Sudah lewat enam bulan purnama, ibuk terkapar sakit. Belum sempat merawatnya, aku sudah pergi ke sekolah agama. Terpaksa meninggalkannya. Ku titipkan ibuk kepada bapak. Yang ternyata "tidak becus" menjaganya.
Siang itu, disaat terik panas menyengat. Sirine ambulance begitu kencang meraung dijalanan. Sesosok gadis tua terkapar lemah didalam. Tak henti-hentinya meringik, menahan sakit.
"Halo dek. Kondisi Ibuk semakin parah. Sekarang lagi dilarikan ke Rumah Sakit. Adek bisa pulang?" Tanya Kakak, pria tiga tiga puluh tahun yang baru datang dari pulau sebrang.
Sudah seburuk ini kah kondisinya?
Belum ku menjawabnya, tanganku sudah bergetar. Keringat mengalir deras membasahi telapak.
"Iya kak. Aku izin pulang sekarang"
. . .
Sehari setelah kepergianku ke sekolah agama, Ibuk jatuh sakit. Hanya Bapak yang tersisa dirumah.Â
Tapi kehadirannya sama saja. Justru memperburuk. Selalu membentak Ibuk, mengabaikannya, bahkan tak jarang memarahinya.
Setiap akhir pekan, selalu kutelepon Ibuk. Menanyakan keadaannya.
"Halo, Ibuk sehat?". Ia hanya mengangguk dan menjawab singkat. Selalu seperti itu.
Hari berlalu begitu cepat. Tak terasa sudah dipenghujungnya. Siang itu, jadwalku menelepon tiba. Kudatangi ruang penitipan handphone. Notifikasi panggilan banyak sekali bermunculan. Puluhan jumlahnya.