Karena barang-barang mereka termasuk tas berharga itu, lagi-lagi kata orang, diungsikan ke pinggir jalan raya. Rumah mereka sendiri terletak lebih rendah dari jalan raya.
Namun ada juga yang memilih menyalahkan Gubernur petahana Sutiyoso yang dianggap lambat membuka Pintu Air Manggarai, sebab harus meminta izin dulu kepada Presiden SB, karena lebih memprioritaskan wilayah sekitar Istana Merdeka dan Jl. Thamrin yang notabene kawasan elit dan ring satu dalam skema pengamanan negara.
Alhasil, air kiriman dari Bogor yang melahap daerah tempat tinggalku di Pengadegan atau di sekitar Kalibata, Jakarta Selatan, terus meninggi bahkan menggenang hingga dua hari dua malam sejak puncaknya pada Sabtu malam, 2 Februari 2007.
Aku sendiri sudah kehabisan kata-kata menyumpah-nyumpahi para pejabat itu dalam hati sejak tahu gelombang air yang datang menerabas sukses membalikkan semua lemari di rumahku. Sementara komputer, buku-buku, surat-surat berharga, TV, VCD dan pakaian ditaruh di atas lemari-lemari itu.
Jika saat itu Anies Baswedan sudah menjabat, tentu aku akan pilih persalahkan dia saja. Karena hanya dia yang kuat dipersalahkan orang se-Indonesia perihal banjir Jakarta. Bukan Dilan. Karena Dilan hanya kuat menanggung beratnya rindu alih-alih beratnya disalahkan soal banjir.
Back to laptop, belajar dari pengalaman banjir-banjir sebelumnya, kami hanya menaruh barang-barang tersebut di atas lemari-lemari yang cukup tinggi hingga menyentuh wuwungan rumah.
Lha, jika air sudah setinggi itu tak perlulah ditanya bagaimana nasib modal kerjaku itu.
Persis seperti ungkapan dalam salah satu puisi Taufik Ismail, kita harus mulai dari nol kilometer...
Saat pertolongan datang
"Mas, butuh apa? Bilang aja. Jangan malu-malu."
Demikian bunyi sms saat itu dari seorang sahabat dari belahan tengah pulau Jawa.