmiah tidak dikenal pemisahan demikian) Di muka sudah disebutkan bahwa yang dan merumuskan peristiwa konkret atau menkonstatir peristi sebagai benar adalah hakim. Sedang yang wajib membuktikan atau bienyajikan sarana atau alat-alat bukti adalah pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkara, yakni berkepentingan agar gugatannya beritoulkan Dalam hal ini pihak yang berkepentingan adalah para pihak yang berperkara, baik dalam kapasitasnya sebagai penggugat atau pun tergugat. Merekalah yang berkewajiban untuk membuktikan peristiwa yang disengketakan, bukan hakim.

 Permasalahan yang sering muncul I dalam pembuktian perdata adalah mengenai pembagian beban pembuktian: kepada siapa di antara para pihak yang harus dibebani dengan pembuktian atau diwajibkan untuk membuktikan apabila kedua belah pihak yang berperkara mengajukan alat-alat bukti yang sama kuatnya atau apabila kedua belah pihak tidak mengajukan alat-alat bukti sama sekali.

 Asas umum beban pembuktian diatur dalam Pasal 163 HIR/183RBg yang dikenal dengan asas actori incumbit probatio. Pada pokoknya asas ini mengandung arti bahwa barang siapa mengaku mempunyai hak maka ia harus membuktikannya, beban pembuktiannya ada padanya. Asas ini mendasarkan pada asas yuridis bahwa apa yang tampaknya telah ada secara sah haruslah untuk sementara dibiarkan atau dipertahankan dalam keadaan demikian demi-kepastian hukum."

C.KEBENARAN DALAM PEMBUKTIAN YURIDIS

 Suatu perkara diajukan ke pengadilan tidak lain untuk mendapatkan penyelesaian dan pemecahan secara adil sesuai dengan harapan dan penyelian para pencari keadilan (justiciabelli Suatu perkara supaya dapat diputus secara adil harus diketahui duduk perkaranya secara jelas, yaitu mana peristiwa yang benar dan mana peristiwa yang salah. Untuk menentukan mana peristiwa yang benar dan mana peristiwa yang salah dapat dilakukan lewat proses pembuktian di persidangan.

 Pihak-pihak yang berperkara dalam persidangan harus mengemukakan peristiwa-peristiwa yang dapat dijadikan dasar untuk meneguhkan haknya, maupun untuk membantah hak pihak lain. Peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh para pihak tentu saja tidak cukup sekedar disampaikan begitu saja secara lisan maupun tertulis, tetapi harus disertai dan didukung dengan bukti-bukti yang sah menurut hukum agar dapat dipastikan kebenarannya. Dengan kata lain peristiwa-peristiwa itu harus disertai pembuktian secara yuridis Adapun tujuan dari pembuktian yuridis adalah untuk mencari atau menemukan kebenaran peristiwa yang digunakan sebagai dasar putusan hakim, yang mempunyai akibat hukum."

 Oleh karena itu, upaya penyelesaian perkara perdata yang berpijak pada kebenaran formil dianggap belum dapat sepenuhnya memberikan perlindungan dan jaminan terciptanya keadilan bagi para pencari keadilan. Kalau hal itu terus dipertahankan, maka tampaknya semboyan bahwa lembaga peradilan sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan dalam mencari kebenaran dan keadilan tentunya menjadi tidak signifikan lagi. Pada gilirannya akan berakibat mengurangai kepercayaan masyarakat terhadap kinerja dan integritas institusi peradilan. Sehingga dalam praktik peradilan perdata, ada kecenderungan mulai menuju kepada kebenaran materiil, karena pencarian kebenaran formil semata dirasakan belum cukup.

1. Pembuktian Yuridis

 Dalam konteks hukum, pembuktian mempunyai pengertian khusus yang umumnya dikaitkan dengan pelaksanaan peradilan. Dari beberapa pandangan teoritisi dan praktisi hukum, dapatlah dikemukakan bahwa dalam pengertian "pembuktian" terkandung elemen-elemen sebagai berikut:

1. Merupakan upaya untuk mencari kepastian tentang kebenaran suatu peristiwa, baik dalam kehidupan masyarakat sehari-ha dalam ilmu pengetahuan alam maupun dalam praktik peradilan (ilmu hukum).

2. Dalam ilmu hukum, yang dimaksud pembuktian adalah pembuktian dalam arti yuridis. Pembuktian di sini merupakan: (1) suatu proses untuk meyakinkan hakimi terhadap kebenaran dalil. dalil yang dikemukakan para pihak yang berperkara dalam sidang pengadilan; (2) didasarkan atas bukti-bukti yang diatur dalam undang-undang, (3) merupakan dasar bagi hakim dalam rangia menjatuhkan putusan.

 Dalam ilmu hukum, pembuktian dilaksanakan tidaklah bersifat mutlak sebagaimana dalam ilmu alam, akan tetapi pembuktian yang bersifat kemasyarakatan (maatschappelijk bewijs). Di dalamnya meskipun sedikit selalu mengandung unsur ketidakpastian. Oleh karena itu dalam pembuktian hukum sifat kebenarannya relatif, dan bukan untuk memperoleh kebenaran yang mutlak. Di samping itu dimungkinkan pula terjadinya perbedaan penilaian hasil pembuktian di antara sesama hakim.

F. KEBIJAKAN PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PERDATA

 Kebanyakan pembaharuan hukum, termasuk di dalamnya pembaharuan hukum acara perdata, untuk dapat memenuhi kualifikati perundang-undangan yang ideal, perlu memperhatikan empat aspek, yaitu aspek politik-hukum, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, serta memenuhi syarat kekuatan berlakunya. Pertama, aspek politik-hukum. Politik-hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Politik hukum bertujuan untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada saat itu."

 Kedua, dalam rangka pembaharuan dan penyusunan hukum, perlu aga diperhatikan tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang undangan yang patut Asas-asas tersebut merupakan dasundang- amdari dalam peraturan perundang undangan. Van der Vlies sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati, membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan-peraturida yang patut (beginsellen van behorlijke regelgeving) ke dalam asas-asastra formal dan materiil. Asas-asas yang formal meliputi: (a) asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling); (b) asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan); (c) asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel); (d) asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid) (e) asas konsensus (het beginsel van consensus). Sedangkan asas-asas yang materiil meliputi: (a) asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke systematiek); (b) asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid); (c) asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel); (d) asas kepastian hukum (het rechtszekerheids beginsel); (e) asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtsbedeling).

KESIMPULAN 

 Pembelajaran yang dapat kita ambil dari buku ini adalah pembaharuan hukum acara perdata di Indonesia merupakan conditio sine qua non dalam upaya menciptakan kepastian hukum dan rasa keadilan. Terlebih peraturan hukum acara perdata positif sekarang ini merupakan produk hukum peninggalan pemerintahan Hindia Belanda yang relatif sudah ketinggalan zaman, sehingga kurang memiliki relevansi sosial dengan situasi dan kondisi sosial yang diaturnya. Hukum acara perdata positif yang berlaku sebagai aturan main procedural dalam beracara perdata di pengadilan, sebagian ketentuannya ternyata sudah tidak sesuai lagi dengan kesadaran dan kebutuhan hukum yang berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu hukum acara perdata sekarang ini perlu dikaji ulang dan diperbaharui dengan konsep hukum acara perdata baru yang visioner dan responsif, baik dalam tinjauan filosofis, yuridis maupun sosiologis. Demikian pula terhadap RUU Hukum Acara Perdata meskipun sudah ada kemajuan dan perubahan dibandingkan hukum acara perdata positif, tetapi beberapa ketentuan di dalamnya perlu disempurnakan kembali dengan mengundang para ahli hukum dan praktisi hukum, sehingga masalah-masalah perkembangan hukum terutama yang bersifat kekinian (aktual) mendapatkan wadah sebagaimana mestinya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1980. Aneka Masalah dalam Praktik Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni.

Abdurrahman, Muslan. 1987. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Surabaya: Kasnendra Suminar.

Adolf, Huala. 1991. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: Rajawali, Algra, N.E. et. al. 1983. Mula Hukum. Jakarta: Binacipta.

Ali, Chidir. 1987. Responsi Hukum Acara Perdata. Bandung: Armico. Alkostar, Artidjo. Reformasi Hukum Pidana Politik, Jurnal Hukum N. 11

 Volume 6, Tahun 1999.

Arto, Mukti. 1996. Praktik Hukum Perdata pada Pengadilan Agama.

 Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Asser-Anema-Veerdam. 1955. Van Bewijs. Zwolle: N.V. Uitgevers

           Maatschappij WEJ Tjeenk Wellink.

Basah, Sjachran. 2001. Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan

           Peradilan Administrasi (HAPLA), Jakarta: Rajawali Pers.

Black, Henry Campbell. 1990. Law Dictionary.

Budiman, Budhy. Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian 

           terhadap Praktik Peradilan Perdata dan Undang-undang Nomor 30

           Tahun 1999, lihat situs http://www.uika-bogor.ac.id/jur0.htm.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun