Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisah Nyata Korban Banjir Jakarta

27 Februari 2021   10:00 Diperbarui: 27 Februari 2021   10:18 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengungsi banjir Jakarta 2007/Foto: theguardian.com

Ramainya pemberitaan seputar banjir Jakarta, berikut kisruh politik perbanjiran, di awal 2021, mengingatkanku pada nostalgia banjir bandang Jakarta pada Februari 2007, di saat tahapan kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta antara Fauzi Bowo versus Adang Darajatun.

Nostalgia 2007

Ya, hari itu. Tepat 14 tahun silam.

Nostalgia itu berkelebat sedetail-detailnya. Kendati pun saya kerap berusaha mengenyahkannya dari ingatan, seperti juga kenangan para mantan.

"Ya Allah, Mpok Minah belum mau turun juga. Padahal kan air udah sampai lantai dua rumahnya!"

"Sialan. Gue lupa bawa buntelan baju. Lupa tadi pas ngangkatin tipi!"

Seorang ibu bertampang keturunan Tionghoa menangis tersengguk di ujung pagar. Kacamatanya berembun. Ia sibuk memijit tombol ponselnya dengan tangan gemetar.

Malam Ahad. 2 Februari 2007. Hujan deras. Hawa dingin menusuk.

Warga berkumpul cemas di halaman kantor kecamatan Pancoran dan sebuah kampus universitas swasta di kawasan Pengadegan, Jakarta Selatan. Pakaian mereka seadanya. Sebagian ibu bahkan hanya mengenakan daster tipis yang menonjolkan auratnya.

Tapi rasanya saat itu tidak ada yang peduli ada apa di baliknya. Semua pandangan tertuju ke arah tanjakan.

Di ujung bawah tanjakan, air banjir kecoklatan menderu. Tingginya setinggi atap masjid Darul Mukhtar. Kurang lebih empat meteran.

Masjid tersebut merupakan akses utama menuju ke tempat yang lebih tinggi yang biasaya menjadi titik pengungsian sementara. Namun masjid yang terletak di pertigaan jalan Pengadegan Timur itu juga merupakan tempat terendah jika terjadi banjir.

Maka warga menjadikan patokan tingginya air di sekitar masjid tersebut sebagai indikator keganasan banjir. Terutama sebagai ukuran kapan harus mulai mengangkuti barang keluar rumah atau kembali ke rumah pasca-banjir.

Pertigaan di depan masjid juga sekaligus merupakan tempat bertemunya dua arus air, dari Kali Ciliwung dan anak sungai Ciliwung yang berpintu air di sebelah Barat.

Jadi, tak heran di sepanjang jalur mulai dari gerbang masjid menuju ke arah tanjakan sejauh 200 meter dipasangi tambang agar orang-orang yang lewat terutama yang membawa barang dapat berpegangan dan tidak terhempas dihajar gelombang. Airnya sangat dingin dan arusnya kencang.

Kakiku sendiri sempat kram ketika bolak-balik melintasi jalur itu untuk menengok rumah selama beberapa hari terendam.

Perahu karet yang melintasi jalur itu ketika puncak banjir---ketika masjid hanya tinggal atap dan kubah---juga harus bermanuver berkali-kali menghindari hempasan arus.

Pada kejadian banjiir 1996, aku menyaksikan sendiri seekor kerbau besar terbanting dan terseret arus di pertigaan itu.

Si kerbau malang menguik-nguik pilu menjelang ajal.

Hingga kini aku masih ingat suara kuikan pilu kerbau tersebut. Dramatis dan horor. Karena saat itu ditingkahi gerimis air dan suara deru air banjir yang dari kejauhan seperti deru badai tornado.

Sementara halaman kantor kecamatan Pancoran dan kampus universitas swasta itu sejak 1996, ketika banjir pertama kali menerjang pemukiman kami, merupakan titik pengungsian darurat yang strategis.

Selain karena letaknya yang lebih tinggi karena berada di ujung atas tanjakan juga merupakan tempat yang representatif untuk pengungsian karena daya tampung yang luas dan titik terdekat dengan lokasi banjir. Sehingga memudahkan pengungsi mengevakuasi barang-barang atau mengamati kondisi untuk kembali turun sewaktu-waktu.

Terlebih jika banjir kali ini lebih dahsyat dan di luar dugaan seperti sebelumnya.

Banjir terdahsyat yang pernah aku alami adalah pada tahun 1996 ketika airnya mencapai setinggi bahuku. Tinggi badanku 175 centimeter. Tapi banjir 2007 ini tiga kali lebih tinggi!

Ketika aku meninggalkan rumah dengan santai bakda Maghrib untuk mengungsi, air banjir masih selutut. Orang-orang di sekitarku juga masih bercanda-canda ketika mengangkuti barang-barang mereka.

Namun semuanya berubah ketika menjelang azan Isya gelombang air berubah seperti tsunami. Kencang dan keras menderu!

Orang-orang pun blingsatan berlarian. Suara takbir berkumandang.

Terlebih ketika aku kembali turun ke bawah pada pukul sebelas malam dan menerobos lewat tegalan berbatas tembok kampus di dekat rumahku.

Dari balik tembok, aku beserta beberapa orang tetangga menyaksikan air berkecamuk melimpas.

Beberapa warga sempat melihat sepotong tangan menggapai-gapai minta tolong dalam derasnya arus.

Tapi siapa yang berani menolong?

Sementara karena arus deras pula dua perahu karet dari posko banjir terbalik dan penumpangnya yang kebanyakan anak-anak dan ibu-ibu terbalik bak beras berjatuhan ketika ditampi.

Menemukan Tuhan dalam banjir

Ya Allah, aku rasakan kehadiran-Mu kini!

"Lam, komputer lu kebawa?" tanya seorang tetanggaku. Ia tahu aku pekerja rumahan.

Aku menggeleng lemah. Aku hanya sempat membawa dua tas penuh berisi arsip tulisanku, dokumen berharga serta beberapa buku dan kamus.

"Yah, beli baru deh, Lam. Tadi Jaki udah ke bawah. Rume lo udah tinggal atap," ujarnya mengabari kondisi adik bungsuku.

Tapi aku menginderai ada empati di dalamnya.

Rumah tetanggaku itu persis di seberang jalan, berhadapan dengan rumahku. Meski lebih tinggi beberapa undakan anak tangga tapi jika rumahku terendam seatap pastilah nasib rumahnya tak kalah mengenaskan.

Lemas sudah lututku. Bukan soal harus beli komputer baru. Tapi dokumen tulisan dan orderan terjemahan dalam komputer itu, itulah soalnya.

Duh, Ya Allah. Kok begini!

Di malam nahas itu tak banyak yang aku lakukan. Hanya menunggui air sepanjang malam.

Entah kapan ia surut sehingga aku dapat membangun kembali harapanku. Hanya termenung dan sesekali ngobrol kosong dengan sesama pengungsi.

Ketika aku coba turuni air kecoklatan menuju ke rumah, baru beberapa meter aku menyerobok air kecoklatan yang dingin menyengat tulang, beberapa hansip meneriakiku agar menepi. Kata mereka masih ada banjir susulan lagi. Berita dari posko banjir pusat, katanya.

Ah, padahal aku masih berharap bisa masuk ke rumahku.

Mungkin ada benda-benda yang bisa diselamatkan. Setidaknya hard disk komputerku tidak lama-lama terendam. Ada proyek buku pesanan dari sebuah penerbit yang harus diserahkan pertengahan Februari.

Akhirnya, atas izin Allah, belakangan proyek itu selesai juga setelah mendapat perpanjangan waktu. Ya, karena aku harus menulis ulang buku itu dari awal.

Pukul dua pagi dalam kondisi kelelahan, aku beristirahat di Masjid Baitul Khair di dekat tempat pengungsian.

Malam itu tak berselera rasanya untuk ngobrolmembunuh duka atau sekadar ngemil penganan bantuan.

Kendati sebagian pengungsi sibuk berebut jatah ransum dan minuman gratis dari banyak pihak yang membuka posko bantuan darurat di sekitar tempat pengungsian.

Rasanya semua pihak turut tangan entah dengan apa pun motivasi mereka. Mulai dari tim kampanye para kandidat gubernur DKI, partai politik, LSM, instansi pemerintah hingga yayasan asing dari luar negeri. Riuh sekali.

Tapi saat itu aku hanya ingin menyendiri.

Dalam keheningan malam, setelah berwudhu, aku tunaikan sholat Isya yang tertunda. Dingin air menyejukkan. Terutama ketika sujud dan mengadukan derita di karpet mesjid.

Rasanya inilah sholatku yang paling khusyuk seumur hidup. Terbayang sholat-sholatku sebelum banjir yang sering bagai sekadar menuntaskan kewajiban. Terburu-buru dan tanpa hati. Semata-mata karena tenggat pekerjaan yang tak kenal waktu.

Ya Allah, Tuhanku, maafkan aku yang lalai mengingatmu dan datang hanya di saat perlu!

Tuhan ada di mana-mana, demikian judul lagu gubahan James F. Sundah, seorang Kristiani yang taat.

Tuhan itu lebih dekat dari urat leher kita, demikian termaktub dalam salah satu hadis Nabi Muhammad SAW.

Tuhan itu bersinggasana di 'Arsy, demikian dalam salah satu ayat Al-Qur'an.

Di mana pun Ia, Ia selalu tahu kenapa dan untuk apa bencana itu ditimpakan. Ia juga tak pernah tidur. Tak juga pernah lelah apalagi rehat. Jangankan sehari, semilidetik pun tidak.

Sementara aku hanya manusia biasa yang punya tenaga terbatas. Juga kesabaran yang minim.

Selepas banjir bandang, sebagian tetanggaku menyebutnya 'tsunami kecil', yang menenggelamkan 70 persen wilayah Jakarta, aku jatuh sakit selama dua hari.

Demam. Menggigil. Sepertinya kelelahan berjibaku membersihkan lumpur bekas banjir yang sematakaki tebalnya.

Banjir itu telah merendam rumahku setinggi wuwungan rumah. Sekitar tiga meteran. Jauh lebih dahsyat daripada banjir 2002 yang hanya sebatas paha orang dewasa.

Saking frustrasinya karena dampak kerusakan yang luar biasa, di hari-hari awal banjir, aku sempat bergumam protes kepada Allah,"Ya Allah, apa salahku?!"

Rasanya aku sudah banyak berbuat baik.

Berusaha berbuat baik kepada setiap orang. Jadi orang tua asuh buat tiga orang anak usia SD dan SMP dalam program yang diselenggarakan sebuah LSM zakat nasional; relawan untuk tunanetra atau kegiatan sosial lainnya. Tapi kok begini yang aku dapat?

Ah, sebuah pertanyaan yang bodoh. Sebagai manusia jelas teramat banyak salahku.

Tuhan pun punya hak prerogatif dan rahasia tersendiri dalam menimpakan bencana-Nya. Namun manusia gemar berspekulasi.

Banjir ini salah siapa?

Di lingkunganku beredar spekulasi penyebab banjir adalah karena ada satu keluarga yang bersumpah dengan menginjak Al-Qur'an.

Konon, sewaktu banjir gelombang pertama menerjang pada akhir Januari 2007, salah seorang warga kehilangan satu tas penuh berisi uang tabungan sebesar tiga juta rupiah dan surat pensiun suaminya sebagai mantan sipir penjara Cipinang.

Ia mencurigai anak-anaknya sendiri yang sebagian besar sudah berkeluarga dan tinggal berdekatan. Karena tidak ada yang mengaku, si ibu pun menantang mereka untuk bersumpah dengan menginjak Al-Qur'an. Dan anak-anaknya bersedia.

Sebagian tetanggaku menyakini itulah penyebab kenapa banjir tahun 2007 di permukiman kami tiga kali jauh lebih dahsyat daripada tahun-tahun sebelumnya.

Entahlah mengenai kebenaran berita tersebut karena tidak ada saksi selain anggota keluarga itu sendiri.

Aku pun sangsi karena sudah mafhum dengan keluarga yang sering bertengkar sesamanya itu.

Tapi dari sisi logika, ketika rumah mereka yang hanya berjarak sepuluh meter dari Kali Ciliwung terendam pertama kali pada Kamis, 31 Januari sampai Jumat, 1 Februari, sangat banyak orang yang bisa jadi tersangka.

Karena barang-barang mereka termasuk tas berharga itu, lagi-lagi kata orang, diungsikan ke pinggir jalan raya. Rumah mereka sendiri terletak lebih rendah dari jalan raya.

Namun ada juga yang memilih menyalahkan Gubernur petahana Sutiyoso yang dianggap lambat membuka Pintu Air Manggarai, sebab harus meminta izin dulu kepada Presiden SB, karena lebih memprioritaskan wilayah sekitar Istana Merdeka dan Jl. Thamrin yang notabene kawasan elit dan ring satu dalam skema pengamanan negara.

Alhasil, air kiriman dari Bogor yang melahap daerah tempat tinggalku di Pengadegan atau di sekitar Kalibata, Jakarta Selatan, terus meninggi bahkan menggenang hingga dua hari dua malam sejak puncaknya pada Sabtu malam, 2 Februari 2007.

Aku sendiri sudah kehabisan kata-kata menyumpah-nyumpahi para pejabat itu dalam hati sejak tahu gelombang air yang datang menerabas sukses membalikkan semua lemari di rumahku. Sementara komputer, buku-buku, surat-surat berharga, TV, VCD dan pakaian ditaruh di atas lemari-lemari itu.

Jika saat itu Anies Baswedan sudah menjabat, tentu aku akan pilih persalahkan dia saja. Karena hanya dia yang kuat dipersalahkan orang se-Indonesia perihal banjir Jakarta. Bukan Dilan. Karena Dilan hanya kuat menanggung beratnya rindu alih-alih beratnya disalahkan soal banjir.

Back to laptop, belajar dari pengalaman banjir-banjir sebelumnya, kami hanya menaruh barang-barang tersebut di atas lemari-lemari yang cukup tinggi hingga menyentuh wuwungan rumah.

Lha, jika air sudah setinggi itu tak perlulah ditanya bagaimana nasib modal kerjaku itu.

Persis seperti ungkapan dalam salah satu puisi Taufik Ismail, kita harus mulai dari nol kilometer...

Saat pertolongan datang

"Mas, butuh apa? Bilang aja. Jangan malu-malu."

Demikian bunyi sms saat itu dari seorang sahabat dari belahan tengah pulau Jawa.

Aku terharu. Ternyata manis wajahnya manis juga budi dan empatinya.

Semoga Allah memberkahi hidupmu, Sahabat...

Terima kasih banyak, Mbak...

Namun demi 'izzah atau harga diri, aku ketikkan balasan,"Tidak usah. Bantu doa saja ya."

Namun ia memang sahabat sejati. Ia terus mendesak beberapa banyak uang yang aku butuh untuk bertahan hidup atau survive dan syukur-syukur merehab rumah yang centang perenang. Karena terus terang saat itu dari dua kartu ATM yang kupunya, hanya tersisa satu. Yang satu lalai terangkut, tergelontor air bah.

Demikianlah berbagai simpati berdatangan mulai dari sms keprihatinan hingga bantuan keuangan.

Seorang bapak budiman, semoga Allah memberkahinya!, yang aku kenal dari sebuah milis di internet menyedekahkan Rp2,5 juta untukku.

Tak ketinggalan beberapa orang sahabat yang awalnya hanya kukenal di dunia maya.

Benar kata pepatah bahasa Inggris,"A friend indeed is a friend in need."

Karena ada beberapa orang yang tadinya aku anggap sahabat di sebuah organisasi sama sekali tak punya perhatian hatta sekadar kirim sms keprihatinan pun tidak.

Padahal teramat sering mereka meminta bantuanku untuk hal apa saja. Meski mungkin itu pertanda aku harus lebih banyak belajar ikhlas.

Di saat bencana, orang memang cenderung lebih peka. Peka akan luka dan juga peka akan sang pencipta-Nya.

Nikmat adalah nikmat tatkala tiada

Selama kurang lebih lima hari pasca-banjir tanpa listrik, membaca Al-Qur'an di bawah cahaya lilin jauh sangat nikmat dibandingkan benderang lampu neon yang biasanya.

Mandi seadanya dengan hanya dua ember air yang didapat dengan berebut antre dengan puluhan orang lain rasanya sangat mewah karena dua hari belum tak tersentuh air bersih.

Memang benar bahwa nikmat adalah nikmat tatkala tiada. Saat di genggaman ia hanyalah kewajaran yang lazim ada. Saking lazimnya kita menganggapnya sudah semestinya. Bahkan kita sia-siakan.

Dalam banjir kutemukan Tuhan dengan segenap kekuasaan-Nya.

Yang mampu membuat seorang anak rela meninggalkan orang tuanya yang teronggok di tempat tidur. Untunglah sang ayah renta diselamatkan orang lain.

Yang mampu membuat seorang ibu karena takutnya digulung air terlupa akan bayinya yang tercebur ketika hendak melompat ke perahu karet. Untung saja sang bayi mungil terselamatkan oleh kesigapan tim SAR.

Kun fayakun. Jika Allah berkehendak jadi maka terjadilah. Manusia hanya dapat memperkirakan penyebabnya ketika telah terjadi.

Allah selalu punya alasan untuk segala kejadian. Terlepas dari apa pun logika manusia yang coba menalarnya atau seribut apa pun orang-orang saling bertarung dan menuding melimpahkan kesalahan dan mencari kambing hitam atas kejadian tersebut.

Jakarta, jelang Ramadhan

Baca Juga:

  1. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/60347b3ad541df3ef60cde34/sudahkah-tulisanmu-mempunyai-ruh
  2. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/6028710d8ede484f14656be2/jika-kegagalan-adalah-guru-apakah-ia-guru-yang-baik
  3. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/6022ea85d541df561d62cb12/tarhib-ramadhan-ramadhan-sebagai-madrasah-pengorbanan
  4. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/602df5c68ede485aa22fb422/gadis-manis-di-kereta-waktu
  5. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/601b1b718ede481f782ce7e5/dilema-memilih-jodoh-dan-karier

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun