"Sudah" Singkatku.
"Alhamdulillah"
Percakapan itu pun terus berlanjut sepanjang perjalanan. Semuanya perlahan tersingkap. Sedari awal, Kakak tanpa hentinya membicarakan curahan hati Ibuk kepadanya ketika waras. Memang hanya dia yang selalu mendengar cerita Ibuk tiap harinya.
Kisah Ibuk yang ditinggal merantau oleh anak-anaknya. Bahkan oleh Bapak yang ada dirumah, jarang dia menolehnya. Selalu pergi keluar kota, membuat Ibuk sendiri berhari-hari tak terurus. Tubuh ringkihnya terus meringis. Jangankan berdiri mengambil nasi, ingin duduk saja harus menahan sakit setengah mati.
Air mataku perlahan menitik. Lalu menggabak. Menggenang bagai danau. Entah, perasaan apa yang sedang menyelimuti. Rasa sedih meratapi Ibuk atau benci terhadap Bapak. Semua bercampur.
. . .
Kupenuhi panggilanmu, Buk.
Tengah malam aku telah tiba. Rumah Sakit sepi. Menyisakan lampu-lampu yang hampir redup cahayanya. Puluhan keluarga tergeletak di teras lorong. Menunggu "anak obat" dengan penuh harapan.
Tatapanku terus menyibak sudut-sudut. Mencari ruang Ibuk berada. Sengaja tak mengabari Kakak terlebih dahulu kalau aku telah tiba.
Dapat!
Ruang ICU, Kawasan Prabu Siliwangi.
Setiba didepan pintu, kakiku mulai gemetar. Gigi terus bergemeletuk. Tangan pun kaku membeku. Tapi langkahku tak terhenti. Berusaha menahan semua itu.
Barulah tubuhku benar-benar mematung. Saat melihat Ibuk meringkuk tak berdaya. Tangan dan kakinya terikat di ranjang bagai tahanan. Jasadnya sempurna dipenuhi selang. Dengan wajah pucat pasi.