Mohon tunggu...
Cerpen

Dendam Gandhari

11 Januari 2018   12:17 Diperbarui: 11 Januari 2018   12:48 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku Gandhari, umurku 25 tahun ketika masih hidup. Aku berprofesi sebagai sinden muda yang tampil di pagelaran wayang kulit ketika masih hidup. Sekarang aku hanya menjadi hantu gentayangan yang sering bertengger di pohon-pohon. Orang biasa menyebutnya kuntilanak. Kalau kalian ingin tahu, bagaimana aku bisa meninggal? Dan mengapa aku bisa gentayangan? Semua ini disebabkan oleh Lurah Bari. Semasa hidup aku menjadi wanita simpanan lurah Bari. Lurah kaya raya dan disegani penduduk desa. Dia masih muda, umurnya hanya berjarak 4 tahun denganku. Dia terpesona dengan kecantikan dan suara merduku saat pertama kali bertemu denganku di pagelaran wayang kulit.

            Masih basah dalam otakku saat pertama kali lurah Bari bertemu denganku. Dia terus memandangku semenjak aku datang di pagelaran. Dia pun menikmati lagu lingsir wengi yang kunyanyikan saat itu. Usai pagelaran, dia mendatangiku dan mengajakku mengobrol panjang lebar. Dia juga bercerita kepadaku bahwa dia tidak bahagia hidup bersama istrinya yang tak kunjung memberikannya keturunan. Aku pun iba mendengar ceritanya. Sejak saat itu kami sering bertemu dan berbincang-bincang jika bertemu di pagelaran wayang kulit. Sampai pada akhirnya dia mendatangi rumah kontrakanku dan merayuku dengan mulut buayanya. Dia menggodaku sampai aku benar-benar jatuh dalam pelukannya.

            Masih basah juga dalam ingatanku saat hari ulang tahunku, Lurah Bari memberikanku berbagai macam hadiah. Dia memberiku baju baru, sepatu baru, dan tentunya berbagai macam perhiasan emas. Wanita mana yang tidak suka diperlakukan seperti itu? Aku menerima semua hadiah dari Lurah Bari itu dengan senang hati. Dia juga memberiku uang, katanya itu saweran. Sebagai imbalannya aku menyanyikan gendhing selendang sutra kuning untuknya. Dia pun sangat menyukainya. Aku senang melihatnya terhibur oleh suaraku. Dia pun mendekatkan tubuhnya padaku. Dia merayuku lagi, menciumku dan pada akhirnya kami bercinta. Bahkan kami melakukannya lebih dari satu kali. Aku telah menyerahkan keperawananku pada laki-laki biadab itu.

            Puncak permasalahan pun terjadi ketika aku telat datang bulan. Dan ternyata aku telah mengandung tiga bulan hasil buah cintaku bersama lurah Bari. Saat itu aku bingung apa yang harus aku lakukan. Aku menangis, aku takut di cap sebagai perempuan perebut suami orang oleh tetangga. Terlebih aku hanyalah wanita simpanan lurah Bari. Karena bingung aku menelepon lurah Bari. Dia pun datang kepadaku. Dia duduk di sofa ruang tamu. Aku membuatkannya kopi hitam kesukaannya. Dia pun meminum sedikit demi sedikit kopi hitam yang asapnya masih mengepul itu. Lalu aku duduk di sampingnya. Aku mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang telah terjadi padaku saat ini. Aku sangat berharap dia akan memamahami situasi ini dan akan melakukan yang terbaik untukku. Semoga dia mau bertanggung jawab.

            "Aku hamil mas." kataku sambil meneteskan air mata.

            "Apa? Kamu hamil?"

            "Iya, aku sudah mengeceknya. Kamu lihat sendiri ada dua garis." Aku mengeluarkan test pack dari kantong bajuku yang sudah kupersiapkan sebelumnya.

 "Dua garis, artinya positif." Aku mengulanginya lagi.

            "Kamu benar-benar hamil?"

            "Iya." jawabku singkat. Tenggorokanku terasa panas untuk barkata banyak.

            Lurah Bari telihat kebingungan. Sedangkan aku masih menangis dan ketakutan. Tiba-tiba lurah Bari menatapku dalam. Ia meraihku dalam pelukannya.

            "Kamu jangan panik dulu. Aku akan bertanggung jawab."

            "Kamu tidak bohong mas? Kamu benar-benar akan bertanggungjawab?"

            "Iya, aku janji. Aku akan segera menikahimu."

            "Aku takut mas."

            "Kamu tidak perlu takut selama ada aku. Malah aku bahagia kamu hamil. Akhirnya aku akan mempunyai keturunan." Ucapnya membuatku terharu dan bahagia karena ternyata dia mau bertanggungjawab.

            "Terima kasih." Balasku sambil terisak dalam pelukannya.

            Seminggu kemudian dia datang lagi ke rumah kontrakanku. Dia membawakan banyak makanan untukku. Dia juga mengelus perutku yang katanya sebagai tanda kasih sayang untuk jabang bayi kami. Lantas dia mengecup pipiku dengan mesra. Sebelum beranjak pergi dari rumahku, dia memberiku butiran pil yang katanya itu adalah vitamin untuk ibu hamil.

            "Minumlah ini agar bayi kita sehat. Kamu harus menjaga dengan baik calon anak kita." Ucapnya penuh kelembutan.

            "Baiklah mas. Pasti akan aku minum vitamin ini."

***

            Malamnya sebelum tidur aku teringat akan buttiran pil yang diberikan lurah Bari. Aku mengambil pil itu di laci meja. Aku mengambil air putih lalu membuka bungkus pil itu. aku menelannya dengan segelas air putih. Kemudian aku putuskan untuk berbaring di ranjang dan tidur. Namun, belum sempat tertidur aku merasakan keanehan. Perutku mendadak sangat sakit seperti ada yang meremas-remas dari dalam. Sangat sakit, lebih sakit daripada terkena penyakit usus buntu yang pernah aku alami. Aku pun melihat darah mengalir membasahi selangkanganku. Badanku menjadi lemas, jantungku berdetak cepat dan keringat dingin muncul dari tubuhku. Darah pun semakin keluar banyak sampai merembes di kasurku. Aku panik sambil menahan sakit.

Aku mencoba bangkit berdiri untuk mencari pertolongan. Namun usahaku sia-sia. Tenagaku semakin berkurang meski hanya untuk berjalan dan berteriak minta tolong. Aku pasrah akan nasibku. Sampai akhirnya aku merasakan ada gumpalan yang keluar. Gumpalan itu berwujud darah berwarna merah pekat. Aku tahu bahwa gumpalan darah itu adalah jabang bayiku. Ya, jabang bayiku telah mati setelah aku menelan pil vitamin itu. 

Ah, tidak. Itu bukan pil vitamin, tapi itu adalah pil racun. Pil yang menggugurkan kandunganku. Pria hidung belang itu telah menipuku. Tak lama kemudian, aku merasa semakin tak berdaya. Darah masih keluar seenaknya sendiri. Aku tak tahu bagaimana caranya menghentikan pendarahan ini. Dan akhirnya aku harus menyerah dengan kondisiku yang mengenaskan itu. Aku merasakan detik-detik saat nyawaku terlepas dari jasadku. Bukan hanya janin yang dalam kandunganku yang mati, aku juga terbunuh oleh pria berengsek itu.

***

            Setelah menunggu selama dua tahun untuk membalaskan dendamku, akhirnya hari itu datang juga. Selama ini aku sering mengintai kehidupan lurah Bari dan keluarga. Bahkan aku sudah punya tempat yang nyaman untuk melaksanakan aksi pengintaian itu. Ya, selama dua tahun aku tinggal di pohon beringin tua di rumah lurah Bari. Pohon beringin itu sudah berumur tua dan sangat besar. 

Akarnya yang menjulur sesekali kubuat mainan saat aku bosan menunggu waktu yang tepat untuk balas dendam. Di pohon itu aku beberapa kali bertemu dengan teman-temanku seperti paman genderuwo dan juga siluman ular yang kadang menampakkan dirinya pada manusia. Terkadang aku juga suka terbang ke pohon lain, aku sering hinggap juga di pohon pisang. Biasanya di pohon pisang ada temanku si pocong. Meski aku menjadi hantu, aku juga menceritakan tentang kehidupanku dan kronologi kematianku pada teman-temanku sesama hantu. Ketika aku lapar, paman genderuwo sering memberiku bangkai kelelawar. Ya, aku sangat menyukai bangkai kelelawar. Rasanya enak.

            Aku mengintai kamar lurah Bari dan istrinya. Aku melihat lurah Bari sedang mengelus perut istrinya yang sedang hamil delapan bulan. Dia mengelus perut buncit itu dengan penuh kasih sayang. Ya, setelah bertahun-tahun mereka menikah, baru tahun ini mereka dikaruniai keturunan. Dan jujur aku benci melihat pemandangan itu. 

Ingatan bahwa lurah Bari pernah melakukan hal yang sama padaku pun muncul lagi. Bedanya dia mengelus perutku dengan niat jahatnya, bukan dengan ketulusan seperti yang dia lakukan pada istrinya. Aku cemburu? Ah, tidak. Buat apa hantu sepertiku cemburu pada pria bangsat itu. Aku justru ingin segera membalaskan dendamku. Pria hidung belang seperti itu tidak pantas hidup dalam kebahagiaan. Dia pantas mendapatkan karma.

            Setelah bermesra-mesraan dengan istrinya lurah Bari ijin untuk rapat di balai desa. Sebelum berangkat dia mencium kening sang istri. Lalu dia juga mencium lagi perut sang istri yang berisi jabang bayinya. Mereka terlihat bahagia. Aku pun juga senang melihat kebahagiaan mereka. Ya, setidaknya aku sudah berbuat baik dengan memberi mereka kesempatan berbagi kasih sayang sebelum aku membalaskan dendamku. 

Aku sadar bahwa aku memanglah jahat. Tetapi aku menjadi jahat karena aku diperlakukan tidak adil oleh orang yang jauh lebih jahat semacam lurah Bari. Aku murka? Tentu. Wanita mana yang tidak murka bila disakiti oleh seorang pria. Wanita mana yang tidak murka bila ditipu mentah-mentah oleh pria yang tidak punya hati seperti dia. Ah, sudahlah. Mari aku beri tahu caraku membalaskan dendamku.

            Aku masuk ke kamar yang ditempati oleh istri lurah Bari dengan cara menembus tembok. Saat sang istri sudah lelap tertidur, aku mendekat padanya. Aku perhatikan dia dahulu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu aku mengelus perut buncitnya dengan tanganku yang berkuku sangat panjang. 

Dengan tangan pucatku aku mencari detak jantung si jabang bayi. Setelah kutemukan, aku meremas-remasnya dengan tanganku. Kuku panjangku pun sepertinya merobek pembuluh darahnya. Jantung jabang bayi itu akhirnya hancur. Dan istri lurah Bari pun akhirnya terbangun setelah merasakan rasa sakit yang luar biasa pada perutnya. Aku bahagia ketika melihatnya meringis menahan sakit. Ditambah lagi darah segar keluar, membasahi daster yang dipakainya.

            Sama seperti aku dulu, sang istri panik melihat darah yang mengalir di selangkangannya. Sang istri juga berusaha bangkit berdiri meminta pertolongan. Namun aku menahannya. Aku mengunci mulutnya dengan cengkeramanku. Lalu aku mencekik lehernya. Setelah itu aku melepaskan tanganku dari lehernya. Terlihat dia menarik oksigen sebanyak mungkin.

            "Siapa kamu makhluk...jahat?" tanyanya padaku saat aku sengaja menampakkan diri di hadapannya. Ya, sekarang dia bisa melihatku.

            "Aku Gandhari." Jawabku santai.

            "Ga...Gandhari?"

            "Iya aku Gandhari. Aku dulu adalah wanita simpanan suamimu."

            "A... apa?" tanyanya gemetar.

            "Iya, aku wanita simpanan yang telah dibunuh oleh suamimu. Oh iya, dia juga telah membunuh jabang bayiku."

            "Kamu...mau balas dendam?" Tanyanya dengan suara terbata karena ketakutan.

            "Tentu, suamimu yang telah membuatku gentayangan seperti ini. Jadi dia harus menanggung apa yang telah dia lakukan padaku."

             "Suamiku?"

            "Iya suamimu, siapa lagi kalau bukan suamimu?"

            "Tidak mungkin, Bari orang yang baik. Bahkan dia rajin beribadah. Dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu."

            "Kamu tertipu tampang polos Bari, bodoh!"

            Aku kembali meraih wanita itu dengan tangan pucatku.

            "Lihatlah mataku. Akan aku tunjukkan kejadian dua tahun lalu." Perintahku kasar.

            Dengan ragu dan rasa ketakutan yang menggunung wanita itu menatap mataku. Aku sengaja membuatnya masuk dalam dimensi gaib. Aku perlihatkan kepadanya kejadian dua tahun lalu mulai dari perkenalanku dengan lurah Bari sampai kejadian tragis yang merenggut nyawaku dan jabang bayiku.

            "Aaahhhhh...Tidak...tidak..." Dia berteriak kencang. Aku melihat darah semakin mengalir deras saat dia berteriak. Bahkan darah itu sampai mengalir ke lantai rumah. Aku senang melihat genangan darah itu. Warna merah pekat dan bau anyir dari darah membuatku semakin bersemangat untuk membalaskan dendamku. Aku pun mengambil sedikit darah dengan tanganku. Lalu aku menjilatnya dengan lidah panjangku. Enak, aku suka rasa darah yang bercampur air ketuban. Bahkan rasanya jauh lebih enak daripada bangkai kelelawar yang sering aku makan.

            "Kamu sudah melihat semuanya kan?"

            Wanita itu tidak menjawab. Dia sudah semakin lemah. Wajahnya sudah pucat pasi seperti mayat hidup.

            "Wanita bodoh! Bisa-bisanya kamu mempercayai Bari. Suamimu itu hanya baik dari luarnya saja, dari dalam dia itu jauh lebih buruk daripada bangkai kelelawar yang sering aku makan. Dia sangat busuk." Umpatku.

            Aku sudah tidak sabar lagi, aku mencekik lehernya lebih kuat lagi. Dia kesulitan mengambil napas. Aku membantingnya ke lantai. Lalu aku memasukkan tanganku ke dadanya. Aku meremas jantungnya sama seperti saat aku membunuh jabang bayinya tadi. Dia sempat kejang, dan aku senang. Akhirnya dia mati.

            Lurah Bari datang setelah selesai rapat. Dia sangat kaget melihat keadaan istrinya yang sudah tidak bernyawa. Dia berteriak histeris mencoba membangunkan lagi istri tercintanya. Sayangnya, usahanya sia-sia. Dia memeluk erat jasad istri dan jabang bayi yang telah mati di dalam kandungan itu. Dia menangis sejadi-jadinya.

            "Apa yang terjadi sebenarnya? Apa dia dibunuh." Teriak lurah Bari histeris.

            Aku pun akhirnya menampakkan diriku pada manusia berengsek ini. aku muncul tepat di belakangnya. Aku memegang pundaknya dengan tangan berkuku panjangku. Dia menoleh ke belakang dan takut bukan main.

            "Si...siapa kamu?"

            "Kamu lupa padaku mas Bari? Aku Gandhari, wanita simpanan yang telah kamu racuni dua tahun yang lalu. Hahaha..." Jawabku sambil tertawa terbahak.

            "Gandhari?"

            "Iya aku Gandhari mas."

            "Untuk apa kamu datang? Bukankah kamu sudah mati."

            Aku mendekatkan kepalaku pada telinga lurah Bari. Lalu aku membisikkan sesuatu padanya.

            "Aku datang untuk membalaskan dendamku atas apa yang kamu lakukan dua tahun yang lalu padaku."

            Dia bergerak mundur dan melepaskan pelukannya dari jasad istrinya. Dia ketakutan, wajahnya memucat.

            "Jadi kamu yang melakukan semua ini pada istriku."

            "Benar, aku yang telah menghabisinya."

            "Ampuni aku Gandhari. Tolong maafkan aku. Aku menyesal telah melakukan itu padamu."

            "Sudah terlambat kalau kamu minta maaf sekarang mas. Maafmu tidak akan membuatku dan jabang bayiku hidup lagi."

            "Tolong maafkan aku Gandhari."

            Melihat wajah lurah Bari yang menyesal membuat emosiku memuncak lagi. Aku pun mencekik leher lurah Bari. Aku mengangkat tubuhnya, lalu kuhempaskan ke lantai. Darah segar mengalir dari kepalanya. Lurah Bari telah menemui ajalnya. Lelaki berengsek itu tidak akan memakan korban lagi dengan bujuk rayuan manisnya. Tidak ada lagi wanita yang akan tersakiti oleh lurah Bari. 

Setelah ini aku bisa kembali ke alamku yang sesungguhnya dengan tenang. Aku tidak akan gentayangan lagi setelah dendamku terbalaskan. Oh, iya sebelum aku pergi ke alamku. Aku ingin menikmati sesuatu yang lezat dulu. Mungkin aku akan memakan ari-ari jabang bayi istri lurah Bari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun