Selain karena letaknya yang lebih tinggi karena berada di ujung atas tanjakan juga merupakan tempat yang representatif untuk pengungsian karena daya tampung yang luas dan titik terdekat dengan lokasi banjir. Sehingga memudahkan pengungsi mengevakuasi barang-barang atau mengamati kondisi untuk kembali turun sewaktu-waktu.
Terlebih jika banjir kali ini lebih dahsyat dan di luar dugaan seperti sebelumnya.
Banjir terdahsyat yang pernah aku alami adalah pada tahun 1996 ketika airnya mencapai setinggi bahuku. Tinggi badanku 175 centimeter. Tapi banjir 2007 ini tiga kali lebih tinggi!
Ketika aku meninggalkan rumah dengan santai bakda Maghrib untuk mengungsi, air banjir masih selutut. Orang-orang di sekitarku juga masih bercanda-canda ketika mengangkuti barang-barang mereka.
Namun semuanya berubah ketika menjelang azan Isya gelombang air berubah seperti tsunami. Kencang dan keras menderu!
Orang-orang pun blingsatan berlarian. Suara takbir berkumandang.
Terlebih ketika aku kembali turun ke bawah pada pukul sebelas malam dan menerobos lewat tegalan berbatas tembok kampus di dekat rumahku.
Dari balik tembok, aku beserta beberapa orang tetangga menyaksikan air berkecamuk melimpas.
Beberapa warga sempat melihat sepotong tangan menggapai-gapai minta tolong dalam derasnya arus.
Tapi siapa yang berani menolong?
Sementara karena arus deras pula dua perahu karet dari posko banjir terbalik dan penumpangnya yang kebanyakan anak-anak dan ibu-ibu terbalik bak beras berjatuhan ketika ditampi.