Sudah lewat enam bulan purnama, ibuk terkapar sakit. Belum sempat merawatnya, aku sudah pergi ke sekolah agama. Terpaksa meninggalkannya. Ku titipkan ibuk kepada bapak. Yang ternyata "tidak becus" menjaganya.
Siang itu, disaat terik panas menyengat. Sirine ambulance begitu kencang meraung dijalanan. Sesosok gadis tua terkapar lemah didalam. Tak henti-hentinya meringik, menahan sakit.
"Halo dek. Kondisi Ibuk semakin parah. Sekarang lagi dilarikan ke Rumah Sakit. Adek bisa pulang?" Tanya Kakak, pria tiga tiga puluh tahun yang baru datang dari pulau sebrang.
Sudah seburuk ini kah kondisinya?
Belum ku menjawabnya, tanganku sudah bergetar. Keringat mengalir deras membasahi telapak.
"Iya kak. Aku izin pulang sekarang"
. . .
Sehari setelah kepergianku ke sekolah agama, Ibuk jatuh sakit. Hanya Bapak yang tersisa dirumah.Â
Tapi kehadirannya sama saja. Justru memperburuk. Selalu membentak Ibuk, mengabaikannya, bahkan tak jarang memarahinya.
Setiap akhir pekan, selalu kutelepon Ibuk. Menanyakan keadaannya.
"Halo, Ibuk sehat?". Ia hanya mengangguk dan menjawab singkat. Selalu seperti itu.
Hari berlalu begitu cepat. Tak terasa sudah dipenghujungnya. Siang itu, jadwalku menelepon tiba. Kudatangi ruang penitipan handphone. Notifikasi panggilan banyak sekali bermunculan. Puluhan jumlahnya.
Kakak
"Halo kak. Ada apa?" Tanyaku.
Lenggang
"Halo, kak" Sahutku sekali lagi.
Suara isak tangis terdengar lebih dulu.
"Iya dek. Tidak ada apa-apa"
"Terus kenapa kakak nangis? Meneleponku berulang kali pula?"
"Kemarin Ibuk jatuh di toilet. Kakak panik langsung hubungi kamu" Jawabnya.
"Emang Bapak dimana kak? Kok bisa jatuh. Tahukan, Ibuk gabisa jalan sendiri" Suaraku sedikit terangkat.
"Kata Ibuk, Bapak ke luar kota. Ibuk ditinggal sendiri waktu itu. Sekarang Ibuk tidak apa-apa. Adek berdo'a saja disana. Kakak sudah pulang ke rumah kok. Jaga Ibuk" Jawabnya.
Aku terdiam menghela napas tidak percaya. Kakak daritadi berusaha menenangkanku. Memberitahu bahwa semua baik-baik saja. Agar aku tetap fokus belajar, sesuai pesan Ibuk.
Tanganku mengepal keras. Tinjuku seketika menghatam tembok.
Sebegitunya kah Bapak? Kenapa dia meninggalkan Ibuk sendiri? Dimana dia saat Ibuk jatuh?
. . .
Hari kembali normal seperti biasanya. Mengkaji kitab suci sudah menjadi tradisiku disana. Di akhir pekan, selalu kutelepon Ibuk seperti biasa. Menanyakan kabar. Sesekali, gelak tawanya terdengar sejuk mendinginkan. Hanya saja semburat senyumnya tak tampak.
Hingga tiba sore itu. Dikala sedang syahdunya melantunkan ayat suci, teman sejawatku tiba-tiba mendatangi. Membuatku terheran.
"Sudah kucari kemana-mana ternyata disini" Sahutnya, dengan napasnya yang masih tersengal.
"Kenapa?" Jawabku, mataku menatapnya penasaran.
"Ustadz Heru nyariin kamu. Katanya penting. Ayo ikut"
Belum sempat kubertanya, tangannya sudah awal menarikku berdiri. Mengantarku menuju kantor siswa sambil berlari.
Tok Tok Tok
"Assalamualaikum, Ustad" Sapa kami berdua, langsung masuk.
"Waalaikumussalaaaam. Akhirnya kamu datang juga. Ini, daritadi kakakmu terus menelepon. Ingin bicara denganmu" Jawabnya, sambil memberikan handphone ditangannya.
. . .
Hujan terus mengguyur dengan deras. Dari balik kaca, cahaya-cahaya lampu terlihat remang. Tertinggal cepat oleh laju mobil yang kutunggangi.
Dreddd!
Handphone-ku bergetar dalam saku.
"Sudah berangkat dek?" Tanya kakakku memastikan.
"Sudah" Singkatku.
"Alhamdulillah"
Percakapan itu pun terus berlanjut sepanjang perjalanan. Semuanya perlahan tersingkap. Sedari awal, Kakak tanpa hentinya membicarakan curahan hati Ibuk kepadanya ketika waras. Memang hanya dia yang selalu mendengar cerita Ibuk tiap harinya.
Kisah Ibuk yang ditinggal merantau oleh anak-anaknya. Bahkan oleh Bapak yang ada dirumah, jarang dia menolehnya. Selalu pergi keluar kota, membuat Ibuk sendiri berhari-hari tak terurus. Tubuh ringkihnya terus meringis. Jangankan berdiri mengambil nasi, ingin duduk saja harus menahan sakit setengah mati.
Air mataku perlahan menitik. Lalu menggabak. Menggenang bagai danau. Entah, perasaan apa yang sedang menyelimuti. Rasa sedih meratapi Ibuk atau benci terhadap Bapak. Semua bercampur.
. . .
Kupenuhi panggilanmu, Buk.
Tengah malam aku telah tiba. Rumah Sakit sepi. Menyisakan lampu-lampu yang hampir redup cahayanya. Puluhan keluarga tergeletak di teras lorong. Menunggu "anak obat" dengan penuh harapan.
Tatapanku terus menyibak sudut-sudut. Mencari ruang Ibuk berada. Sengaja tak mengabari Kakak terlebih dahulu kalau aku telah tiba.
Dapat!
Ruang ICU, Kawasan Prabu Siliwangi.
Setiba didepan pintu, kakiku mulai gemetar. Gigi terus bergemeletuk. Tangan pun kaku membeku. Tapi langkahku tak terhenti. Berusaha menahan semua itu.
Barulah tubuhku benar-benar mematung. Saat melihat Ibuk meringkuk tak berdaya. Tangan dan kakinya terikat di ranjang bagai tahanan. Jasadnya sempurna dipenuhi selang. Dengan wajah pucat pasi.
"Adek" Kakak yang duduk disampingnya, lari memelukku.
Tak terasa air mataku merembah lagi. Menyaksikannya sendiri dengan telanjang mata.
"Gimana kondisi Ibuk, kak?" Tanyaku.
"Ibuk koma dek" Jawabnya sambil menangis.
"Hah!? Ga mungkin kak" Aku tersontak.
Air mata yang semula menitis, sekarang deras bercucuran.
"Bapak kemana?" Tanyaku lagi.
"Sudah dari kemarin pergi lagi keluar kota."
Aku teringkuk, benar-benar tak tahan lagi.
Kemana orang tua itu. Dikala kondisi Ibuk begini, masih saja dia cuai.
Kuhampiri tempat Ibuk berbaring. Kubarut rambutnya yang tak lagi menghitam.
"Buk, anakmu sudah pulang. Ibuk sehat kan?"
Percuma saja, telinganya tak lagi mendengar.
. . .
Malam itu giliranku mendampingi Ibuk. Bergantian dengan Kakak yang belum istirahat seharian.
Tepat pukul dua pagi.
Belum berhenti kudendangkan ayat suci. Tangannya yang kupegang mulai mendingin. Matanya setengah terbuka melihatku.
"Ya Allah Gusti.. sakit.." Gumamnya berulang kali.
Saat itu, aku panik. Tiba-tiba monitor pasien merekam adanya aritmia. Detak jantungnya melemah.
Langsung kuberlari keluar memanggil dokter.
"Dokter.. Ibuk saya dok.. Ibuk saya" Ucapku tergagap-gagap.
"Baik, sebentar"
Dokter yang masih berjaga, berkumpul. Dengan gesit mereka bersiap. Terlihat, salah satunya membawa alat pacu jantung.
Aku menggigit jari, berusaha untuk menahan tangis.
"Adek tunggu disini ya" Katanya.
Aku mengangguk pelan.
Di dalam sana, terliha tubuh Ibuk terus berguncang saat jantungnya dipacu. Mataku tak kuasa lagi melihat. Hanya bisa menangis dan menangis.
Saat guncangan ke-sepuluh. Monitor pasien bergeming lurus. Garis Heart Rate hijaunya mendatar.
Tidak mungkin! Tidak mungkin!
Badanku rubuh berderak. Bagai pohon rasamala yang tumbang sendirinya. Air mataku tak berlinang lagi. Menyaksikannya tidak percaya.
Salah satu dokter menghampiriku berkata lirih,
"Nak, kamu harus tabah. Ibukmu sudah tak lagi disini"
Innalillahi wa innaa ilaihi rooji'uun
Aku bangkit menghampirinya. Kudekap jasadnya yang mendingin untuk terakhir kali. Heningnya yang keriput, kukecup. Tapi Ibuk hanya diam. Diam tuk selamanya.
Buk, aku sudah pulang. Tapi kenapa engkau malah pergi?
*Cerita Selanjutnya : Luka Lama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H