Mohon tunggu...
Cerpen

Dendam Gandhari

11 Januari 2018   12:17 Diperbarui: 11 Januari 2018   12:48 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mencoba bangkit berdiri untuk mencari pertolongan. Namun usahaku sia-sia. Tenagaku semakin berkurang meski hanya untuk berjalan dan berteriak minta tolong. Aku pasrah akan nasibku. Sampai akhirnya aku merasakan ada gumpalan yang keluar. Gumpalan itu berwujud darah berwarna merah pekat. Aku tahu bahwa gumpalan darah itu adalah jabang bayiku. Ya, jabang bayiku telah mati setelah aku menelan pil vitamin itu. 

Ah, tidak. Itu bukan pil vitamin, tapi itu adalah pil racun. Pil yang menggugurkan kandunganku. Pria hidung belang itu telah menipuku. Tak lama kemudian, aku merasa semakin tak berdaya. Darah masih keluar seenaknya sendiri. Aku tak tahu bagaimana caranya menghentikan pendarahan ini. Dan akhirnya aku harus menyerah dengan kondisiku yang mengenaskan itu. Aku merasakan detik-detik saat nyawaku terlepas dari jasadku. Bukan hanya janin yang dalam kandunganku yang mati, aku juga terbunuh oleh pria berengsek itu.

***

            Setelah menunggu selama dua tahun untuk membalaskan dendamku, akhirnya hari itu datang juga. Selama ini aku sering mengintai kehidupan lurah Bari dan keluarga. Bahkan aku sudah punya tempat yang nyaman untuk melaksanakan aksi pengintaian itu. Ya, selama dua tahun aku tinggal di pohon beringin tua di rumah lurah Bari. Pohon beringin itu sudah berumur tua dan sangat besar. 

Akarnya yang menjulur sesekali kubuat mainan saat aku bosan menunggu waktu yang tepat untuk balas dendam. Di pohon itu aku beberapa kali bertemu dengan teman-temanku seperti paman genderuwo dan juga siluman ular yang kadang menampakkan dirinya pada manusia. Terkadang aku juga suka terbang ke pohon lain, aku sering hinggap juga di pohon pisang. Biasanya di pohon pisang ada temanku si pocong. Meski aku menjadi hantu, aku juga menceritakan tentang kehidupanku dan kronologi kematianku pada teman-temanku sesama hantu. Ketika aku lapar, paman genderuwo sering memberiku bangkai kelelawar. Ya, aku sangat menyukai bangkai kelelawar. Rasanya enak.

            Aku mengintai kamar lurah Bari dan istrinya. Aku melihat lurah Bari sedang mengelus perut istrinya yang sedang hamil delapan bulan. Dia mengelus perut buncit itu dengan penuh kasih sayang. Ya, setelah bertahun-tahun mereka menikah, baru tahun ini mereka dikaruniai keturunan. Dan jujur aku benci melihat pemandangan itu. 

Ingatan bahwa lurah Bari pernah melakukan hal yang sama padaku pun muncul lagi. Bedanya dia mengelus perutku dengan niat jahatnya, bukan dengan ketulusan seperti yang dia lakukan pada istrinya. Aku cemburu? Ah, tidak. Buat apa hantu sepertiku cemburu pada pria bangsat itu. Aku justru ingin segera membalaskan dendamku. Pria hidung belang seperti itu tidak pantas hidup dalam kebahagiaan. Dia pantas mendapatkan karma.

            Setelah bermesra-mesraan dengan istrinya lurah Bari ijin untuk rapat di balai desa. Sebelum berangkat dia mencium kening sang istri. Lalu dia juga mencium lagi perut sang istri yang berisi jabang bayinya. Mereka terlihat bahagia. Aku pun juga senang melihat kebahagiaan mereka. Ya, setidaknya aku sudah berbuat baik dengan memberi mereka kesempatan berbagi kasih sayang sebelum aku membalaskan dendamku. 

Aku sadar bahwa aku memanglah jahat. Tetapi aku menjadi jahat karena aku diperlakukan tidak adil oleh orang yang jauh lebih jahat semacam lurah Bari. Aku murka? Tentu. Wanita mana yang tidak murka bila disakiti oleh seorang pria. Wanita mana yang tidak murka bila ditipu mentah-mentah oleh pria yang tidak punya hati seperti dia. Ah, sudahlah. Mari aku beri tahu caraku membalaskan dendamku.

            Aku masuk ke kamar yang ditempati oleh istri lurah Bari dengan cara menembus tembok. Saat sang istri sudah lelap tertidur, aku mendekat padanya. Aku perhatikan dia dahulu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu aku mengelus perut buncitnya dengan tanganku yang berkuku sangat panjang. 

Dengan tangan pucatku aku mencari detak jantung si jabang bayi. Setelah kutemukan, aku meremas-remasnya dengan tanganku. Kuku panjangku pun sepertinya merobek pembuluh darahnya. Jantung jabang bayi itu akhirnya hancur. Dan istri lurah Bari pun akhirnya terbangun setelah merasakan rasa sakit yang luar biasa pada perutnya. Aku bahagia ketika melihatnya meringis menahan sakit. Ditambah lagi darah segar keluar, membasahi daster yang dipakainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun